Bisikan Kalbu
Keanggunan gerak pemain wayang orang Sriwedari dari Solo, Jawa Tengah, menjerat hati Sapto Djojokartiko. Begitu pula keindahan busana yang mereka kenakan. Sapto mengabadikan keanggunan gerak dan keindahan busana wayang orang dari kota kelahirannya itu dalam koleksi rancangan busana bercita rasa modern, tetap dengan menjunjung tinggi akar tradisinya.
Rangkaian rancangan busana karya Sapto tersebut terdiri atas 57 busana yang terangkum dalam koleksi bertajuk Wisik. Terdiri dari 10 busana untuk laki-laki dan sisanya busana untuk perempuan. Kata wisik berasal dari bahasa Sanskerta, memiliki arti ’bisikan kalbu’ atau ’wahyu’.
Adalah bisikan kalbu yang kuat untuk melestarikan kesenian tradisional, khususnya wayang orang Sriwedari, yang menjadi latar belakang lahirnya Wisik. Sapto, desainer kelahiran Solo yang kini bermukim di Jakarta, terpanggil untuk mengangkat keanggunan dan keindahan wayang orang Sriwedari dalam rancangan busananya agar bisa dikenal lebih luas, terutama oleh generasi muda.
”Banyak orang, generasi sekarang, enggak aware dengan keberadaan kesenian tradisional yang ada di Indonesia. Saya orang Solo, suka melihat pertunjukan wayang orang di Sriwedari yang penontonnya semakin hari semakin sedikit. Aset ini, kalau tidak dilestarikan, tentu bakal hilang,” ungkap Sapto beberapa saat menjelang peragaan busana koleksi Wisik pada Selasa (20/8/2019) malam di Bali Room, Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta.
Dari pengalamannya berkunjung ke negara-negara lain, kesenian tradisional disajikan sedemikian rupa dengan kemasan yang menarik. Dengan begitu, kesenian tradisional dapat menjadi daya tarik bagi kunjungan wisatawan.
”Kalau di sini production-nya, ya sudah begitu saja. Takutnya, nanti kalau kita tidak aware, tiba-tiba hilang. Kalau melibatkan generasi sekarang yang lebih cepat, lebih inovatif, tentu bisa membuat ini menjadi menarik. Kalau menarik, tentu akan ada terus,” tutur Sapto optimistis.
Keprihatinan Sapto terhadap wayang orang Sriwedari itu muncul sejak lima tahun terakhir. Dulu, saat masih bermukim di Solo, karena merasa sudah terlalu biasa dengan keberadaan wayang orang Sriwedari, Sapto tak tertarik untuk menonton. Namun, begitu tinggal di Jakarta, Sapto tergerak untuk menonton dan merasa tersentuh dengan keadaan kesenian tradisional tersebut.
”Sedih juga, ya. Mungkin (jumlah) yang main sama yang menonton banyakan (lebih banyak) yang main. Harga tiketnya pun ’hanya’ Rp 5.000-Rp 10.000. Bagaimana mereka bisa survive?” kata Sapto.
Menurut Sapto, dengan penyajian yang lebih bagus dan lebih serius, wayang orang Sriwedari dapat menarik lebih banyak orang sehingga dapat bertahan lebih lama. Dengan begitu, kebudayaannya tetap ada dan terjaga, wisatawan pun tertarik untuk menonton.
”Umpamanya bisa dengan penambahan effect, atau dengan video mapping, orang mungkin akan lebih tertarik,” ujar Sapto.
Beragam gaya
Bisikan kalbu yang kuat untuk turut melestarikan keberadaan wayang orang Sriwedari akhirnya melahirkan Wisik. Peragaan busana koleksi Wisik karya Sapto menjadi bagian acara yang digelar Hotel Indonesia Kempinski dalam peringatan bulan kemerdekaan Indonesia bertepatan dengan 57 tahun berdirinya Hotel Indonesia bertajuk Kala—Capturing Indonesian Artistry.
Dalam rangkaian koleksi Wisik tersebut, Sapto menampilkan keanggunan gerak sekaligus keindahan busana para pemain wayang orang dalam beragam gaya. Kesan modern tetap muncul dengan kuat meski Sapto banyak mencuplik ide dari unsur-unsur tradisional yang melekat pada model dan busana para pemain wayang orang.
Hal itu, antara lain, terlihat dari gaya berbusana para penari yang umumnya menampilkan bagian atas tubuh yang terbuka, serta motif kain batik para penari yang menjadi detail utama rancangan Sapto.
Begitu juga dari unsur gerak tari yang anggun, gemulai, kadang juga kuat, termanifestasi dalam rancangan Sapto. Di landas peraga, Sapto menyuguhkan gunungan kaca yang dalam pewayangan berfungsi sebagai pembuka dan penutup babak pertunjukan.
Pada busana untuk kaum perempuan, sebagian garis rancangan tersimak anggun, feminin. Ini tampak dari siluet atau potongan busana berupa gaun-gaun pendek yang manis, nge-pop seperti gaun model sweater bermotif wayang, juga gaun-gaun longgar menjuntai menyentuh lantai tanpa lengan yang indah.
Sapto banyak memberi aksen pada bagian atas gaun yang mengadopsi gaya busana para pemain wayang orang. Juga penggunaan sampur (selendang kecil) di bagian pinggang pemain wayang yang diaplikasikan Sapto dengan manis pada sebagian besar rancangannya menjadi ikat pinggang.
Pemilihan warna lembut, seperti abu-abu, coklat muda, kuning lembut, dan putih, memperkuat kesan anggun dan feminin yang ditampilkan. Begitu juga dengan pemilihan bahan-bahan ringan, seperti lace, yang ditampilkan dengan detail sulaman (embroidery) yang menawan serta motif batik modang dan sempur yang umum digunakan pada busana pemain wayang orang Sriwedari.
Motif modang dan sempur itu tidak ditampilkan secara mentah, tetapi diolah sedemikian rupa hingga memunculkan detail indah bernuansa modern. Beragam teknik sulam tampak digunakan Sapto. Dia juga tampak cukup berhati-hati dalam memadukan warna kuning emas dan hitam untuk motif modang sehingga tetap memunculkan kesan modern.
Sebagian rancangan tampil dalam garis rancangan modern yang kuat dengan pilihan warna-warna berani. Seperti kuning dan merah muda menyala, warna-warna yang amat jarang dipilih Sapto. Tak heran jika dalam koleksinya kali ini, seperti diungkapkan Sapto, membuatnya keluar dari zona nyamannya selama ini. Aksen kuat tetap terdapat pada bagian atas tubuh yang umumnya ditampilkan tanpa lengan atau berpotongan terbuka di tubuh bagian atas.
Untuk busana laki-laki, Sapto juga tampak menampilkan karakter kuat, macho layaknya gerak para lelaki pemain wayang orang. Ini tampak dari penggunaan mantel panjang dan jaket beraksen kantong yang memberi kesan maskulin. Motif modang dan sempur tampil dalam bentuk kemeja.
”Saya berharap apa yang saya tampilkan ini bisa menjadi ide berbusana masa kini. Ini sebagai niatan saya karena orang sekarang cenderung tertarik untuk mengolah sesuatu dengan cara lebih. Harapannya, makin banyak generasi muda yang bisa menerima, mengerti niatanuntuk melestarikan kesenian tradisional dengan cara dan perspektif berbeda,” kata Sapto.