Kiagus Wirawan Rusdi, Kesatria Terakhir Wayang Kulit Palembang
›
Kiagus Wirawan Rusdi, Kesatria...
Iklan
Kiagus Wirawan Rusdi, Kesatria Terakhir Wayang Kulit Palembang
Tidak banyak orang yang tahu bahwa Palembang memiliki kesenian wayang kulit. Maklum, pementasan wayang kulit Palembang semakin jarang sejak awal tahun 2000-an.
Oleh
Rhama Purna Jati
·5 menit baca
Tidak banyak orang yang tahu bahwa Palembang memiliki kesenian wayang kulit. Maklum, pementasan wayang kulit Palembang semakin jarang sejak awal tahun 2000-an. Kini, keberadaan wayang itu semakin terancam. Hanya ada seorang dalang bernama Kiagus Wirawan Rusdi yang gigih mempertahankannya.
Sebuah peti besar berisi 100-an wayang kulit Palembang menjadi bukti perjalanan Kiagus Wirawan sebagai dalang. Peti itu disimpan di rumah laki-laki yang disapa Wirawan itu di rumahnya di Jalan Pangeran Sido Ing Lautan, Lorong Cek Latah 36 Ilir, Kecamatan Gandus, Kota Palembang. Hari itu, Kamis (11/9/2019), ia mengeluarkan wayang Dewi Perjiwo dan Raden Gatotkaca (orang Palembang menyebutnya Gatotkaco) dari peti dan memainkannya untuk Kompas.
”Kando kepundi kando ayun bekesa kulo tumut kando (Kanda ke mana pun kanda pergi saya ikut),” tutur Kiagus mengisahkan ucapan Dewi. ”Iyo dindo, pasti kando ajak ke mana kando pergi (iya dinda, pasti kanda ajak ke mana kanda pergi,” ujar Wirawan, yang beralih memerankan Raden Gatotkaca.
Ini merupakan salah satu adegan yang dicuplik dari lakon Mahabharata dan Ramayana. Wayang kulit Palembang memang mengadaptasi kisah pewayangan klasik yang diantarkan dalam bahasa Palembang. Wirawan menggunakan bahasa Palembang alusan dan bahasa Palembang sehari-hari. ”Saya sengaja mencampurkan dialog agar penonton mengerti apa yang diperbincangkan,” ujar Wirawan, yang sudah 13 tahun menjadi dalang.
Dalam memainkan wayang, Wirawan biasa membuat modifikasi cerita sesuai kondisi sekarang. Setidaknya ada 10 cerita di luar cerita pewayangan klasik yang biasa ia mainkan. ”Cerita ini ciptaan ayah dan kakek. Saya sesuaikan lagi dengan kondisi saat ini,” ujarnya.
Cerita yang dibuat, lanjut Wirawan, tidak sembarangan. Kakek dan ayahnya mesti berdiskusi dulu dengan para ulama dan sesepuh agar bisa menyelipkan pesan moral di dalam cerita. Hal yang sama dilakukan Wirawan sekadar untuk memodifikasi cerita. Ia biasa berdiskusi terlebih dulu dengan budayawan dan sejarawan. Itulah yang membuat wayang kulit Palembang memesona Wirawan. Pesan ceritanya, lanjutnya, memiliki nilai filosofi yang tinggi, mulai dari tata krama, perilaku dalam berkehidupan, hingga kebaikan yang selalu menang atas kejahatan.
Terbakar
Kesenian wayang kulit Palembang diyakini sudah ada sejak tahun 1900-an. Kesenian ini dulu diminati masyarakat sebagai hiburan. Tak heran, beberapa dalang hebat dulu bermunculan, salah satunya bernama Abdul Rasyid, kakek Wirawan. ”Setidaknya ada lima dalang yang pernah saya kenal. Namun, satu per satu hilang dan tidak ada yang melanjutkan karyanya,” kata Wirawan prihatin.
Beruntung jejak sang kakek diikuti anaknya, Rusdi Rasyid, yang tidak lain adalah ayah Wirawan. Namun, estafet itu sempat tersendat ketika tahun 1980 terjadi kebakaran yang melalap sebagian wayang kulit dan perangkat gamelan warisan kakek Wirawan. Saat itu, ayah Wirawan merasa kesenian wayang kulit Palembang tamat sudah.
Lebih dari dua dasawarsa kemudian secercah harapan datang. Saat itu, tahun 2002, UNESCO menawarkan bantuan untuk menghidupkan kembali wayang kulit Palembang kepada ayah Wirawan. Bantuan itu berupa wayang, seperangkat gamelan, dan dana pembinaan sekitar Rp 500.000 per bulan hingga 2007. Ayah Wirawan sangat senang dan bersyukur dengan tawaran UNESCO. Bagaimana tidak, harga satu wayang kulit tergolong mahal, yakni Rp 800.000-Rp 1.500.000. Begitu juga harga gamelan.
Sayangnya, sebelum bantuan datang, ayah Wirawan meninggal. Sebagai anak sulung dari sembilan bersaudara, Wirawan merasa punya tanggung jawab untuk meneruskan warisan kesenian dari kakek dan ayahnya. Apalagi, bantuan dari UNESCO tiba pada 2004.
”Ayah tidak pernah meminta saya menjadi dalang, tetapi saya punya tekad untuk melestarikan budaya ini. Saya akhirnya memutuskan jadi dalang,” ujarnya.
Belajar dari kaset
Karena tidak memiliki modal pengetahuan dan keterampilan cukup terkait pewayangan, Wirawan mempelajari teknik mendalang dan ceritanya lewat rekaman pita kaset yang ditinggalkan ayahnya. Ia kemudian memanggil beberapa orang untuk menjadi pengrawit. ”Saya dan pengrawit belajar bersama-sama dengan kaset pita itu sebagai gurunya.”
Usahanya ini bukan tanpa tantangan, beberapa orang yang menjadi pengrawit ”rontok” satu per satu. Mereka pergi karena menganggap wayang kulit tidak bisa dijadikan sandaran hidup.
Wirawan tidak patah arang. Dia terus mencari pengrawit dari kalangan pelajar. Pada perekrutan ketiga, Wirawan baru mendapatkan pengrawit yang cocok. ”Pengrawit generasi ketigalah yang masih ikut sampai sekarang. Untuk mengumpulkan mereka tidak mudah karena kesibukan dan tempat tinggal yang jauh,” katanya.
Setelah dua tahun belajar, pada 2006 Wirawan memberanikan diri untuk tampil. Debutnya dilakukan pada acara ulang tahun Pemerintah Kota Palembang di depan Kantor Pariwisata Palembang, di dekat kawasan Benteng Kuto Besak. Sejak saat itu, ia tampil di banyak acara dan festival, termasuk festival pewayangan di Jakarta, Yogyakarta, dan Palembang
Sebagaimana dialami kakeknya, Wirawan mesti menerima kenyataan, wayang kulit Palembang kian sulit merangkul peminat. Maklum, harga untuk mementaskan wayang kulit Palembang paling tidak Rp 5 juta-Rp 6 juta. Pementasan berlangsung 1-3 jam melibatkan seorang dalang, 10 pengrawit, dan 2 staf teknis.
Saya baru akan melepaskan profesi ini jika sudah ada yang menggantikan saya.
Saat ini, dalam setahun hanya dua kali ia bisa pintas. ”Bahkan, saya pernah dua tahun vakum mentas karena tidak ada pesanan,” ujarnya sedih.
Meski demikian, Wirawan tidak mau menyerah. Ia tidak mau kesenian ini punah. ”Saya baru akan melepaskan profesi ini jika sudah ada yang menggantikan saya,” katanya.
Nyatanya, hingga sekarang belum ada anak muda yang mengikuti jejak Wirawan. Ia mungkin akan menjadi kesatria terakhir yang berjuang menghidupkan wayang kulit Palembang.
Kiagus Wirawan Rusdi
Lahir: Palembang, 13 April 1973
Istri: Yosi Evianti (42)
Anak: Sri Risky Aryanti
Pendidikan:
SDN 116 Palembang
SMP Negeri 5 Palembang
SMEA PGRI 1 Palembang
Penghargaan:
Pendidikan dan Pelatihan Pendalangan di Sanggar Pilot Proyek UNESCO (2007)
Festival Wayang Indonesia Tingkat Nasional Ke-2 dari Persatuan Perdalangan Indonesia (2008)
Pergelaran Wayang Nusantara dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Museum Wayang (2010)
Wayang Summit dan Ministry of Education Culture Republik of Indonesia (2012)
Lifetime Contribution In Sumatera MICE & Tourism dari Sumatera Mice & Tourism Award (2014)
Workshop Wayang Kulit Palembang Tingkat Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan (2015)