Awan Kelabu di Kuningan
ku mengenali mereka, yang tanpa tentara, mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang, mau memberantas korupsi
kawan-kawan, kuberikan padamu cintaku, dan maukah kau berjabat tangan, selalu dalam hidup ini?
(Pesan – Soe Hok Gie)
Kegelisahan yang terungkap dalam penggalan kata-kata di atas dialami Soe Hok Gie lebih dari 40 tahun silam, di akhir masa Orde Lama. Dalam konteks yang berbeda, kini kegelisahan serupa dialami sebagian warga negeri ini.
Lagu ”Maju Tak Gentar” bergema di lobi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Lagu itu mengiringi tiga unsur pimpinan KPK yang memutuskan untuk menyerahkan mandat pemberantasan korupsi kepada Presiden Joko Widodo. Bendera setengah tiang, pertanda masa berkabung nasional, menambah getir suasana malam itu.
Bukan hanya pegawai KPK yang menjadi saksi penyampaian keterangan pers terkait dengan penyerahan mandat, melainkan juga para pegiat antikorupsi, jurnalis, dan warga lainnya. Peristiwa itu seakan menjadi klimaks penolakan yang dilakukan masyarakat sipil serta sebagian unsur pimpinan dan pegawai KPK atas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Pada hari yang sama, pemerintah dan DPR memang sedang membahas draf revisi di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta. Sejumlah poin dalam revisi UU KPK dikhawatirkan melemahkan KPK dan upaya pemberantasan korupsi ke depan.
Poin itu pembentukan Dewan Pengawas KPK, penghentian penyidikan untuk perkara yang belum selesai dalam waktu dua tahun, penyelidik dan penyidik yang nantinya menjadi aparatur sipil negara, dan lainnya.
Sejak berdiri pada 2004 hingga kini, KPK telah menetapkan 255 anggota DPR/DPRD, enam pimpinan partai politik, 130 kepala daerah, dan 27 kepala lembaga atau kementerian sebagai tersangka korupsi. Kebanyakan merupakan politisi.
Dalam uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK 2019-2023, para anggota Komisi III DPR tidak segan menyampaikan bahwa operasi tangkap tangan yang digelar KPK sebagai sebuah jebakan dan hanya parade yang membuat kegaduhan. Rompi oranye dan borgol sebagai sebuah hal yang memalukan bagi para tersangka korupsi padahal semestinya mereka dimanusiakan. Kondisi rumah tahanan juga seharusnya tidak pengap.
Hal ini diamini oleh sebagian calon pimpinan KPK terpilih untuk periode 2019-2023 sehingga pencegahan dianggap sebagai jawaban yang bisa menjadi obat mujarab korupsi. Bahkan, publikasi kasus korupsi tidak perlu kerap dilakukan.
Padahal, dalam versi yang lain, hal itu penting bagi masyarakat agar dapat mengawal kasus korupsi sehingga tidak menjadi permainan oknum penegak hukum.
Sebelumnya, sebagian kalangan menyoroti pembentukan panitia seleksi calon pimpinan KPK, juga calon-calon yang kemudian terpilih dan dikirimkan kepada DPR.
Suara publik
Suara-suara sebagian kalangan yang berkeberatan terhadap proses seleksi dan revisi pun disampaikan. Bukan hanya masyarakat sipil, berbagai tokoh besar, seperti Buya Syafii Maarif, Sinta Nuriyah Wahid, Salahuddin Wahid, Mgr Ignatius Suharyo, dan Franz Magnis-Suseno, berulang menyampaikan pesan. ”Dengarkan masukan yang jernih karena tidak semua yang di sekelilingnya (Presiden) itu baik,” ujar Syafii.
Bahkan, mengutip tulisan putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, yaitu Anita Wahid, ibundanya, yakni Sinta Nuriyah, secara personal telah mengontak Presiden sekitar pukul 03.00 untuk mengingatkan agar menjaga warisan yang pernah ditinggalkan pendahulunya dan jejak reformasi yang dicapai dengan darah dan keringat.
”Ibu yang melalui pesannya mengingatkan Presiden akan janjinya untuk menguatkan KPK. Mengingatkan akan janjinya untuk memberantas korupsi. Memohon untuk tidak mengeluarkan surpres karena hanya akan mengebiri KPK. Mengingatkan untuk tidak menjadi presiden pertama yang menyetujui sebuah revisi undang-undang yang sangat begitu vital tanpa kajian yang matang, mendalam, dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Mengingatkan agar nanti tidak dikenang sebagai presiden yang mencederai gerakan pemberantasan korupsi. Mengingatkan cita-cita mewujudkan bangsa yang bebas dari korupsi bagi anak-cucu semua”, tulis Anita.
Para akademisi juga saling bersatu menggalang dukungan untuk menolak revisi UU KPK. Di tengah banyaknya dukungan yang mengalir, satu per satu para penggerak, seperti pengajar Universitas Gadjah Mada (UGM), Rimawan Pradiptyo; peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, Oce Madril; dan pengajar Sekolah Tinggi Jentera, Bivitri Susanti, diretas alat komunikasinya.
Direktur Pukat UGM Zainal Arifin Mochtar juga menyampaikan alat komunikasinya hampir diretas. Alat komunikasi para pegawai KPK hingga grup pegawai pun diretas. Tiap aksi simpatik yang digelar untuk mendukung KPK pun selalu ditandingi dengan aksi unjuk rasa yang sebagian pesertanya tak mengetahui isu yang diangkat.
Contoh negara lain
Di banyak negara, upaya pelemahan lembaga pemberantasan korupsi juga pernah terjadi. Ada pula yang berimbas pada pembubaran lembaga antikorupsi di negara terkait. Peristiwa terakhir terjadi di Guatemala, lembaga anti-korupsinya dinyatakan tak beroperasi lagi oleh Presiden Jimmy Morales. Salah satu penyebab utamanya, International Commission Against Impunity di Guatemala sedang menyelidiki perkara yang diduga melibatkan orang dekat Morales. Begitu pula yang terjadi di Korea Selatan, Malaysia, Afrika Selatan, dan Italia.
Negara-negara itu pun memiliki Indeks Persepsi Korupsi rendah dan cenderung stagnan dari tahun ke tahun.
”Rezim otoriter akan membatasi informasi terhadap kasus korupsi. Tampak bersih dari korupsi bisa jadi karena publik tak mendapat akses informasi.
Masyarakat yang ingin mengawasi pemerintah direpresi
juga secara brutal,” ujar Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi.
Ketua Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor mengingatkan Presiden dapat terpuruk jika terus-menerus menerima masukan yang tidak seimbang. Menurut dia, kondisi ini makin terbaca dan menguat saat revisi UU KPK dan lolosnya calon pimpinan yang diduga bermasalah. ”Saya yakin sekali yang concern adalah politisi yang ingin melemahkan KPK dan itu yang meyakinkan Presiden,” ujar Firman.
Namun, dalam keterangan yang disampaikan Jumat lalu, Presiden pun menegaskan komitmennya pada pemberantasan korupsi dan penguatan KPK. ”Saya ingin KPK mempunyai peran sentral dalam pemberantasan korupsi, yang punya kewenangan lebih kuat dibandingkan dengan lembaga-lembaga lain,” kata Presiden yang didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi juga mengatakan telah mendengarkan masukan dari masyarakat, para pegiat antikorupsi, akademisi, mahasiswa, dan tokoh-tokoh bangsa. Namun, menurut Presiden, UU KPK yang sudah berusia 17 tahun memerlukan penyempurnaan terbatas supaya pemberantasan korupsi kian efektif. Harapannya, KPK tetap lebih kuat daripada lembaga lain dalam pemberantasan korupsi.
Akan tetapi, pernyataan Presiden itu belum mampu menjawab keraguan dan kekhawatiran sebagian publik akan adanya upaya pelemahan KPK, termasuk sebagian pimpinan dan pegawai KPK. Awan kelabu pun tetap menggantung di atas Gedung KPK, Kuningan, Jakarta.
(Riana A Ibrahim)