Beberapa kota atau negara di dunia nyata seolah memiliki kisah yang hampir serupa dengan Gotham, tak terkecuali Indonesia. Kejahatan yang dilakukan secara terstruktur seperti korupsi masih menjadi permasalahan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Gotham merupakan kota fiksi yang menjadi latar dari cerita pahlawan super Batman dalam menumpas kejahatan. Kota ini divisualisasikan dan dinarasikan sebagai kota yang gelap, terjadi banyak perampokan dan pembunuhan, hingga kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum aparat beserta mafia kelas kakap.
Bob Kane dan Bill Finger pada 1939 dengan sangat rapi menciptakan Gotham sebagai pemicu kelahiran Batman. Suramnya kota Gotham menjadi pemantik rasa empati Bruce Wayne yang kelak menjadi Batman untuk membersihkan kota ini dari kejahatan. Pengalaman Bruce melihat kedua orangtuanya meninggal karena dirampok menjadi penyebabnya.
Selama puluhan tahun, perampokan, pembunuhan, korupsi, ataupun kejahatan lain dirawat dan dibiarkan tumbuh di Gotham. Sebelum munculnya Batman, tidak ada satu pun lembaga atau aparat yang mampu membersihkan kota ini dari kejahatan. Bahkan, dalam suatu cerita, pemerintah hingga pihak berwajib bersekongkol dengan mafia dan ikut masuk ke dalam praktik korupsi.
Cerita komik ini kemudian diangkat ke layar lebar, salah satunya film The Dark Knight (2008) karya Christopher Nolan. Cerita utama film ini ialah upaya Batman dalam menumpas Joker, sang bos mafia dan psikopat. Selain itu, film ini juga menekankan bagaimana seorang jaksa bernama Harvey Dent kehilangan harapannya dalam memberantas setiap kasus kejahatan hingga korupsi akibat ulah Joker.
Meski hanya sebuah cerita fiksi, beberapa kota atau negara di dunia nyata seolah memiliki kisah yang hampir serupa dengan Gotham, tak terkecuali Indonesia. Tidak bisa dimungkiri, kejahatan yang dilakukan secara terstruktur seperti korupsi masih menjadi permasalahan yang belum sepenuhnya dapat dituntaskan oleh negara.
Di sisi lain, harapan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi sangat tinggi. Hal ini tecermin dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis Agustus 2019. Sebanyak 84 persen dari total 1.220 responden memilih KPK sebagai lembaga yang paling dipercaya. Bahkan, KPK mengungguli Presiden dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di peringkat kedua dan ketiga yang dipilih 79 persen responden.
Meski demikian, perlahan harapan masyarakat dalam pemberantasan korupsi di Indonesia meredup ketika melihat proses penjaringan calon pimpinan KPK periode 2019-2023 yang dilakukan panitia seleksi. Imbasnya, terpilih lima unsur pimpinan KPK yang dinilai memiliki rekam jejak yang bertentangan dengan penguatan KPK.
Harapan masyarakat Indonesia kemudian semakin meredup setelah revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disetujui oleh pemerintah. Persetujuan ini disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019).
Presiden menyatakan tidak menyetujui sejumlah poin atau substansi yang berpotensi mengurangi kewenangan KPK. Namun, keberadaan Dewan Pengawas dirasa perlu untuk meminimalkan potensi penyalahgunaan kewenangan.
Selain itu, salah satu poin usulan RUU KPK yang disepakati Presiden adalah aturan terkait kewenangan penghentian penyidikan (SP3). Sebab, menurut Presiden, penegakan hukum harus menjadi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan memberikan kepastian hukum.
Persetujuan dari pemerintah ini bertentangan dengan keinginan masyarakat umum, pegiat antikorupsi, hingga akademisi dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Padahal, mereka menilai, revisi UU KPK berpotensi melemahkan kerja KPK. Sebab, dalam revisi, DPR mengusulkan untuk membuat Dewan Pengawas KPK, pembatasan asal penyidik KPK, hingga penghentian penyidikan dan penuntutan oleh KPK.
Tudingan
Meski mayoritas masyarakat menolak, tidak sedikit juga warganet di jagat maya yang memberikan dukungan kepada DPR dan pemerintah untuk mengesahkan RUU KPK. Beberapa di antaranya beranggapan, KPK lembaga tak tersentuh, penyidik di KPK berpolitik, tidak semua pegawai KPK berintegritas, hingga tudingan adanya gerakan radikal di dalam lembaga antirasuah ini.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan, tudingan adanya gerakan radikal di KPK merupakan sebuah stigmatisasi dan mengarah pada serangan yang melanggar hak asasi manusia (HAM).
Menurut Usman, stigmatisasi ini dilakukan secara sistematis lewat aktor-aktor negara dan nonnegara serta didukung kekuatan buzzer di media sosial. Dia pun menegaskan, stigmatisasi merupakan retorika politik yang mengarah pada pembelahan berbasis identitas.
Usman mencontohkan, stigmatisasi dan labelisasi terjadi pada penyidik KPK yang mendapat serangan air keras, Novel Baswedan. Novel dikonotasikan negatif sebagai Islam garis keras karena penampilannya yang sering menggunakan celana cingkrang.
Terlepas dari tudingan dan potensi pelemahan KPK, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satrya Langkun mendorong seluruh komponen masyarakat untuk kian memperkuat pengawasan terhadap KPK agar tetap berjalan sesuai harapan publik.
Selain itu, ICW juga mendesak pemerintah agar agenda pemberantasan korupsi tidak dikooptasi oleh kepentingan politik kelompok dan golongan. Presiden Jokowi juga dituntut untuk bertanggung jawab dan menepati janji politiknya dalam memperkuat KPK dan pemberantasan korupsi.
ICW juga mendesak pemerintah agar agenda pemberantasan korupsi tidak dikooptasi oleh kepentingan politik kelompok dan golongan.
Dalam upaya pemberantasan korupsi, sudah sepatutnya harapan masyarakat tetap dijaga. Seperti aksi heroik yang dilakukan Batman di film The Dark Knight untuk memulihkan harapan masyarakat Gotham setelah Harvey Dent berubah pandangan dan mendukung kejahatan.
Pada akhir film, Batman pun berujar, ”Sebab terkadang, kebenaran tidaklah cukup. Terkadang masyarakat patut mendapatkan lebih. Terkadang masyarakat patut dipulihkan keyakinannya.”