Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumsel mencatat adanya peningkatan titik panas di sejumlah lahan konsesi milik perusahaan. Adanya titik panas membuktikan perusahaan lalai menjaga lahan konsesinya.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel mencatat adanya peningkatan titik panas di sejumlah lahan konsesi milik perusahaan. Adanya titik panas membuktikan perusahaan lalai menjaga lahan konsesinya. Pemerintah diharapkan lebih tegas untuk menindak perusahaan yang lalai.
Direktur Walhi Sumsel Hairul Sobri, Jumat (13/9/2019), mengatakan, pada September ini, kebakaran lahan kembali merebak. Selain karena kondisi lahan yang kering, kebakaran juga disebabkan karena adanya upaya perusahaan untuk mengubah fungsi lahan gambut menjadi tanaman sawit dan ekaliptus baru. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, masih banyak izin baru yang dikerluarkan pemerintah di lahan gambut.
Hairul menerangkan dalam penelitian Walhi, titik panas di lahan konsesi terus meningkat signifikan. Kebakaran lahan dalam wilayah izin konsesi korporasi dari bulan Juli sebanyak 42 titik panas. Pada Agustus naik dengan cepat menjadi 203 titik panas.
Bahkan, delapan hari awal September, titik api sudah mencapai angka yang begitu besar, yakni 117 titik panas. Kebakaran terletak di lahan kayu, perkebunan, dan lokasi pertambangan.
”Bertahun-tahun masyarakat terpapar asap, tetapi pencabutan izin tidak pernah dilakukan pemerintah,” kata Hairul.
Kawasan yang terbakar di wilayah izin bukannya dipulihkan, tetapi malah dimanfaatkan menjadi tanaman sawit akasia/ekaliptus baru. Sampai saat ini dalam dua tahun terakhir masih banyak izin-izin baru yang dikeluarkan pemerintah di lahan-lahan gambut.
Hairul mengatakan, sebanyak 698.674 hektar kubah gambut (gambut dalam) yang seharusnya dilindungi, tetapi sebaliknya dibebani izin kepada korporasi rakus ruang. ”Bertahun-tahun masyarakat terpapar asap, tetapi pencabutan izin tidak pernah dilakukan pemerintah,” kata Hairul.
Faktanya, kebakaran hutan dan lahan yang setiap tahunnya terjadi terus berulang bahkan di tempat yang sama. Hal ini menunjukan tidak ada upaya penegakan hukum pada perusahaan yang lahannya terbakar. Sejak kebakaran besar 2014, tidak ada satu pun perusahaan yang dicabut izinnya ataupun penciutan izin di wilayah kebakaran.
Tindakan disengaja
Komandan Satuan Tugas Penanggulangan Karhutla Sumsel Kolonel Arh Sonny Septiono mengatakan, kebakaran yang ada di Sumatera selatan merupakan tindakan yang disengaja. Hal ini terlihat dari luas lahan kebakaran yang berbentuk petak seakan kebakaran bertujuan untuk membuka lahan. Keanehan yang lain adalah tanaman sawit yang ada di dekat kebakaran tidak tersentuh sama sekali. “Kita seperti sedang dipermainkan,” ujar Sonny.
Melihat dari luasan kebakaran, ujar Sonny tidak mungkin hanya dilakukan oleh masyarakat biasa tetapi juga oleh perusahaan. Seharusnya, perusahaan turut membantu memadamkan api sejak dini sehingga api tidak membesar. “Perusahaan yang lahannya masih terbakar tutup saja izinnya,” tegas Sonny.
Hanya ujar Sonny, satgas tidak memiliki wewenang untuk menutup perusahaan yang lahan konsesinya terbakar. “Kami hanya pemadam kebakaran di lapangan, tidak memiliki kewenangan untuk menutup perusahaan yang konsesinya terbakar,” ungkapnya.
Ambil contoh saat pemerintah berupaya untuk membersihkan Sungai Citarum, Jawa Barat. Satgas yang dibentuk juga memiliki kewenangan untuk menutup perusahaan yang masih membuang limbah ke sungai sampai mereka bisa mengelola limbah dengan baik. “Akhirnya, Sungai Citarum pun bersih,” ungkap Sonny.
Kegusaran ini dia ungkapkan karena kebakaran lahan sudah mengganggu aktivitas masyarakat bahkan, kualitas udara di Palembang sempat menyentuh kategori berbahaya. Jumat pagi pun lima jadwal penerbangan di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang ditunda.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Sumsel Harry Hartanto, perusahaan sudah berupaya agar lahannya tidak terbakar karena sudah melakukan sejumlah persiapan. “Biaya yang dikeluarkan untuk persiapan penanggulangan kebakaran tidak sedikit,” ungkapnya.
Selain itu, dirinya juga meragukan ada perusahaan yang sengaja membakar lahan di wilayah konsesinya. Hal ini sangat merugikan karena akan menghancurkan aset yang sudah ditanamnya selama bertahun-tahun. “Kerugian satu hektar lahan bisa mencapai Rp 80 juta-Rp 100 juta,”ungkapnya.
Terkait adanya lahan sawit yang ditanam di lahan kebakaran, Harry menerangkan kemungkinan itu adalah lahan milik masyarakat. “Kalau sudah milik masyarakat tentu kami tidak bisa ikut campur,” ungkap Harry. Biasanya, warga yang melakukan pembakaran tidak masuk ke program plasma karena perusahaan pasti akan memberikan pengarahan agar tidak membuka lahan dengan cara membakar.