PUISI
Esha Tegar Putra
Di Pulau Aia
Di Pulau Aia
Minggu sedang tinggi
belum sempat menguar harum bunga pala dari lapik jemuran
langit sudah disungkup kawanan mambang hitam.
Gudang-gudang tua masih lumpuh
pecahan bata terserak sembarangan
gerak udara membikin debu sewarna daging limau masak.
Di sini, pada Minggu serupa ini benar
aku jadi ingat kau.
Kau lambai saputangan seragi punai gading
dari arah muara tempat air berpulun air berbantun
serupa alir permainan pantun.
Aku ingat benar pada kau
sebelum lindu demi lindu membikin rarak kusen pintu
menjadikan dinding rumah serupa piatu
dan pada lambungku
segala masih tersisa ngilu.
Padang, 2019
Limun Lama
Tapi aku masih memesan limun lama
dengan kecut asam sama
di kedai tua tingkat dua
dengan akar beringin muda tumbuh merambat pada dinding
mengendap pada patahan kusen jendela
meriap terus ke tingkap.
Di sini, hari mungkin tidak pernah bergeser
sebagaimana tiap sebentar tiang-tiang kayu tinggi dipupur kapur
tapi ngengat tetap membikin gabuk jatuh terhambur
Limun lama kupesan
serupa memesan ingatan lama
kecut dan asam sama
ingatan di mana hari-hari dengan doa haus-lapar
tak pernah menjadi benar.
Padang, 2019
Demam Tropis
Sesudah sembilan potret sepia tentang pangkal muara berair susut
kapal-kapal tua menepi tersadai
menepi menggerapai
tembok belakang gudang retak panjang
dan oleng ke sisi sungai
dua anak lelaki berkopiah menggusuk punggung kerbau
dengan sabut kelapa
seorang dukun pulau berkalung taring babi
mengisap gulungan nipah, menari mengangkat lading tajam
memamerkan tameng bambu – seakan menari
diringi sorak, ”Menjauhlah sakit, menjauh dan larilah terbirit-birit!”
Sesudah sembilan potret sepia tentang pangkal muara berair susut
kota ini terlihat semakin tirus
barangkali segala akan segera mampus
gedung-gedung baru dibangun menghadap laut, meruncing
bikin angin datang bergeming
batu-batu gadang disusun mengampang pantai
bikin limbung gerak gelombang.
Kota dengan kuburan lama dihalau ke pangkal sungai
nisan-nisan hanyut sesudah air hitam.
Dan seabad sudah lewat
sejak ketakutan tentang bisul
tumbuh sigap pada pantat
merayap pada pungung
pada tengkuk
pada lipatan belakang daun telinga
satu kematian berganti ke bentuk kematian lain.
Kota dengan gema panjang
demam tropis.
”Malaria. Malaria. Malaria.”
”Beri aku pati kina
atau empedu tanah diperas dalam pinggan tembaga!”
Padang, 2019
Ahmad Yulden Erwin
Naga Hitam Namikawa
Menatap enamel
Dan sisik naga hitam
Seakan melayang
Menuju pintu paling silam
Di sini, di ruang yang sama
Dalam semesta alit yang lain
Atau pagi hijau yang dingin, putaran
Sekian tanda menuju tanda lainnya
Sebelum presisi itu kembali menjelma
Dan kau bisa menyebutnya konstanta
Halus seakan sebuah lagu kabung
Dan devosi mendung, keramik ini
Tak lain sabda, juga ingkaran waktu
Di luar pikiran, siklus abadi
Sekaligus fana, melampaui semua
Deduksi, hanya untuk menyatakan
Kita ada, kau ada, dan aku tetap seekor naga
Di sini, di balik ilusi dan Buddha benda-benda
Taksa Terakhir Karna
Tak ada cemas
Dalam cawan-api itu
Selain mimpimu
Tentang hasrat yang redam
Semisal gurat sandi
Pula satu-dua tanda
Di cincin sumur mati
Tempat kautemukan kembali
Wajahmu, citra pertama
Sebelum kau lahir, sebelum
Semesta hadir dan berputar
Dalam masgul pertama, juga margin
Yang dingin, ketika molekul itu
Bertukar tanda, kehancuran
Dan kebangunan, nada-nada kosong
Dari kirtan lama, sabda yang lekat
Pada kening resi itu
Gurat yang juga semacam tanda
Di bawah matamu, meski kau
Pergi, ingatlah, kau mungkin kembali
Ke cincin sumur mati,
Dan di sana, Karnaku, di sana
Akan kaulihat sepasang mata
Menatap wajahmu, ialah jiwamu
Taksa terakhir sebelum keabadian itu
Syiwa Raku, 1
Titik sebelum sabda
Menjelma sepasang mata
Terjaga di alur pingala,
Di dasar jurang malam
Sadu pertama itu berdiri
Menatap gradien hitam, kohesi
Segala tanda, juga luka
Dari daur yang tak terbaca,
Sebelum penari kosmik itu
Kembali memutar tubuhnya,
Mereka-reka siklus cuaca,
Sendiri, setelah pikiran tercipta.
Syiwa Raku, 2
Sebuah himne
Adalah keheningan
Ametik
Di tubuh Parwati
Ketika penari kosmik itu
Mencipta sungai
Dari daur kontradiksi
Mengukur puncak
Piramida, menebak
Arah bintang jatuh
Seakan peluh
Luruh dari pundak
Sebelum gerimis
Lingsir pada pantai
Dan galaksi kembar itu
Lahir dari sebulir pasir
Sebelum kita
Menduga-duga
Dunia dan mendadak
Tertawa dalam mimpi
Seorang penafsir cahaya.
Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandar Lampung,
15 Juli 1972. Buku-buku puisinya antara lain Sabda Ruang (2015), Hara Semua Kata (2018), dan Perawi Rempah (terpilih dalam daftar lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018).
Esha Tegar Putra kelahiran Solok, Sumatera Barat,
29 April 1985. Kini bergiat di Ruang Kerja Budaya
dan Lab Pauh 9, Padang.