Kusta Bisa Dieliminasi, tapi Ancamannya Tetap Tinggi
Semenjak GH Armauer Hansen menemukan ”Mycobacterium leprae” sebagai penyebab kusta pada 1873, upaya penanganan kusta mengalami kemajuan yang sangat luar biasa.
Semenjak GH Armauer Hansen menemukan Mycobacterium leprae sebagai penyebab kusta pada 1873, upaya penanganan kusta mengalami kemajuan yang sangat luar biasa. Melalui penemuan ini, karakteristik penyakit kusta bisa dikenali dengan mempelajari sifat kuman Mycobacterium leprae. Temuan ini sekaligus memberikan jawaban bahwa penyakit kusta bisa disembuhkan secara medis.
Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena fatalitas yang ditimbulkannya bisa mengakibatkan disabilitas (cacat). Penyakit yang menyerang kulit manusia ini memiliki gejala yang relatif sama dengan penyakit-penyakit kulit pada umumnya.
Oleh karena kesamaan gejala tersebut, muncul istilah yang menyebutkan bahwa kusta merupakan peniru terhebat (the greatest imitator) dalam penyakit kulit. Artinya, secara klinis kelainan kulit pada kusta menyerupai penyakit-penyakit kulit pada umumnya.
Orang yang terserang penyakit kusta boleh jadi pengetahuan terhadap gejala kusta sangat minim sehingga kepekaannya lemah. Apalagi gejala sakit yang muncul menyerupai penyakit kulit biasa, seperti munculnya bercak putih dan merah pada kulit yang diikuti dengan suhu badan tinggi. Ketidakpekaan ini juga dipicu oleh masa inkubasi kuman Mycobacterium leprae yang relatif lama, yaitu dua hingga lima tahun, bahkan bisa juga sampai bertahun-tahun.
Muncul istilah yang menyebutkan bahwa kusta merupakan peniru terhebat (the greatest imitator) dalam penyakit kulit.
Kondisi ini membuat para penderita kusta terlambat mengetahui penyakit sesungguhnya yang menyerang kulit mereka. Akibatnya, mereka harus menjalani pengobatan intensif di bawah pengawasan tenaga medis yang kompeten dan berpengalaman. Kebanyakan para penderita yang divonis positif terkena kusta sudah akan menjadi disabilitas ketika dinyatakan sembuh.
Kuman kusta menyerang organ tubuh tertentu dan merusak fungsi-fungsi saraf. Organ tubuh yang populer diserang bakteri kusta adalah mata, tangan, dan kaki. Tingkat risiko disabilitas kusta bergantung pada kecepatan penanganan penyakit sejak saat pertama kali muncul gejala sakit hingga ke masa pengobatan.
Semakin cepat ditangani, risiko disabilitas bisa diminimalkan. Sebaliknya, semakin lama penanganannya, risiko disabilitas semakin besar karena kerusakan saraf yang progresif. Karakter penyakit seperti ini yang memicu kerusakan akut fungsi saraf tepi yang berujung pada disabilitas permanen.
Stigma dan Pencegahan
Sebelum GH Armauer Hansen menemukan Mycobacterium leprae, penyakit kusta masih dianggap sebagai kutukan di mana para penderitanya akan diasingkan atau dibuang oleh keluarga dan masyarakat.
Metode pengucilan penderita kusta menjadi cara paling praktis dan populer di dunia untuk mencegah penyebaran penyakit yang dianggap berbahaya ini. Motif utama yang mendasari pengucilan tersebut biasanya berakar pada stigma bahwa kusta adalah kutukan Tuhan, penyakit menular dan sulit diobati, serta penyakit yang mematikan.
Sejarah mencatat, penyakit kusta sudah dikenal dalam kehidupan manusia sejak tahun 2000 sebelum Masehi (SM). Catatan tentang penanganan penyakit kusta pada masa ini tersebar dalam sejarah bangsa Mesir, India, China, dan Mesopotamia.
Pada masa ini metode penanganan kusta dilakukan dengan cara mengucilkan para penderitanya dari masyarakat umum. Pengucilan bisa terjadi secara spontan dari penderitanya karena merasa rendah diri dan malu. Pengucilan juga dilakukan oleh masyarakat dengan cara menjauhi para penderita lantaran merasa jijik dan takut.
Motif utama yang mendasari pengucilan tersebut biasanya berakar pada stigma bahwa kusta adalah kutukan Tuhan, penyakit menular dan sulit diobati, serta penyakit yang mematikan.
Di India, pengucilan yang dilakukan oleh masyarakat didorong oleh stigma bahwa sifat penyakit kronis dianggap dapat menodai manusia lainnya, berhubungan dengan dosa, dan ketakutan bahaya penularan penyakit. Pendapat ini menjadi warna utama paradigma masyarakat India kuno dalam memandang kusta.
Stigma ini lalu diklaim sebagai sumber yang mengilhami pandangan serupa terhadap penderita kusta di belahan bumi lain. Pada gilirannya, stigma ini dilestarikan melalui ajaran agama yang dianut oleh masyarakat.
Ketika memasuki abad pertengahan (abad X-XV), penanganan terhadap penderita kusta mengalami perubahan drastis. Di bawah tatanan sistem feodalisme yang menjadi ciri abad pertengahan, masyarakat sangat patuh dan takut kepada penguasa. Begitu juga dengan para penderita kusta yang kebanyakan adalah masyarakat biasa.
Oleh karena sumber penyakit dan obat-obatan belum ditemukan, maka pasien kusta diasingkan lebih ketat, dipaksa tinggal di leprosaria atau koloni atau perkampungan pasien sampai seumur hidup.
Ketika dunia berada di bawah kolonialisme Eropa, paradigma penanganan kusta dan para penderita yang berlaku di negaranya diekspor ke negara-negara jajahan mereka. Masyarakat Eropa abad pertengahan berpandangan bahwa penderita kusta itu najis, tidak dapat dipercaya, dan telah rusak moralnya.
Zachary Gussow dalam buku berjudul Leprosy, Racism, and Public Health (1989) menyebutkan, pemahaman bakteriologi yang minim dan kurangnya kemampuan diagnostis penyakit ikut mendorong perilaku sosial yang parah terhadap penderita kusta.
Metode ini bertahan cukup lama, terutama di Eropa yang saat itu sangat ketat sistem feodalismenya. Bahkan, ketika Eropa memasuki zaman modern setelah era Renaissance, penanganan terhadap penderita kusta relatif tidak berubah. Pemerintah negara-negara kolonialis ini mengisolasi siapa pun yang mengidap kusta dari wilayah jajahan karena takut tertular.
Di dalam negara-negara Eropa sendiri perlakuan terhadap penderita kusta tidak kalah kejamnya. Sebut saja Pulau Lazaretto yang difungsikan sebagai tempat pembuangan penderita kusta di Italia. Di Romania, Tichilesti juga menjadi koloni penderita kusta pada 1875.
Pemerintah negara-negara kolonialis ini mengisolasi siapa pun yang mengidap kusta dari wilayah jajahan karena takut tertular.
Bahkan pada tahun-tahun setelah Mycobacterium leprae ditemukan sebagai penyebab kusta, ternyata masih ada negara-negara yang mengucilkan penderita kusta ke tempat pengasingan. Yunani menjadi contoh yang memperlakukan warganya yang menderita kusta dengan cara tersebut.
Pemerintah Yunani menyediakan Pulau Spinalonga sebagai tempat pengasingan bagi para penderita kusta. Pulau seluas 8,5 hektar yang berada di Teluk Mirabello ini mulai dihuni para penderita kusta sejak 1904. Praktik pembuangan para penderita kusta terus berlanjut dan makin ganas pada 1913 saat wilayah ini masuk bagian Yunani.
Bahkan, ketika pengobatan untuk kusta ditemukan pada awal tahun 1940-an, Pemerintah Yunani tetap mengoperasikan Pulau Spinalonga sebagai koloni bagi para penderita kusta. Alih-alih membubarkan, Spinalonga justru menjadi tempat terakhir bagi para penderita setelah diusir dari rumah, dibuang jauh dari kerabat dan keluarga mereka.
Pulau ini menjadi jaminan untuk memastikan bahwa kusta tidak menular ke orang lain. Kedudukan Spinalonga sebagai tempat pembuangan para penderita kusta baru berakhir pada 1957 dengan jumlah penduduk 400 orang.
Metode pengucilan penderita kusta relatif tidak berkurang meski teknik pengobatan kusta yang lebih modern mulai ditemukan. Stigma negatif tentang penyakit kusta masih kuat tertanam dalam pikiran para penguasa di dunia ini yang percaya bahwa dengan mengucilkan para penderitanya, penularan penyakit kusta bisa dicegah. Akibatnya, perlakuan buruk terhadap penderita kusta terus dipertahankan seiring dengan bertahannya stigma negatif tersebut.
Bisa diobati
Paradigma masyarakat Indonesia terhadap penyakit kusta tidak jauh beda dengan pandangan-pandangan yang berkembang di belahan bumi yang lain. Kusta masih dipandang sebagai penyakit menular berbahaya yang mematikan sekaligus merupakan kutukan kepada para penderitanya.
Masyarakat Indonesia zaman dahulu memiliki anggapan bahwa orang yang terserang penyakit kusta dianggap mati. Mereka akan dibuang dari keluarga dan lingkungan sosialnya. Keadaan ini membuat para penderita kusta langsung sadar jika keberadaan mereka sudah tidak diterima oleh keluarga dan lingkungannya. Akibatnya, kebanyakan penderita kusta lebih memilih diam dan menjauhkan diri secara spontan dari kelompok sosial mereka.
Baca juga: Jejak Kusta di Nusantara
Namun, sikap keluarga dan masyarakat terhadap penderita kusta mulai kendur beberapa dekade belakangan ini seiring dengan kemajuan teknologi pengobatan kusta. Para penderita kusta masih merasa malu untuk menyampaikan bahwa mereka terserang kusta. Mereka memilih menjauh dari keluarga untuk berobat ke rumah sakit yang memiliki kawasan rehabilitasi orang-orang yang sudah dinyatakan sembuh dari kusta.
Berikut ini sejumlah contoh kasus hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap mantan penderita kusta yang pernah dirawat di RS Sitanala, Kota Tangerang, Banten, yang menunjukkan problem terkait kusta.
Salah satunya adalah seorang penderita bernama Abdul Wahab. Pria berusia 74 tahun ini memilih untuk tidak memberitahukan keluarganya ketika dirinya divonis positif terserang kusta pada 1960-an. Saat itu, pria asal Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, ini masih duduk di bangku SMA. Menurut pengakuan pria yang kini bekerja sebagai pedagang buah keliling ini, gejala kelainan kulit awalnya berupa munculnya semacam panu, kulit terasa tebal, dan suhu badan yang tinggi atau panas.
”Gejala seperti itu terasa waktu masih SMP. Waktu itu berobatnya pake obat kampung. Saya baru dinyatakan positif terserang kusta waktu SMA kelas II. Langsung saya dibawa ke sini,” kata pria bertubuh kecil ini.
Abdul Wahab dibawa ke Rumah Sakit Kusta dr Sitanala pada 1963. Dia terpaksa meninggalkan bangku sekolah yang baru ditempuh selama dua tahun di Solo. Di rumah sakit ini, Abdul Wahab ditampung di bangsal anak-anak dengan penghuni mencapai 300 orang.
Nasib serupa dialami Amri (46) yang divonis kusta pada 2001. Pria asal Polewali Mandar, Sulawesi Barat, ini pindah ke permukiman rehabilitasi kusta yang berada dalam kawasan RS Kusta Sitanala pada 2011. Selama di Polewali, Amri menjalani aktivitas sebagai aktivis perkumpulan kusta, ”Permata” (Persatuan Mandiri Kusta).
Abdul Wahab dan Amri merupakan contoh mantan penderita kusta yang telah menjalani rehabilitasi hingga dinyatakan sembuh secara medis oleh dokter. Masih ada ratusan mantan penderita yang saat ini menetap di kawasan yang menjadi pusat rehabilitasi kusta yang berada di bawah pengelolaan RSK Sitanala Tangerang.
Abdul Wahab dan Amri merupakan contoh mantan penderita kusta yang telah menjalani rehabilitasi hingga dinyatakan sembuh secara medis oleh dokter.
Ali Gufron, mantan Ketua RT 002 RW 013 Kelurahan Karangsari yang berada di dalam kawasan rehabilitasi ini menyebutkan, orangtuanya merupakan penghuni pertama yang menempati pusat rehabilitasi kusta ini.
”Bapak saya adalah orang pertama yang menempati permukiman ini tahun 1952. Dia dipindahkan dari RS Lenteng Agung karena di sini dianggap lebih lengkap fasilitas pengobatannya. Bapak saya memilih untuk tinggal di sini karena pihak rumah sakit menyediakan lahan khusus bagi mantan penderita yang tidak mau pulang ke kampung halaman setelah dinyatakan sembuh,” ujar pria bertubuh tinggi ini.
Penanganan kusta di RS Sitanala merupakan integrasi antara pengobatan yang mengisolasi para penderita kusta dalam bangsal-bangsal khusus dan rehabilitasi bagi para penderita yang sudah dinyatakan sembuh. Langkah ini mulai dilakukan sejak 1951 seiring dengan berdirinya ”Rumah Sakit Sewan” yang merupakan pemindahan dari Leprosarium Lenteng Agung, Jakarta. Pada 1962, status RS Sewan berubah menjadi Pusat Rehabilitasi Sitanala yang menandai fungsi RS sebagai pusat penyembuhan kusta.
Upaya RS Sitanala mengintegrasikan rehabilitasi ke dalam pengobatan kusta ternyata mendahului langkah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam penanganan kusta. WHO baru menetapkan bahwa rehabilitasi menjadi bagian dari program pengendalian penyakit kusta dalam kurun waktu 2011-2015.
Prevalensi kusta
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Penanggulangan Kusta menyebutkan bahwa pemerintah pusat menetapkan target eliminasi kusta untuk menanggulangi kusta. Penanggulangan kusta adalah upaya kesehatan yang ditujukan guna menurunkan angka kesakitan dan memutus mata rantai penularan kusta.
Penanggulangan kusta bertujuan untuk mencapai eliminasi kusta tingkat provinsi pada 2019 dan tingkat kabupaten/kota pada 2024. Indikator pencapaian target eliminasi kusta berupa angka prevalensi <1/10.000 (kurang dari satu per 10.000) penduduk.
Eliminasi kusta tidak sekadar mengurangi jumlah penderita kusta, tetapi juga stigma dan diskriminasi terhadap para penyandang kusta. Kecacatan merupakan kerusakan bagian tubuh yang ditinggalkan oleh kusta pada tubuh penderitanya. Potensi kecacatan ini meningkat sesudah pengobatan berakhir. Karena itulah masalah stigma, diskriminasi, dan kecacatan masih menjadi masalah bagi orang yang menderita kusta dengan kecacatan.
Eliminasi kusta tidak sekadar mengurangi jumlah penderita kusta, tetapi juga stigma dan diskriminasi terhadap para penyandang kusta.
”Dokter hanya sekadar tahu kusta berdasarkan pengamatan gejala berdasarkan ilmu yang mereka pelajari. Dokter tidak pernah bisa merasakan sakitnya kusta seperti kami yang pernah mengalaminya,” kata Amri yang ingin menegaskan bahwa cacat dari kusta akan meninggalkan stigma yang menyakitkan.
Tahun 2000, Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta <10.000 penduduk (<10 per 100.000 penduduk). Angka prevalensi kusta pada 2017 mencapai 0,70 kasus per 10.000 penduduk dan angka penemuan baru sebesar 6,08 kasus per 100.000 penduduk. Meski demikian, masih ada beberapa provinsi yang prevalensinya masih di atas 1 per 10.000 penduduk. Artinya, di provinsi-provinsi dengan prevalensi >1 per 10.000 penduduk belum bisa dinyatakan bebas kusta.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, hingga 2017 masih ada 10 provinsi yang prevalensi kustanya berada di atas 1 per 10.000 penduduk. Papua Barat menduduki peringkat tertinggi dengan prevalensi 11,48 per 10.000 penduduk. Sementara peringkat terendah adalah Provinsi Sulawesi Tengah dengan prevalensi 1,20 per 10.000 penduduk.
Persoalan lain yang dihadapi Indonesia terkait eliminasi kusta adalah mengontrol munculnya kasus baru kusta. Pada 2013-2017 angka penemuan kasus baru (new case detection Rate/NCDR) Indonesia berada di kisaran 6,08-6,79. Angka tersebut memang berada di bawah 10 per 100.000 penduduk. Selama kurun waktu lima tahun posisi NCDR Indonesia tidak turun dari angka 6. Artinya, potensi munculnya kasus baru kusta berpotensi tinggi meski tetap berada dalam posisi aman.
Kasus baru kusta justru rentan terhadap anak-anak. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan tren proporsi yang tinggi pada kasus baru kusta pada anak. Dari tahun 2013 hingga 2017 proporsi kasus baru kusta pada anak berada pada kisaran 11,05-11,88.
Baca juga: Mewaspadai Kusta pada Anak
Untuk mencapai eliminasi kusta, pemerintah selalu mengikuti metode pengobatan yang direkomendasikan WHO. Salah satunya melalui program multi drug therapy (MDT) yang merupakan metode pengobatan dengan melibatkan kombinasi obat medikamentosa utama yang terdiri dari Rifampisin, Klofazimin (Lamprene), dan DDS (Dapson/4,4-diamino-difenil-sulfon) yang telah diterapkan sejak 1951.
Tujuan pengobatan tersebut adalah untuk menyembuhkan pasien kusta (lepra), mencegah timbulnya cacat, dan memutuskan mata rantai penularan dari pasien. Agar pengobatan kusta bisa menjangkau seluruh masyarakat, pemerintah menetapkan pemberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di puskesmas pada 1969. Pada 20 tahun kemudian, MDT dijadikan pemerintah sebagai model pengobatan kusta di seluruh Indonesia.
Menurut pengakuan Abdul Wahab, setelah positif kusta dan dirawat di RS Sitanala, dia menjalani pengobatan yang intensif di bawah pengawasan dokter rumah sakit. Semua penderita kusta yang pernah dirawat di Sitanala akan menjalani prosedur pengobatan yang sama dengan pengawasan yang ketat.
”Selama 10 tahun saya hanya diberi dua jenis pil, namanya DDS. Setiap hari saya harus minum obat itu. Dan,alhamdulillah saya akhirnya dinyatakan sembuh dan diizinkan untuk menetap di sini tahun 1970-an,” kata Abdul Wahab.
Bagi para penderita, mantan penderita, atau keluarga mereka, nama DDS sudah sangat akrab dengan hidup mereka. DDS (Dapson/4,4-diamino-difenil-sulfon) merupakan salah satu jenis obat utama dalam pengobatan kusta. Obat ini harus diminum sesuai petunjuk dokter jika ingin sembuh. Pengalaman Abdul Wahab dan para mantan penderita membuktikan, kepatuhan pasien untuk mengonsumsi obat yang diberikan sangat menunjang proses penyembuhan kusta.
Selama ini pengobatan merupakan cara yang efektif untuk menanggulangi kusta ketimbang pencegahan atau preventif. Menurut para mantan penderita, kusta sulit dicegah karena pengetahuan masyarakat untuk mendeteksi secara dini penyakit ini masih rendah. Gejala sakit yang menyerupai penyakit kulit umum membuat masyarakat cenderung abai atau memilih pengobatan untuk penyakit kulit.
”Kusta memang beda dengan penyakit kulit biasa tapi orang cenderung abai kalau merasakan gejalanya. Mereka baru sadar kalau kusta sudah merusak saraf dan tulang hingga tidak berfungsi sama sekali atau sudah mati rasa. Setelah bagian-bagian tubuh mereka copot dulu baru sadar,” kata Amri.
Para mantan penderita kusta sadar bahwa pencegahan merupakan cara yang paling efektif dalam menurunkan angka kejadian penularan penyakit kusta di masyarakat. Pencegahan dapat dilakukan melalui peningkatan kekebalan tubuh sehingga terdapat pertahanan diri saat terinfeksi oleh bakteri Mycobacterium leprae.
Pencegahan yang paling efektif adalah menghindari faktor-faktor pemicu terjadinya reaksi seperti kelelahan yang berlebih dan stres. Hal itu perlu dilakukan karena secara medis memang belum ditemukan vaksin untuk mencegah terjangkit bakteri kusta. (Sultani/Litbang Kompas)