Setiap jengkal tanah dan air di Maluku serta semua yang ada di dalamnya itu bertuan. Kepemilikan itu sudah ada jauh sebelum negara ini berdiri. Ekosistem alam Maluku bertahan salah satunya berkat dijunjungnya sasi sebagai hukum adat.
Kekuatan sasi masih terlihat di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, yang dikunjungi Tim Ekspedisi Wallacea harian Kompas pada Mei 2019. Sekitar 1 kilometer perairan sepanjang kampung itu tak tampak aktivitas menangkap ikan. Perairan tersebut hingga sungai yang membelah Haruku untuk sementara ”disasi”, artinya siapa pun dilarang mengambil ikan.
Masyarakat membiarkan ekosistem itu kembali pulih hingga tiba saatnya untuk dipanen. Setahun sekali dalam upacara adat, ikan-ikan di pesisir itu ”dipanggil” masuk ke badan sungai saat air laut sedang pasang maksimal, yang biasanya terjadi pada September dan Oktober.
Setelah ikan masuk ke sungai, kewang atau penjaga alam di desa itu mengumumkan kepada semua masyarakat boleh memanen ikan. Pengumuman pelepasan sasi itu dilakukan pada malam hari ke seluruh penjuru kampung. Keesokan paginya, ikan dipanen. Ribuan orang turun ke sungai.
Tidak hanya warga Haruku, tetapi orang-orang dari luar pulau juga boleh memanen sepuasnya. Tak ada batasan. Jenis ikan yang paling banyak ditangkap adalah Trissina baelama atau dalam bahasa lokal disebut ikan lompa. Oleh karena itu, panen ikan tersebut dinamakan pelepasan sasi lompa. Sasi lompa kini menjadi agenda wisata tahunan.
”Sasi itu bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam. Menjaga alam dari keserakahan manusia. Kalau zaman sekarang, orang bilang konservasi. Orang Maluku sudah melakukan itu dari dulu,” kata Eliza Kissya, kepala kewang di Haruku.
Selain sasi lompa, burung gosong (Eulipoa wallacei) juga dilindungi. Di pekarangan rumah Eliza tersedia tempat penangkaran burung gosong. Eliza menjaga telur tersebut hingga menetas, merawat bayi burung, kemudian melepasliarkan ke alam.
Sanksi
Begitu pula penyu yang bertelur di pesisir pantai Haruku ikut dilindungi lewat sasi. Berkat sasi, beberapa waktu lalu Eliza berhasil melepasliarkan sekitar 50 anak penyu. Baik ikan lompa, burung gosong, maupun telur penyu, semuanya diikat dalam sasi.
Seperti halnya hukum positif, sasi juga mengatur tentang sanksi bagi yang melanggar. Sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran, mulai dari teguran hingga membayar denda dan sanksi sosial. Namun, sanksi yang paling ditakuti adalah kutukan dari leluhur lewat penyakit yang sulit disembuhkan hingga kematian mendadak.
Sasi dengan segala konsekuensi itu merata di seluruh Maluku, termasuk di bagian tenggara, seperti Kepulauan Kei, Kepulauan Tanimbar, dan Kepulauan Aru. Di tiga kepulauan tersebut biasanya sasi diberlakukan di laut, seperti untuk teripang. Hasil panen setelah sasi dibuka diutamakan untuk kepentingan bersama. Di Seira, Kepulauan Tanimbar, misalnya, hasil penjualan teripang dipakai untuk membangun gereja.
Di Seira pernah terjadi teripang yang sedang disasi dicuri oleh sejumlah pemuda yang dibeking oknum aparat. Oknum yang bukan penduduk lokal itu memberikan modal. Mereka menyelam pada malam hari menggunakan kompresor.
”Pemuda yang mencuri itu mengalami benjolan di perut menyerupai teripang,” kata Devi Paulus Lopulalan, tokoh agama setempat. Antropolog Kepulauan Maluku Mus J Huliselan berpendapat, masyarakat Maluku sudah mengenal konservasi lewat budaya sasi. Sasi bertujuan untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosistem. Lewat sasi, ketersediaan sumber daya alam terjaga dengan baik.
”Di banyak tempat, nilai itu sudah mulai luntur. Terlebih kalau daerah itu menjadi incaran investasi (untuk industri). Tokoh lokal harus jadi benteng,” ucap Mus.. (FRN/LUK/APO)