Peluang Wisata di Indonesia
Radisson Hotel Group mulai berinvestasi di Indonesia pada 2016 di Batam, Kepulauan Riau. Melihat tren industri pariwisata Indonesia yang positif, Radisson melebarkan bisnis dengan membangun tiga hotel di lokasi berbeda.
Langkah Pemerintah Indonesia yang diapresiasi antara lain membebaskan visa kunjungan bagi warga sejumlah negara. Meski demikian, masih ada sejumlah hal yang perlu diperbaiki, terutama dalam mengakomodasi kebutuhan wisatawan melalui kemudahan konektivitas antarpulau.
Berikut petikan wawancara Kompas dengan President of Radisson Hotel Group Asia Pasifik Katerina Giannouka di Badung, Bali, Kamis (6/9/2019).
Bagaimana awal mula perjalanan bisnis Radisson Hotel Group di Indonesia?
Semula, kehadiran kami di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia dalam acara kedinasan atau bisnis. Itulah alasan kami membangun hotel pertama di Batam, Medan (Sumatera Utara), dan yang terbaru di Lampung pada Juni 2019.
Meski demikian, kami tetap mengikuti tren yang berkembang. Kebutuhan masyarakat Indonesia bukan hanya dalam hal bisnis, tetapi juga berlibur. Oleh sebab itu, kami mulai membangun Radisson Blu di Bali. Mengapa Bali? Sebab, di mata orang-orang Asia dan Eropa, Bali sangat populer. Orang-orang di sana kerap membicarakannya.
Jadi, saat ini kami punya empat hotel di Indonesia, yaitu Hotel Radisson Blu Bali serta Hotel Radisson di Batam, Medan, dan Lampung. Kami memiliki tujuh merek yang sesuai dengan pangsa pasarnya. Untuk kelas tertinggi kami punya Radisson Collection, kemudian diikuti Radisson Blu, Park Plaza, Radisson, Park Inn, Country Inn and Suite, serta Radisson Red.
Para seniman lokal sedang memainkan gamelan pada acara Traditional Buffet di Hotel Radisson Blu Uluwatu, Bali, Kamis (5/9/2019).
Seberapa besar kontribusi Indonesia untuk pendapatan Radisson sejauh ini? Selain itu, apakah tamu domestik atau internasional yang mendominasi?
Kontribusi dari Indonesia memang masih cukup kecil mengingat saat ini kami baru memiliki empat hotel di sini. Secara global kami memiliki lebih dari 1.000 hotel, sedangkan di Asia Pasifik kami memiliki ratusan hotel. Meski demikian, secara umum 95 persen pendapatan dari Indonesia berasal dari tamu domestik.
Pasar domestik masih sangat besar karena kecenderungan orang Indonesia berlibur di dalam negeri masih tinggi. Jadi, semakin banyak hotel yang kami miliki di Indonesia, maka semakin banyak orang Indonesia juga yang berkontribusi.
Jika diklasifikasikan berdasarkan lokasi hotel, pendapatan Radisson Blu Bali dari tamu domestik memang masih minoritas. Banyak tamu datang dari Singapura, China, dan Eropa. Kita tahu pengaruh Bali masih sangat kuat dalam menarik wisatawan asing. Akan tetapi, untuk tiga hotel lain, tamu domestik adalah rajanya.
Sejauh ini, menurut Anda, bagaimana langkah yang diambil Pemerintah Indonesia di sektor pariwisata? Apa saran Anda?
Saya pikir, Pemerintah Indonesia sudah melakukan hal yang fantastis dengan mengidentifikasi sektor-sektor pariwisata andalan Indonesia. Kita tahu, Bali menyumbang 40 persen devisa pariwisata nasional.
Jadi, jika ditanya apakah pariwisata Indonesia kompetitif untuk kelas dunia? Saya rasa, ya.
Indeks Daya Saing Pariwisata Indonesia semakin baik. Hal itu tidak terlepas dari peran pemerintah dalam memberikan akses bebas visa kepada warga lebih banyak negara. Hal ini semakin memudahkan wisatawan mancanegara berwisata ke Indonesia. Hal ini semakin lengkap karena pengusaha juga tertarik berinvestasi di Indonesia. Menurut saya, mengidentifikasi pariwisata yang punya kontribusi besar memang merupakan kuncinya.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia menghadapi situasi yang relatif berat. Di sini, orang tidak bisa hanya mengandalkan kereta api untuk bepergian. Mengembangkan konektivitas antarpulau sangat diperlukan. Salah satu infrastruktur konektivitas yang utama adalah bandara. Penting untuk menambah jumlah bandara atau kapasitasnya dalam rangka mempermudah akses para wisatawan.
(Berdasarkan penilaian Forum Ekonomi Dunia, daya saing pariwisata Indonesia membaik dua peringkat ke posisi 40 dari 140 negara pada 2019)
Menurut Anda, apa tantangan berinvestasi di Indonesia?
Tantangan terbesar barangkali adalah membuat konsep yang berbeda dengan hotel-hotel lain yang sudah membanjiri Indonesia. Hal ini kami lakukan dengan menawarkan pemandangan yang menawan di Bali. Namun, hal itu tidak mudah karena untuk mendapatkan pemandangan seperti itu harus membangun hotel di tempat yang lokasinya susah diakses.
Bisa dibilang, tantangan dalam mengembangkan infrastruktur memang paling besar di sini. Tantangan lainnya terkait masalah konektivitas yang sudah saya katakan sebelumnya. Masih banyak bandara di Indonesia yang kapasitasnya kurang memadai sehingga akses antarpulau cenderung terbatas.
Indonesia telah menetapkan 10 destinasi pariwisata sebagai ”Bali Baru”.
Menanggapi hal ini, apa strategi perusahaan mendatang?
Tentu saja Pemerintah Indonesia telah mengidentifikasi pariwisata-pariwisata andalannya. Akan tetapi, saya pikir hal itu juga harus didukung akses yang bagus, baik jalan maupun bandara. Dari langkah itu, akan banyak industri perhotelan yang melirik lokasi-lokasi tersebut.
Tim pengembang kami yang berlokasi di Jakarta terus memantau berbagai peluang di Indonesia. Kami sedang mencari lokasi-lokasi baru untuk mengembangkan investasi kami, baik di Bali, Jakarta, maupun kota-kota lain di Jawa.
Salah satu lokasi yang sedang kami pertimbangkan adalah Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Kita tahu, perkembangan pariwisata di Labuan Bajo yang pesat telah diimbangi dengan pengelolaan kota yang baik. Selain itu, kami juga mempertimbangkan untuk berinvestasi di lokasi lain di Bali. Direncanakan, kami ingin membangun Park Inn di Indonesia.