Cas-Cis-Cus dengan Banyak Bahasa
Apa yang terjadi jika para polyglot berkumpul? Mereka berdiskusi tentang satu-dua topik dengan aneka bahasa yang berbeda-beda. Begitulah cara polyglot atau orang yang menguasai banyak bahasa mempertahankan kemampuan mereka dalam berbahasa.
Mari kita tengok acara Language Exchange Meetup Komunitas Polyglot Indonesia (KPI), 18 Agustus 2019. Ketika itu, Buenaflor dari Sentro Rizal-Institut Kebudayaan Filipina menjelaskan tentang kebudayaan dan bahasa Filipina lewat makanan kepada 60-an peserta.
Ia memaparkan beragam makanan, tari-tarian, dan destinasi wisata di Filipina. Setelah mendengar penjelasan tersebut, para peserta yang merupakan anggota KPI duduk berkelompok untuk mendiskusikan kebudayaan Filipina dengan menggunakan aneka bahasa yang mereka suka. Ada kelompok di meja berbahasa Mandarin, Italia, Inggris, Jerman, dan beberapa bahasa lainnya.
Pada setiap kelompok kecil itu, semua anggota bebas mengemukakan pendapat menggunakan bahasa yang dikuasainya atau sedang dipelajari. Setelah itu, wakil dari setiap meja akan menceritakan di hadapan peserta lainnya mengenai apa yang mereka diskusikan.
”Hal yang membahagiakan bagi kami para volunter di Polyglot Indonesia adalah anggota kami makin percaya diri untuk bicara dalam berbagai bahasa. Setiap orang mempunyai kesempatan untuk menggunakan bahasa yang dia pelajari,” kata Direktur Eksekutif Polyglot Indonesia Mira Fitria Viennita Zakaria.
Di antara mereka, lanjut Mira, ada sejumlah anggota senior yang datang untuk melatih kembali bahasa asing yang mereka kuasai. Sebagian dari mereka pernah tinggal di luar negeri dan mempelajari bahasa negeri di mana mereka tinggal. Setelah pulang ke Tanah Air, mereka jarang menggunakan bahasa itu lagi.
Di acara KPI, mereka bisa mempraktikkan kembali bahasa tersebut dengan para polyglot lainnya. Mereka dapat membagi pengetahuan atas satu bahasa, sekaligus belajar bahasa asing yang baru.
”Siapa pun yang kita temui di sini, dia bisa kita jadikan guru. Kita juga mempunyai kewajiban untuk berbagi yang kita tahu,” kata Mira.
Penggemar bahasa
Komunitas Polyglot didirikan pada 2012 oleh Arra’di Nur Rizal, Monis Pandhu Hapsari, dan Krisna Laurensius. Komunitas ini didirikan sebagai wadah bagi semua penggemar aneka bahasa. Biasanya, sebutan polyglot disematkan kepada orang yang menguasai setidaknya lima bahasa. Akan tetapi, belum semua anggota KPI menguasai lima bahasa. Mereka sedang menuju ke arah sana.
Kholid Damanhuri, misalnya, saat ini menguasai bahasa Indonesia, Jepang, Inggris, dan Arab. Saat ini, ia mulai menguasai bahasa Urdu.
”Bahasa Urdu yang dipakai orang-orang Pakistan saya kuasai karena saat pertemuan Polyglot Indonesia kadang-kadang ada beberapa warga Pakistan yang ikut hadir di pertemuan dan kami berdiskusi dalam meja bahasa Urdu. Menarik juga mendengar mereka bicara sehingga saya ikut mempelajarinya,” tutur Kholid.
Sementara itu, Mira yang lahir di Vienna, Austria, lebih dahulu menguasai bahasa Jerman dan Inggris. ”Jadi, saya malah bisa berbahasa Jerman dulu karena sejak lahir dan sekolah sampai lulus SMA tinggal di Vienna. Setelah lulus SMA, baru kami kembali ke Indonesia dan kuliah di Jakarta, di kampus yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris,” tuturnya.
Menurut dia, untuk sehari-hari, dirinya harus belajar keras bahasa Indonesia. ”Jadi, saya baru belajar bahasa Indonesia saat menjadi mahasiswa,” ucapnya.
Pada 2013, Polyglot Indonesia dimulai dengan kegiatan Language Exchange Meetup di Jakarta. Dalam waktu satu tahun, Polyglot Indonesia telah menginisiasikan Meetup di enam kota, yaitu Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Banda Aceh, dan Semarang. Tujuan dari kegiatan Polyglot Indonesia adalah mempraktikkan bahasa lebih sering dengan suasana santai, dan anggota tidak merasa ”terintimidasi”.
”Di sini, kami juga dapat bertukar informasi, seperti informasi beasiswa atau informasi perjalanan, dan tentu saja untuk melebarkan jaringan pertemanan,” kata Mira.
Cakupan peserta kegiatan Polyglot Indonesia sangat luas dari segi latar belakang, profesi, dan usia. Hingga saat ini, peserta kegiatan antara lain mahasiswa, alumni Indonesia dari perguruan tinggi luar negeri, siswa SMP dan SMA, wirausaha, peneliti, karyawan swasta, dan organisasi internasional, serta pegawai negeri sipil. Usia mereka mulai dari 10 tahun hingga lebih dari 70 tahun.
”Sebagai wadah pencinta bahasa, kami terbuka bagi siapa pun yang ingin berkreasi selama mempunyai passion pada bidang bahasa dan budaya, serta beraspirasi positif dan mempunyai semangat belajar,” ujar Mira.
Hingga saat ini, perwakilan Polyglot Indonesia berada di sembilan kota, yaitu Banda Aceh, Bandung, Denpasar, Jakarta, Malang, Mataram, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta.
Fajar Triperdana, Koordinator Chapter Jakarta, bergabung di Polyglot Indonesia saat dirinya menjalani studi di Jurusan Sastra Jepang di Universitas Indonesia. ”Saya bergabung, ikut datang, dan kemudian mengajukan diri menjadi Koordinator Bahasa Jepang, Spanyol, dan Italia,” kata Fajar.
Menurut dia, dengan bergabung di Polyglot Indonesia, dirinya bisa bertemu teman-teman yang menyukai bahasa dan kebudayaan. Kemudian, ia dapat menjalin kerja sama dengan pusat-pusat kebudayaan beberapa kedutaan besar di Jakarta. ”Bahasa yang saya pelajari pun bisa tetap terjaga karena selalu dipakai di pertemuan,” kata Fajar yang kini bekerja di Australia Awards.
Hal senada diungkapkan Kholid Damanhuri yang bergabung di Polyglot Indonesia pada 2017. Ia bekerja di perusahaan Jepang dan mendapat beasiswa dari kantor untuk belajar bahasa Jepang di Sekolah Tinggi Bahasa Asing Japan Indo America di Bekasi.
”Dari sana, saya memperoleh informasi tentang Komunitas Polyglot Indonesia,” papar Kholid yang menguasai bahasa Indonesia, Inggris, Arab, Jepang, dan kini belajar bahasa Urdu Pakistan.
Sementara itu, Muhammad Miquel Adrian Pasha bergabung di Polyglot Indonesia pada Januari 2018. Ia bergabung untuk mengisi gap year setelah lulus SMA. Selulus dari SMA Mentari Bintaro pada Juni 2019, dia sengaja tak langsung kuliah.
”Saya ambil gap year untuk mencari pengalaman baru sebelum kuliah. Saya diundang guru IELTS untuk mengikuti Polyglot Indonesia,” kata Miquel yang juga ikut Teater Keliling, bekerja sebagai penerjemah, dan pernah menjadi kru Asian Paragames.
”Dulu, saya tidak punya banyak teman. Dengan mengikuti Polyglot Indonesia, saya bisa bersosialisasi, ada koneksi dengan teman-teman baru,” paparnya.
National Gathering Polyglot Indonesia diselenggarakan pada 23-25 Agustus 2019 di Bandung. Berbagai acara internal komunitas digelar, termasuk workshop bersama anggota Polyglot Indonesia bernama Vremita Desectia (dari Yogyakarta) yang menguasai 11 bahasa.
”Kami juga akan mengajari warga di Kelurahan Pisang (berbicara dalam) enam bahasa. Jadi, akan ada kelompok bahasa Mandarin, Spanyol, Arab, Inggris, Perancis, dan Jerman,” kata Mira.
Belajar bahasa penting untuk pengembangan diri. Banyak hal positif yang diperoleh dengan menguasai bahasa.
Namun, tak hanya kemampuan berbahasa, di komunitas Polyglot para anggotanya memperoleh kekayaan lain, yaitu pengetahuan budaya dan adat istiadat bangsa lain, serta pertemanan dengan mereka yang berhobi sama.