Mandiri sejak Dini
Bermula dari keluarga, kita pertama kali belajar tentang norma-norma sosial, termasuk soal kemandirian hidup. Kemandirian itu bisa dimulai dari urusan yang kerap dianggap remeh: membereskan mainan, membersihkan rumah, atau mencuci baju sendiri.
Puteri Indonesia 2009 Qory Sandioriva (28) menjalani jadwal padat sebagai pebisnis, tetapi ia tetap menyediakan waktu untuk pekerjaan rumah tangga. Mewarisi kebiasaan dari ibunya, Qory selalu bangun pagi-pagi untuk menyiapkan makanan bagi putranya, Ganesa (6). ”Pola ini membantu saya sehat juga. Paling bagus bagi tubuh itu bangun subuh,” kata Qory yang kini menjalani peran sebagai orangtua tunggal, Kamis (12/9/2019).
Setelah shalat Subuh, Qory memasak untuk sarapan, makan siang, sekaligus makan malam dibantu asisten rumah tangganya. Ia lantas sibuk mengurus kebutuhan sekolah putranya. Ketika Ganesa berangkat sekolah, Qory bersiap ke kantor. ”Semua bisa diatur sendiri, tinggal komitmen dan konsistensi,” ujar Qory.
Di kantor, pemilik Wihrasa Group ini menjalankan bisnis kuliner masakan khas Nusantara di 10 restoran yang akan segera berkembang menjadi 20 restoran di Jakarta, Tangerang, dan Makassar. Ia pun terlibat pembinaan UMKM, membuat bisnis camilan sehat bagi ibu menyusui, hingga membuat hampers atau parsel cantik.
Sebelumnya, Qory yang merupakan penyintas penyakit autoimun ini sempat menggeluti bisnis desain floral. Bisnis itu awalnya dilakukan sebagai terapi. Selama 12 tahun mengidap sjogren syndrome dan lupus, ia sempat harus mengurangi aktivitas fisik. Tak lagi mengonsumsi obat steroid, cara pandang dan pola hidupnya pun harus benar-benar sehat.
Mengerjakan kegiatan rumah tangga ternyata juga bisa menjadi ”terapi” untuk terus bergerak dan hidup sehat. Penyakit autoimun juga membuatnya gampang alergi sehingga harus menjaga lingkungan rumah benar-benar bersih dan rapi.
”Saya orangnya enggak bisa diam. Keluar kamar, saya membiasakan merapikan tempat tidur. Saya pasti otomatis semprot kamar mandi. Baju kotor saya masukkan ke tempatnya. AC dimatikan, buka jendela agar hawa masuk,” kata Qory.
Pekerja media Tomi Hernawan (32) juga mewarisi kebiasaan mandiri dari orangtuanya. Tomi masih ingat sering kali melihat ibunya bangun pukul 03.00 untuk menyetrika baju. Keduanya mengidap asma. Uap hangat setrika menghangatkan badan, mengundang keringat, dan melegakan pernapasan.
”Ngangetin badan aja kata Mama. Aku juga lebih hangat ketika menyetrika. Pengganti olahraga. Menyenangkan juga,” kata Tomi.
Lepaskan stres
Sejak duduk di bangku SMP, ia memang sudah harus mencuci baju, menyapu, mengepel, dan menyetrika. Kebiasaan bertanggung jawab terhadap diri sendiri ini berlanjut ketika ia ngekos semasa kuliah, juga ketika ia menjadi seorang ayah. Setiap pagi sebelum ngantor, Tomi bakal mencuci baju dan menyapu rumah. Ia selalu mencuci baju dengan tangan dan hanya menggunakan mesin cuci untuk mengeringkan pakaian.
Pekerjaan menyetrika baju sesekali masih diambil alih oleh asisten rumah tangga (ART), tetapi biasanya ia tetap menyempatkan diri menyetrika di akhir pekan. ART lebih berperan dalam tugas memasak.
Pekerjaan mencuci baju sengaja diambil alih karena Tomi sangat detail jika terkait pakaian. Ia tahu di bagian mana ada tumpahan kopi pada baju dan harus dia bersihkan sendiri agar nyaman dipakai.
”Ngerasa senang kalau lihat baju rapi. Ada stress release. Aku tahu posisi setiap baju ada di mana. Aku sudah nyuci atau belum, sudah disetrika atau belum. Istri sering kali tanya, ’Kerudung aku di mana ya?’ Istri urus bayi. Malah di mata mertua ada plusnya,” tutur Tomi yang juga bertugas membersihkan kamar mandi sepekan sekali ini.
Ratna (38) yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Badan Pemeriksa Keuangan memilih membagi tugas domestik dengan setiap anggota keluarganya setelah dua tahun tanpa ART.
Setiap hari, Ratna bangun pukul 04.00 untuk memasak dan merapikan rumah, sedangkan suaminya, Johny, menjemur pakaian. ”Jadi beban kalau ada deadline dan lembur kerjaan. Kalau nggak, ya, senang saja. Kalau nggak ada kerjaan saya bingung juga, sih,” ujar Ratna.
Agar tidak terasa berat, mereka memaksimalkan kemajuan teknologi, seperti memakai mesin cuci hingga memanggil layanan jasa pembersihan rumah. Putra Ratna, Denzel (11) dan Enzo (6), juga mulai dilibatkan dalam kegiatan rumah, seperti menyiram tanaman.
”Belajar hidup susah. Seperti ibu saya bilang, kita nggak tahu masa depan seperti apa. Kalau yang terburuk yang terjadi, mereka bisa siap,” lanjut Ratna.
Kemandirian dengan terlibat dalam kegiatan domestik rumah tangga pun diwariskan oleh Qory kepada Ganesa. Sejak usia dua tahun, Ganesa mulai belajar tanggung jawab merapikan mainan. Ia lalu ikut-ikutan menyapu dan mengepel rumah.
Kalau ada makanan tumpah, Ganesa pun segera ambil sapu. Ia juga rajin membuang sampah ke tempatnya, merapikan baju di lemari, hingga disiplin merawat binatang peliharaan.
Tugas wajib
Stephanie Putri (32), karyawan perusahaan swasta dan ibu dua putri, juga telah memberi putri sulungnya yang berusia lima tahun, Reisha, ”tugas wajib” setiap hari, yaitu merapikan mainan dan menyiram tanaman. Dia memberikan lemari khusus untuk mainan Reisha, lengkap dengan tulisan dan foto jenis mainan. ”Jadi, dia belajar merapikan mainan sesuai tempatnya,” kata Putri.
Kedua tugas wajib itu, dalam pandangan Putri, akan secara perlahan membentuk rasa tanggung jawab dalam diri Reisha. Putri, yang pernah tinggal dan bekerja di Jepang selama tiga tahun, menyadari betul pentingnya kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang sering dianggap remeh itu.
”Di kantor di Jepang waktu itu pun secara rutin ada semacam cleaning day untuk beres-beres meja dan kertas-kertas,” katanya.
Tugas wajib terlibat dalam pekerjaan rumahan juga diajarkan di sekolah.
Di Sekolah Dasar Hikari, kawasan Serpong, Tangerang Selatan, Jumat (13/9), Mika (7) dan temannya, Bibah (7), masing-masing asyik menyeret-nyeret sapu ijuk. Gagang sapu itu bahkan lebih tinggi dari tubuh-tubuh mungil mereka. Dengan riang bersama tiga teman lain, mereka menyapu dan membersihkan ruang kelas IC di sekolah itu.
Setiap hari Jumat, para murid bergotong royong membersihkan seluruh lingkungan sekolah. Lapangan sekolah, halaman, hingga area dalam kelas tak luput dari aksi anak-anak itu. Program ini disebut Jumat Bersih.
Selain acara rutin bersih-bersih mingguan, setiap kelas juga punya tim piket harian yang terdiri atas empat atau lima anak. Setiap waktu istirahat, mereka berkeliling kelas untuk membersihkan dan merapikan apa saja yang berantakan dan kotor.
Jika kelas rapi dan bersih, mereka mendapat stiker bintang kecil. Setiap bulan, jumlah bintang dihitung dan yang terbanyak mendapat hadiah kejutan dari guru kelas. Jika mereka alpa menjalankan tugas, bintang yang telah menempel bisa juga dicabut.
”Jadi, memang kami menerapkan mekanisme punishment and reward untuk membiasakan mereka disiplin menjaga kerapian dan kebersihan kelas,” ujar Kepala SD Hikari Eka Fristiani.
Fadilah Hasim, Direktur Yayasan Semarak Pendidikan Indonesia sekaligus pendiri Sekolah Hikari, membenarkan, sekolahnya mengadopsi dan mengadaptasi metode pengajaran dan pembelajaran yang baik dari Jepang.
Dari awal, Fadilah dan rekan-rekannya juga memasukkan aspek kebersihan sebagai bagian dari metode pembelajaran utama. Semua pihak di sekolah, mulai
dari siswa, guru, hingga anggota staf administrasi, wajib membersihkan ruangan mereka setelah jam belajar dibantu seorang pegawai kebersihan.
Kata Fadilah, ”Soal bersih-bersih itu sendiri memang sejak awal kami sudah sampaikan kepada para orangtua murid bahwa hal itu bertujuan melatih kemandirian. Jadi, yang kami ajarkan, your mess is your responsibility.”