Jazz Menghidupi Kampung
Sabtu (14/9/2019) petang, keriuhan wisatawan yang semula tertuju pada Candi Borobudur, warisan budaya dunia berusia 1.200 tahun itu, berpindah ke Balai Ekonomi Desa Tuksongo, yang berjarak sekitar 5 kilometer di sisi selatan candi.
Keramaian di Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Tuksongo itu berpusat pada perhelatan Balkonjazz Festival 2019. Festival musik yang baru pertama kali dilaksanakan di arena balkondes ini menampilkan sejumlah artis dan grup band yang cukup ternama.
Di panggung ini tampil Yura Yunita, Rio Febrian, Payung Teduh, Dialog Dini Hari, Langit Sore, Nosstress, Frau, Tiga Sisi, dan Tashoora. Pertunjukan musik ini bisa disaksikan gratis tanpa tiket masuk.
Berlokasi di kawasan perdesaan, berdekatan dengan area pertanian, Balkonjazz Festival itu tampak sungguh meramaikan jalan yang biasanya hanya dilalui petani yang membawa sabit atau cangkul. Di musim panen tembakau seperti sekarang, para petani pun ”mengalah” dengan merapikan tembakau agar tidak tidak dijemur dan memberikan tempat untuk lalu lalang pengunjung.
Kedatangan pengunjung ke Balkondes Tuksongo sudah mulai terlihat sejak pukul 14.00, satu setengah jam sebelum acara dijadwalkan mulai pukul 15.30. Sebagian pengunjung datang awal karena mereka belum pernah tahu perihal balkondes dan mengira perjalanan ke pentas musik akan memakan waktu lama.
”Karena kami mengira jalan yang ditempuh jauh dan susah dilalui, kami sengaja bersepakat memutuskan berangkat dari rumah sekitar pukul 13.00. Kami takut terlambat,” ujar Indri (18), salah seorang warga Desa Ngasinan, Kecamatan Grabag, yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Candi Borobudur.
Indri berangkat bersama tiga teman SMA-nya. Asing dengan nama balkondes, mereka yang pergi menggunakan dua sepeda motor melakukan perjalanan menuju Balkondes Tuksongo dengan mengandalkan aplikasi Google Maps.
Balkondes memang kurang familiar, bahkan bagi warga Magelang. Indah (15), siswa kelas I SMA Negeri 2 Magelang, mengatakan pernah mendengar dan membaca balkondes disebut-sebut di media sosial, Namun, dia sendiri tidak paham apa sebenarnya yang dimaksud sebagai balkondes.
”Semula, saya mengira balkondes itu hanya tempat foto-foto selfie saja,” ujarnya.
Dengan pemahaman tersebut, dia pun tidak terlalu tertarik datang ke balkondes. Barulah setelah ada acara Balkonjazz Festival 2019, dia mengajak dua temannya Armila (15) dan Intan (15), untuk bersama-sama datang ke Balkondes Tuksongo. ”Ini adalah kunjungan pertama kami ke balkondes,” ujar mereka malu-malu.
Mereka bertiga sengaja datang demi menonton aksi panggung Yura Yunita dan Rio Febrian. Namun, sebelum dua artis ini tampil, mereka pun memuaskan diri dengan berswafoto di berbagai sudut balkondes, termasuk di area lahan tembakau di sebelah balkondes.
Direktur PT Manajemen Community Based Tourism (CBT) Nusantara, Jatmika Budi Santoso, mengatakan, jumlah pengunjung Balkonjazz Festival 2019 diperkirakan mencapai sedikitnya 3.000 orang.
”Jumlah pengunjung kali ini memecahkan rekor karena selama dua tahun program pembangunan balkondes berjalan, belum pernah ada satu balkondes pun yang mampu menyerap pengunjung sebanyak ini,” ujarnya.
Angka kunjungan ke Balkondes Tuksongo kali ini juga ”menandingi” rata-rata jumlah wisatawan ke Candi Borobudur yang berkisar 3.000-4.000 orang per hari.
Efek ekonomi
Inisiator yang juga Direktur Balkonjazz Festival, Bakkar Wibowo, menuturkan, Balkonjazz berangkat dari pemikiran untuk membuat destinasi wisata yang selama ini dikelola oleh pemerintah melalui badan usaha milik negara (BUMN) juga memberi efek ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. ”Jadi, yang kaya jangan negara saja. Masyarakat sekitar juga dapat (manfaatnya),” ujar Bakkar.
Dari situ kemudian muncul gagasan untuk mempromosikan balkondes yang selama ini menjadi wadah untuk meningkatkan ekonomi desa melalui usaha penginapan dan tempat makan yang seluruhnya dikelola warga atau desa. Di kawasan Borobudur setidaknya terdapat 20 balkondes, termasuk di Tuksongo yang menjadi tempat penyelenggaraan Balkonjazz 2019.
Festival, diungkapkan Bakkar, hanyalah salah satu cara untuk mempromosikan balkondes sehingga kemudian lahir Balkonjazz. Namun, meski Balkonjazz juga bertabur bintang, musik tidak menjadi prioritas dalam festival yang menggabungkan musik dan budaya lokal ini.
”Justru yang didorong adalah pasarnya, benar-benar pasar tiban, namanya Pasar Balkon, yang sebenarnya merupakan miniatur dari pameran UMKM, tetapi ini di desa, diikuti desa-desa balkondes,” kata Bakkar.
Di Pasar Balkon, produk yang dipasarkan adalah produk-produk lokal. Untuk mencapai arena Balkonjazz, pengunjung harus melewati Pasar Balkon, begitu juga saat meninggalkan lokasi. Dengan begitu, diharapkan terjadi transaksi ekonomi yang memberdayakan produsen lokal. ”Yang pasti, ini adalah sebuah upaya, sebuah pemantik, untuk menarik orang datang ke sana. Ya, lewat musik,” ucapnya.
Selama acara, pengunjung juga akan disuguhi berbagai kesenian tradisional setempat. Kesenian tradisional yang hidup di Tuksongo yang diangkat di Balkonjazz kali ini adalah topeng ireng dan manohara. Tujuannya, agar pengunjung semakin mengenal kesenian tradisional tersebut.
”Harapannya, kelak Balkonjazz bisa dilakukan di banyak titik di seluruh Nusantara. Terutama titik-titik yang merupakan destinasi pariwisata, seperti Labuan Bajo, Tampaksiring (Bali), dan Toraja,” kata Bakkar. Dengan demikian, ekonomi lokal akan tumbuh dan selanjutnya bisa membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang.
Deputi Bidang Usaha, Energi, Logistik, dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah mengatakan, ke depan, acara-acara musik semacam ini akan terus diselenggarakan sebagai acara rutin tahunan. Hal ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk memeratakan gairah dan daya tarik wisata di kawasan Borobudur agar tidak terus terpusat di bangunan Candi Borobudur saja.
”Kita berupaya untuk menggerakkan wisata, di mana setiap pengunjung yang datang menikmati wisata di berbagai sudut, di luar candi,” ujar Edwin.
(Dwi As Setianingsih)