Cinta rakyat kepada pemimpinnya terlihat nyata saat proses pemakaman Presiden ke-3 RI Bacharuddin Jusuf Habibie. Dari yang muda, hingga yang tua, mereka semua rela meluangkan waktu sejenak demi ikut melepas kepergian sang "Bapak Teknologi Indonesia" itu.
Pada Kamis (12/9/2019), sekitar pukul 10.00 WIB, warga berbondong-bondong menuju tempat peristirahatan terakhir Habibie di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan, meski mereka tahu jenazah baru akan tiba sekitar pukul 13.00. Jika kesiangan, mereka khawatir tak kebagian melihat mantan presidennya itu untuk yang terakhir kalinya.
"Saya tak pernah bertemu beliau, hanya bisa lihat di televisi. Tetapi, saya merasa beliau sudah berjasa besar untuk negeri ini. Saya ingin memberikan penghormatan terakhir," ujar Bisri Khaidar (42), pekerja swasta di Pancoran, Jakarta Selatan yang meminta izin ke perusahaannya agar bisa ikut melayat.
Sebagian warga yang tak masuk pemakaman memilih berdiri di pinggir Jalan Raya Kalibata. Mereka dilarang berlalu-lalang di lapangan depan TMP Kalibata karena area itu digunakan untuk parkir mobil jenazah dan mobil kepresidenan.
Sebagian warga terlihat ikut membawa anak-anaknya. Semangat mereka tak luruh meski disengat panas terik matahari saat itu.
Akbar Nur Agung (34), yang datang bersama satu anak laki-lakinya berumur 5 tahun, mengatakan, lewat situasi ini, dia bisa mulai memperkenalkan sosok Habibie kepada anaknya. Habibie adalah negarawan dan teknokrat, yang patut dicontoh oleh seluruh anak bangsa Indonesia.
"Sosok yang membanggakan daerahnya. Kami sama-sama dari Sulawesi. Kami punya tokoh. Sejak kecil di daerah kami itu, selalu diiming-imingi, kalau mau pintar kayak Habibie. Sosok Habibie melekat sekali sampai sekarang dan itu yang ingin saya turunkan ke anak saya," tutur Akbar.
Berjam-jam di bawah panas terik matahari, warga tetap setia menunggu kedatangan jenazah Habibie. Tak lama, mobil jenazah datang. Sekejap, warga ikut mengiringinya dengan tahlil. Suasana menjadi sangat khusyuk.
Warga yang telah memilih berjaga di luar sudah tak diperkenankan lagi mengantar jenazah masuk ke kawasan makam.
Herman Priyatna (57), pekerja swasta yang meluangkan waktunya datang ke makam dan berjaga di luar tak mempermasalahkan itu. "Lihat euforianya saja sudah senang. Kami niat tulus mengantarkan beliau menuju surga," katanya.
Inspirasi anak muda
Kaum muda yang telah "didoktrin" agar kelak menjadi seperti Habibie pun ikut berdatangan ke makam.
Putra Bintang Pamungkas (23), mahasiswa Institut Teknologi Indonesia (ITI) menyampaikan, kehadiran para mahasiswa sebagai bentuk penghargaan kepada Habibie. Kegiatan perkuliahan hari ini pun sengaja ditiadakan agar dapat mengiring Habibie ke tempat peristirahatan terakhir.
Menurut Putra, masih banyak perjuangan Habibie yang bisa dilanjutkan, khususnya di bidang keilmuan. Dia pun berharap Pesawat N250, yang menjadi karya "masterpiece" Habibie, dapat terus dikembangkan.
Yudha Fatanur, mahasiswa ITI, juga mengatakan, Habibie merupakan sosok yang sangat patut diteladani. Sebab meskipun sudah menjadi profesor, namun Habibie selalu membagikan ilmunya.
"Pak Habibie itu seperti padi. Semakin banyak ilmunya, semakin merunduk," tutur Yudha.
Kesan serupa juga datang dari Daffa Muhammad, siswa kelas 11 di SMA Pradita Dirgantara, Solo, Jawa Tengah. Dia ingat betul asyiknya berdiskusi dengan Habibie pada 2018 saat dia terpilih sebagai siswa terbaik dari sekolahnya.
"Waktu itu, saya disambut di ruangan beliau yang isinya buku-buku semua. Beliau bercerita banyak tentang kisah beliau, waktu belajar di luar negeri dan masalah-masalah beliau waktu belajar. Itu sangat memotivasi saya agar jangan pernah menyerah dan jangan pernah takut untuk mencoba dalam memulai sesuatu," ujar Daffa.
"Dia sosok yang rendah hati dan mau berbagi ilmu bagi semua orang, baik yang muda dan tua," lanjut Daffa.
Sementara itu, Sophia (33), warga asal Cengkareng, Tangerang, yang melayat di kediaman Habibie, di kawasan Patra Kuningan, Jakarta Selatan, juga ikut mengajak anaknya, Reno (4). Ia ingin memperkenalkan Reno, seorang sosok yang menjadi inspirasi bangsa.
“Ketika saya kecil, saya sering diingatkan orang ibu untuk rajin belajar agar bisa pintar seperti Habibie. Oleh sebab itu, saya ingin anak saya juga bisa seperti Habibie,” ujarnya.
Sophia pun sering bercerita kepada Reno, bagaimana Habibie punya cita-cita ingin membuat pesawat rancangannya sendiri. Kemudian, ia pun menceritakan Reno bahwa Habibie merupakan presiden Indonesia yang memperjuangkan demokrasi pasca-reformasi.
“Anak saya mungkin belum mengerti tentang apa yang saya ceritakan tentang Habibie, karena ia belum pernah hidup di zaman tersebut. Namun, saya yakin, nama Habibie tidak akan hilang ditelan waktu,” tutur Sophia.
Habibie tak hanya meninggalkan ilmu di Indonesia, tetapi juga cinta sejati lewat pengabdiannya kepada bangsa. Cinta itulah yang dipegang oleh rakyatnya hingga kini dan terus terjaga sampai generasi selanjutnya.
Selamat jalan eyang Habibie, dari rakyat yang selalu mencintai dan mendoakanmu. (SHARON PATRICIA/DHANANG DAVID)