PM Jacinda Ardern Ajukan Rancangan Undang-undang Kepemilikan Senjata Api yang Baru
›
PM Jacinda Ardern Ajukan...
Iklan
PM Jacinda Ardern Ajukan Rancangan Undang-undang Kepemilikan Senjata Api yang Baru
Selandia Baru mengajukan rancangan undang-undang baru terkait kepemilikan senjata, Jumat (13/9/2019). Berdasarkan undang-undang ini, hanya orang yang ”pantas” yang boleh memiliki senjata.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
WELLINGTON, JUMAT — Selandia Baru mengajukan rancangan undang-undang baru terkait kepemilikan senjata, Jumat (13/9/2019). Berdasarkan undang-undang ini, hanya orang yang ”pantas” yang boleh memiliki senjata. Pemerintah berharap Dewan Perwakilan Rakyat bisa menyetujuinya akhir tahun ini.
RUU itu diajukan menyusul peristiwa penembakan di masjid di Christchurch enam bulan lalu yang menewaskan 51 warga Muslim. Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern langsung melarang kepemilikan senapan militer semiotomatis gaya militer setelah peristiwa tersebut. Namun, pelarangan yang lebih luas diperlukan untuk menyasar pasar gelap senjata.
”Memiliki senjata api adalah keistimewaan, bukan hak,” ujar Ardern kepada wartawan di Christchurch, Jumat (13/9/2019). ”Kami sangat menyadari bahwa ada kebutuhan di komunitas kita untuk bisa mengakses senjata khususnya di pedesaan. Namun, perubahan aturan ini menekankan adanya tanggung jawab nyata dengan memiliki senjata.”
”Itu artinya kita perlu melakukan semua yang diperlukan untuk memastikan bahwa hanya warga yang jujur, taat aturan, yang bisa mendapatkan izin memiliki dan menggunakan senjata.”
Dengan udang-undang yang baru, pendaftaran senjata akan diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan pelacakan atas semua senjata api legal yang beredar di Selandia Baru.
Selain itu, dalam aturan baru juga hukuman penjara karena menyediakan senjata kepada orang yang tidak memiliki izin ditingkatkan dari 3 bulan menjadi 2 tahun. Impor dan penjualan senjata juga diperketat.
Polisi akan menentukan apakah seseorang ”pantas” untuk mendapatkan izin kepemilikan senjata api. Mereka yang mendukung ekstremisme, dihukum karena tindak kriminal, atau memiliki masalah kesehatan jiwa, termasuk mereka yang mencoba bunuh diri, adalah mereka yang tidak bisa mendapatkan izin kepemilikan senjata.
Dengan undang-undang yang baru, izin kepemilikan yang baru harus diperbarui setiap lima tahun sekali. Diperkirakan saat ini ada sekitar 1,2 juta senjata api di Selandia Baru.
Menteri Kepolisian Stuart Nash mengatakan, undang-undang yang mengatur senjata api yang ada saat ini diberlakukan pertama kali tahun 1983 sehingga perlu diperbarui.
Tersangka pelaku penembakan di Christchurch, Brenton Tarrant, memperoleh senjata secara sah sebelum melakukan penembakan massal.
Tarrant yang mengusung supremasi kulit putih itu mengaku dirinya dituduh menembaki dua masjid sambil menyiarkannya di media sosial. Dia mengaku tidak bersalah atas 51 tuduhan pembunuhan, 40 percobaan pembunuhan, dan terlibat dalam terorisme.
Selain larangan kepemilikan senjata semiotomatis, tahap pertama reformasi undang-undang kepemilikan senjata juga meliputi skema pembelian kembali senjata api yang memungkinkan warga menyerahkan senjata apinya sebelum masa enam bulan habis. Sejauh ini, pemerintah telah berhasil mengumpulkan sekitar 19.000 senjata dan 70.000 bagian dari senjata. Skema pembelian kembali ini masih berlaku hingga Desember 2019.
Penembakan di Christchurch telah mengguncang Selandia Baru. Setelah peristiwa itu, reformasi kepemilikan senjata yang digagas oleh Ardern pun secara umum diterima.
Namun, ada beberapa pihak oposisi, termasuk dari partai ACT yang konservatif, yang mengatakan pemilik senjata api yang patuh hukum tidak diperlakukan secara adil.
”Kami juga menentang pendaftaran senjata karena itu akan menelan biaya yang besar dari para pembayar pajak, tetapi tidak akan bisa mencakup pelaku kejahatan dan anggota geng yang memiliki senjata api,” kata pemimpin ACT, David Seymour. (AFP/AP)