KPK, Korupsi, dan ”Frida Kahlo”
Di bagian pelataran gedung tersebut, sejumlah papan bunga berdiri. Macam-macam tulisannya. Sebagian di antaranya, ”Pak Presiden, Masih Semangat Memberantas Korupsi?”, ”Masih Bolehkah Kami Memberantas Korupsi?”
Hari Minggu, satu pekan silam, Gedung Merah Putih yang menjadi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta didatangi orang-orang dengan pakaian hitam. Mereka menutup logo dan tulisan KPK di gedung itu sebagai simbol menolak revisi Undang-Undang KPK yang dinilai melemahkan KPK. Kini, revisi UU KPK telah berjalan. Bahkan, berjalan dengan sangat cepat.
Di bagian pelataran gedung tersebut, sejumlah papan bunga berdiri. Macam-macam tulisannya. Sebagian di antaranya, ”Pak Presiden, Masih Semangat Memberantas Korupsi?”, ”Masih Bolehkah Kami Memberantas Korupsi?”
Aksi itu dilakukan pada 8 September 2019, beberapa hari sebelum Presiden Joko Widodo mengirim surat presiden yang berisi persetujuan pemerintah membahas revisi UU KPK bersama DPR, dan langsung diikuti rangkaian pembahasan.
Kegiatan yang diinisiasi pegawai KPK tersebut diikuti juga oleh Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Mengenakan pakaian hitam dan topi hitam bertuliskan ”uncorrupted”, Saut memimpin sejumlah prosesi penutupan logo dan tulisan KPK dengan kain hitam
Saut berulang kali mengingatkan sejumlah orang yang menaiki tangga untuk menutupi logo KPK di bagian depan gedung itu agar berhati-hati. Berulang kali pula ia mengutip kata-kata pelukis asal Meksiko, Frida Kahlo, yang tercetak di bagian depan kausnya.
Kata-kata yang bertuliskan ”I never paint dreams or nightmares, I paint my own reality,” itu diterjemahkannya sebagai penyemangat. ”Kita tidak sedang bermimpi, kita tidak sedang ketakutan. (Saya) Kutip (dari) pelukis Frida (Kahlo) dari Meksiko. Kalau mau bicara fakta, tidak boleh ada ketakutan, tidak boleh ada mimpi,” kata Saut.
Ia mengatakan lagi kutipan tersebut saat memberikan kalimat penyemangat tatkala sejumlah orang mulai menutupi logo KPK dengan kain hitam. Kutipan itu juga disebutkan lagi oleh Saut ketika ia diwawancarai sejumlah wartawan dari stasiun televisi.
Menurut Saut, KPK tidak pernah takut. KPK juga tidak pernah bermimpi. KPK bicara kenyataan.
”Kenyataannya apa? Kenyataannya, indeks persepsi korupsi (Indonesia, hanya) 38. Kenyataannya apa? Kenyataannya, ucapan, pikiran, dan tindakan (sebagian) orang tidak sama. Kenyataannya apa? Kenyataannya sangat lambat pertumbuhannya (ekonomi). Kenyataannya apa? Kita tanda tangan Piagam PBB (Konvensi Anti-Korupsi PBB) terus kemudian kita tidak lanjutkan,” ujar Saut.
Saut mengatakan, kenyataan itu makin diperparah dengan tidak dipatuhinya keharusan keberadaan badan pemberantasan korupsi di suatu negara yang permanen dan independen berdasarkan konvensi tersebut. Bebas dari pengaruh-pengaruh tidak penting. Menggunakan teknik spesial, yakni penyadapan untuk mengungkap sebuah kasus.
”Oleh sebab itu, tidak sesuainya ucapan, pikiran, dan tindakan ini, (adalah) fakta,” sebut Saut.
Tentang penutupan logo dan tulisan KPK di gedung tersebut, ujar Saut, hal itu sekadar simbol. Tafsirnya, ada jalan panjang yang mesti dilalui di negeri ini daripada sekadar membahas revisi UU KPK.
Dana pribadi
Beberapa saat sebelum Saut memberikan keterangan kepada publik mengenai aksi tersebut, sejumlah pegawai KPK baru saja menuntaskan proses menjahit kain-kain penutup logo dan tulisan KPK di Gedung Merah Putih. Proses itu dimulai pukul 02.00 hingga sekitar pukul 09.00 pada hari Minggu itu.
Christie Afriani, pegawai KPK yang bekerja di Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar-komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK mengatakan, mereka berbagi tugas sejak sehari sebelumnya. Sebagian pegawai membeli sekitar 2.000 tangkai bunga aster di Pasar Bunga, Rawa Belong, Jakarta Barat.
”Simbol khusus (penggunaan) bunga aster enggak ada. Cari bunga yang murah karena, kan, pakai uang patungan,” kata Christie.
Sebagian pegawai lagi menuju sebuah toko seprai di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, untuk membeli kain hitam. Masing-masing untuk menutupi logo dan tulisan di bagian atas Gedung Merah Putih dengan kain ukuran 6 x 17 meter.
Selain itu, kain tersebut juga digunakan untuk menutup tulisan ”Komisi Pemberantasan Korupsi” di bagian depan gedung dengan kain sepanjang 12 meter. Juga dua logo di bagian kanan dan kiri gedung yang masing-masing dengan kain ukuran 5 meter.
Christie menjahit lembaran-lembaran kain tersebut menjadi penutup yang sesuai untuk setiap logo dan tulisan KPK bersama empat kawannya. Seorang bertugas memasukkan benang ke dalam jarum jahit saat gulungan benang habis menggigit lembaran-lembaran kain.
”Setiap (gulungan) benang habis, ada yang masukkin biar cepat,” sebut Christie.
Menjelang pagi, dua kawan mereka datang membantu. Total ada enam penjahit dan seorang lagi bertugas memasukkan benang. Mereka berasal dari sejumlah direktorat di KPK. Perpustakaan KPK di bagian bawah Gedung Merah Putih menjadi lokasi mereka menjahit. ”Tidak ada mesin jahit. (Pakai) benang sama jarum (dijahit) manual,” ujarnya.
Dana pribadi menjadi andalan untuk menggelar aksi itu. Tidak hanya untuk ribuan tangkai bunga dan lembaran kain. Uang pribadi juga dipakai untuk konsumsi setelah aksi berjalan kaki yang diikuti sebagian orang dari momen hari bebas kendaraan bermotor (HBKB) pada hari itu menuju ke Gedung Merah Putih.
”Murni pakai pribadi. Tidak pakai uang kantor, tidak (pakai) APBN,” kata Christie.
Aksi diganggu
Aksi yang berjalan relatif meriah dengan dukungan sebagian masyarakat yang datang beserta keluarga mereka itu sempat diganggu aksi tandingan oleh belasan pemuda. Peserta aksi tandingan tersebut mengusung spanduk yang antara lain bertuliskan ”KPK dan Pegawai KPK Harus Diawasi” dan ”KPK Jangan Berpolitik”.
Meski demikian, mereka terlihat bingung dengan apa yang sesungguhnya disuarakan. Saling tunjuk koordinator aksi juga terjadi. Bahkan, orator yang membakar semangat peserta aksi juga kebingungan saat ditanya nama kelompok yang mereka wakili.
”Forum Peduli, eh, Forum Pemuda Pemerhati KPK,” kata orator bernama Ibrahim setelah bertanya kepada seorang kawannya.
Kericuhan sempat terjadi antara kelompok tersebut dan massa yang mendukung KPK. Namun, keributan bisa dihindari setelah dua kelompok itu dipisahkan.
Mungkin memang benar saat Saut mengutip Frida, terutama jika kita merujuk pada konteks asli munculnya kata-kata tersebut. Dikutip dari buku berjudul Frida: The Biography of Frida Kahlo yang ditulis Hayden Herrera (edisi 2018), kalimat yang diucapkan Frida adalah, ”They thought I was a Surrealist, but I wasn’t. I never painted dreams. I painted my own reality.”
Menariknya, menurut Herrera, kalimat itu memang menggambarkan realitas ala Frida. Frida yang sering terbaring di tempat tidur karena kondisi kesehatannya, menurut Herrera, memiliki realitas utama yang sama ”nyatanya” dengan lamunan. Ini karena petualangan alam pikiran bawah sadar dan perjumpaannya yang selalu berubah di persimpangan kesadaran.
Karena itulah, Saut juga benar saat merumuskan realitas yang dilihat KPK saat ini.
”Kenyataannya apa? Kenyataannya indeks persepsi korupsi (hanya) 38. Kenyataannya apa? Kenyataannya, ucapan, pikiran, dan tindakan (sebagian) orang tidak sama. Kenyataannya apa? Kenyataannya, sangat lambat pertumbuhannya (ekonomi). Kenyataannya apa? Kita tanda tangan Piagam PBB (Konvensi Anti-Korupsi PBB) terus kemudian kita tidak lanjutkan,” kata Saut Situmorang.