Tampungan Angan pada Bendungan Pertama
Bendungan dengan daya tampung 45 juta meter kubik ini diharapkan menjaga ketahanan pangan, sumber tenaga listrik, sekaligus percontohan untuk bendungan lain yang direncanakan dibangun.
Bernilai Rp 1,1 triliun, Bendungan Ladongi akan menjadi bendungan pertama di ”Bumi Anoa”, Sulawesi Tenggara. Bendungan dengan daya tampung 45 juta meter kubik ini diharapkan menjaga ketahanan pangan, sumber tenaga listrik, sekaligus percontohan untuk bendungan lain yang direncanakan dibangun.
Hamparan hijau tampak hingga ke kaki bukit. Tempias matahari senja jatuh di beberapa petak sawah, menyinari bulir-bulir yang mulai keluar dari batang padi. Burung-burung pipit yang bergerombol serupa sedang ”petak umpet” dengan petani yang menjaga tanaman, Selasa (3/9/2019) sore, di Desa Lalosula, Kecamatan Ladongi, Kabupaten Kolaka Timur, Sultra.
Summa (29), memanggul alat penyemprot pupuk, sibuk menumpahkan pembasmi hama ke padi yang telah berdiri tinggi. Tanaman itu menginjak usia hampir tiga bulan dan sebentar lagi memasuki masa panen. Ia tidak ingin tanaman yang menjadi tumpuan keluarga itu rusak dan hasilnya tidak lagi banyak.
”Sekarang dijaga hamanya biar (padi) tidak rusak. Kemarin-kemarin kita jaga airnya karena air di sini susah,” ucap Summa. Bertani sejak remaja, Summa tahu betul bagaimana merawat tanaman. Selain pupuk, air adalah yang utama. Ia mengelola sawah seluas setengah hektar milik tetangganya. Sawah itu telah dikelola sektiar lima tahun terakhir.
Untuk pengairan, ia mengandalkan sumur bor yang dibuat pemilik sawah. Sumur itu menjadi tumpuan karena sumber air jauh dari tempatnya. Pengairan yang ada juga tidak mampu sampai ke hamparan sawah yang ada di kampungnya.
”Kalau air bagus, hama tidak ada, hasilnya bagus. Bisa sampai 30 karung atau sekitar hampir 2 ton. Hasilnya dibagi dengan pemilik, bagian saya sebagian saya jual, selebihnya untuk makan,” ucapnya.
Meski hasil cukup bagus, Summa hanya bisa menanam padi maksimal dua kali dalam satu tahun. Sebab, sumber air terbatas, terutama saat kemarau. Memakai sumur bor juga artinya mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli bahan bakar. Berjarak beberapa petak dari tempat Summa, Hatijah (55) baru kelar menghalau burungburung pemakan bulir padi. Sore yang telah jatuh membuatnya tidak bisa berlama-lama di sawah. Ia harus pulang dan akan kembali besok pagi.
Sawah milik nenek empat cucu ini kurang dari seperempat hektar luasnya. Meski begitu, sawah itu menjadi tumpuan keluarga untuk makan saban tahun. Dalam sekali panen sawah bisa menghasilkan 10 karung gabah. Hanya saja, semakin hari biaya untuk mengurus sawah semakin tinggi. Ia harus menyewa mesin air untuk mengaliri sawah miliknya. Sebab, lokasi kali yang jauh tidak mampu mengairi sawah. Sekali menyewa mesin air, ia harus mengeluarkan Rp 600.000.
”Nanti kalau airnya kering lagi dan tanaman masih muda, sewa lagi. Itu susahnya di sini. Tanam juga paling banyak dua kali, kadang satu kali. Tahun ini baru kali ini menanam,” ucapnya.
Hatijah tahu sebuah bendungan besar sedang dibangun dekat dengan desanya. Ia berharap agar saat selesai nantinya, irigasi telah sampai ke sawahnya. Ia bisa mengurangi ongkos produksi sekaligus menambah masa tanam dalam satu tahun. ”Mudah-mudahan bisa sampai tiga kali tanam nanti.”
Tiga bendungan
Bendungan Ladongi, dengan daya tampung 45 juta meter kubik, memang sedang dalam pembangunan. Lokasi bendungan ini berjarak sekitar 5 kilometer dari sawah Summa dan Hatijah. Progresnya telah mencapai 70 persen untuk tahap pertama. Bendungan ini ditargetkan selesai pada November 2020.
Agung Permana, Pejabat Pembuat Komitmen Bendungan Ladongi Balai Wilayah Sungai Sulawesi IV, menjelaskan, tahap pertama pembangunan Bendungan Ladongi mencapai 70 persen, lebih cepat 4 persen daripada target saat ini. Bendungan pertama di Sultra ini segera memasuki tahap kedua.
”Nilai total bendungan Rp 1,1 triliun. Memang ada penambahan Rp 283 miliar dari rencana awal Rp 844 miliar karena dipengaruhi kondisi batuan yang ada. Untuk pengerjaan terowongan sepanjang 389 meter saja terjadi 11 kali longsor. Butuh perlakuan khusus untuk pengerjaan di lapangan sehingga biaya membengkak,” urai Agung, Rabu (4/9/2019).
Bendungan Ladongi merupakan pengembangan dari Bendung Ladongi yang telah ada lebih dari 20 tahun lalu. Bendung Ladongi yang memiliki daya tampung ribuan kubik telah mengairi persawahan seluas 2.212 hektar. Saat selesai nanti, akan ada penambahan 1.392 hektar area pengairan persawahan. Jumlah ini tergolong kecil untuk nilai pembangunan bendungan yang mencapai triliunan rupiah dengan daya tampung jutaan kubik.
Made Rame, Direktur Pembangunan Bendungan Ladongi, menjelaskan, jika dilihat sekilas, penambahan area pengairan baru memang tergolong kecil. Akan tetapi, jika bendungan tidak dibuat, area persawahan yang ada juga tidak akan bertahan lama. Sebab, debit air sungai yang ada semakin berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
”Sebenarnya bisa tambah sampai total 5.000 hektar, tetapi lahannya belum ada. Dan yang perlu diingat juga bahwa produksi petani bisa meningkat dengan masa tanam bertambah,” tuturnya.
Dalam kajian yang ada, produksi padi per tahun di lahan yang ada sebesar 22.120 ton. Saat bendungan telah berfungsi, produksi bisa meningkat menjadi 54.060 ton, lebih dari dua kali lipat. Selain itu, bendungan juga bermanfaat sebagai pengendali banjir, bahan air baku, dan pembangkit listrik mikrohidro.
Air baku bendungan yang mencapai 0,12 meter kubik per detik bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan di tiga kecamatan. Selain itu, juga ada rencana membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang bisa menghasilkan daya hingga 1,3 megawatt.
”Banyak hal yang akan bisa dikembangkan nantinya, termasuk sektor pariwisata. Memang masih ada kendala terkait lahan, sekitar 60 hektar. Namun, kami terus berkoordinasi dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Targetnya segera tuntas dalam waktu dekat,” ujarnya.
Bendungan Ladongi menjanjikan banyak manfaat di dalamnya meski juga terkandung masalah lahan yang belum tuntas. Bendungan ini merupakan proyek perdana, sebelum bendungan lainnya menyusul.
Dua bendungan lainnya sedang dipersiapkan untuk dibangun di Kabupaten Konawe, yaitu Bendungan Ameroro dan Pelosika. Bendungan Ameroro memiliki volume tampungan total 55 juta meter kubik, sementara Pelosika jauh lebih besar, yaitu lebih dari 800 juta meter kubik.
Menurut Kepala Balai Wilayah Sungai Sulawesi IV Kendari Haeruddin C Maddi, Bendungan Ameroro akan lelang tahun ini, sementara Pelosika di akhir 2020. Selain untuk persawahan, kedua bendungan ini juga menjadi pengendali banjir mengingat rendaman air terus terjadi bertahun-tahun, sekaligus untuk pembangkit listrik dan pariwisata.
Kajian
Meski begitu, banyak pihak yang menyarankan untuk mengkaji benar-benar dampak dan manfaat dari bendungan yang akan dibangun. Sebab, membuat bendungan berarti menghilangkan wilayah untuk menjadi rendaman air sekaligus berbagai permasalahan yang terjadi ke depannya.
Saharuddin, Direktur Eksekutif Walhi Sultra, mengatakan, Bendungan Ladongi saja yang tidak begitu besar akan menutup wilayah hutan ratusan hektar jumlahnya. Meski di satu sisi, bendungan ini diperlukan untuk pengairan persawahan masyarakat.
”Yang harus dipikirkan adalah kawasan hulu di Sultra ini tidak terjaga, dengan pembukaan lahan untuk pertambangan, perkebunan, hingga perambahan hutan sehingga aliran air dari hulu tidak bisa diprediksi. Kemungkinan terburuk harus dikaji betul,” ucapnya.
Belum lagi terkait dengan Bendungan Pelosika yang akan membuat sejumlah kecamatan terendam air. ”Bendungan itu fungsi utamanya untuk pengairan. Namun, jika kampung tua, identitas masyarakat, hingga penghidupan akan hilang, untuk apa dibuat, sementara yang ada sekarang saja sudah mampu mengairi persawahan,” kata Saharuddin.
Bendungan menampung banyak angan ke depan. Akan tetapi, bendungan jangan sampai mengubur kenyataan yang ada dan harapan warga yang mendiami wilayahnya.