Pemajuan Kebudayaan pada Era Industri 4.0 (1)
Tahun 2019 menjadi tahun penting bidang kebudayaan karena pada tahun ini program pemajuan kebudayaan dimulai secara terorganisasi. Salah satu buktinya, gelaran Pekan Kebudayaan Nasional pertama pada Oktober 2019.
Direktorat Jenderal Kebudayaan menyebutkan bahwa Pekan Kebudayaan Nasional tidak sekadar panggung ekspresi, tetapi juga merupakan panggung interaksi yang bertoleransi.
Pelembagaan Pekan Kebudayaan Nasional menjadi salah satu butir Resolusi Kebudayaan yang dicetuskan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia, awal Desember 2018. Butir resolusi ini digulirkan guna menyikapi masalah kecenderungan pengerasan sikap primordial dan sektarian di masyarakat akhir- akhir ini. Pekan kebudayaan yang akan digelar rutin itu akan menjadi platform aksi bersama yang meningkatkan interaksi kreatif antarbudaya.
”Pekan Kebudayaan Nasional digelar demi memperluas ruang ekspresi dan interaksi kreatif masyarakat, dari desa hingga kota,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hilmar Farid (Kompas 18/1/2019).
Desa menjadi area penting karena aktivitas kebudayaan banyak hidup di desa-desa. Sementara kompetisi budaya kerap hanya digelar di kota dan kabupaten. Sejumlah kompetisi budaya akan digelar dengan menampilkan literasi budaya, keterampilan teknologi tradisional, permainan rakyat, olahraga dan pengetahuan tradisional, serta seni dasar. Lantas, berlanjut dengan pameran unggulan dari kompetisi tersebut, jambore pemuda, Indonesiana, dan diakhiri dengan Gelombang Nusantara yang melibatkan pelaku budaya se-Indonesia.
Pekan Kebudayaan pada tahap awal ini akan difokuskan pada 306 kabupaten/kota yang telah menyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) dan desa unggulan rekomendasi sejumlah lembaga swadaya masyarakat, juga komunitas. Acara ini diharapkan menjadi ruang pencerahan bagi masyarakat terkait isu kebudayaan.
Penanda langkah
Pekan Kebudayaan merupakan penanda langkah konkret pemajuan kebudayaan yang mulai bergulir. Landasan awal pemajuan kebudayaan sendiri dibangun melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Sebelumnya, selama lebih dari empat dekade, upaya memajukan kebudayaan Indonesia tanpa kejelasan arah. Maklum, belum ada dasar hukum sebagai rambu-rambu pemajuan kebudayaan.
Padahal, penyusunan dasar hukum bidang kebudayaan menjadi amanat konstitusi, yang tertera pada Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945. Bunyinya, ”Negara memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
Gagasan menyusun dasar hukum tersebut baru bergulir di parlemen pada 1985. RUU tentang pemajuan kebudayaan pun mulai disusun. Namun, selama Orde Baru, RUU itu tidak kunjung rampung. Pascareformasi, RUU ini dibahas kembali di DPR pada 2015.
Pembicaraan berjalan alot karena melibatkan banyak pihak sehingga terjadi tarik-menarik tak berkesudahan. Yang terlibat antara lain Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta unsur pebisnis dan budayawan.
Salah satu faktor yang menghambat penyelesaiannya adalah perdebatan tentang apa itu kebudayaan. Sadar akan beragamnya pengertian tentang kebudayaan, RUU ini pun mendefinisikan kebudayaan secara longgar tanpa meninggalkan substansinya, yaitu ”segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat”.
Berdasarkan itu, kebudayaan nasional Indonesia kemudian diartikan sebagai ”keseluruhan proses dan interaksi antarkebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia.” Baru pada 27 April 2017, RUU tersebut disahkan DPR menjadi UU No 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Signifikansi aturan hukum ini terletak pada fungsinya sebagai panduan tata kelola pembangunan di bidang kebudayaan. UU yang terdiri dari 62 pasal itu menugaskan pemerintah untuk menyusun strategi kebudayaan sebagai pedoman konkret langkah-langkah memajukan kebudayaan. Strategi kebudayaan yang dimaksud berhasil disusun pada saat penyelenggaraan Kongres Kebudayaan Indonesia 2018.
Peran kongres
Catatan sejarah menunjukkan, kongres kebudayaan telah berlangsung sejak 1918. Saat itu kongres yang disebut dengan Congres voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling digelar di Bangsal Kepatihan Keraton Solo. Meski masih di bawah kontrol pemerintah kolonial Belanda, di dalam kongres telah menyebar gagasan tentang bangsa baru yang dipantik oleh pendirian Budi Utomo, satu dekade sebelumnya.
Pascakemerdekaan, kongres kebudayaan diselenggarakan tiga tahun sekali sejak 1948. Dinamika terjadi pada kongres tahun 1960 di Bandung, yaitu perdebatan antara kubu budayawan yang mengusung gagasan humanisme universal dan kelompok penggagas realisme sosialis. Perdebatan tersebut juga menggambarkan situasi sosial politik periode 1960-an.
Selama Orde Baru, kongres kebudayaan diadakan hanya sekali, yakni Kongres Kebudayaan VI yang digelar di Jakarta pada 29 Oktober-3 November 1991. Dalam kongres ini disepakati bahwa pembangunan harus dilaksanakan dengan berwawasan budaya sesuai dengan rumusan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1988. Namun, dalam GBHN 1993, rumusan tentang wawasan budaya tidak pernah dicantumkan lagi.
Setelah Soeharto lengser, kongres kebudayaan kembali hadir dan diadakan di Buktitinggi pada 19-23 Oktober 2003. Kongres Kebudayaan VII ini berupaya merumuskan kembali konsep, kebijakan, dan strategi kebudayaan nasional dalam tahap baru sejarah bangsa, yaitu era reformasi di tengah percepatan globalisasi menuju abad ke-21. Pada periode ini, kongres kebudayaan diadakan lima tahun sekali dalam format seminar, diskusi yang melibatkan pakar kebudayaan dan menghasilkan sejumlah rekomendasi bagi pemerintah.
Dengan format seperti itu, hingga 2013 kongres kebudayaan seolah milik segelintir budayawan, akademisi, dan birokrasi pemerintahan saja. Anggota Komisi X DPR dari Partai Golkar, Ferdiansyah, yang juga ikut menggawangi penyelesaian UU Pemajuan Kebudayaan, menyebut ”forum kongres kebudayaan sebelum 2018 menjadi seperti simposium ilmiah saja. Kongres tidak punya sangkut paut dengan kebijakan di bidang kebudayaan dan usaha bersama masyarakat mengelola kebudayaan”.
Menurut Ferdiansyah, sejak 2003, kongres kebudayaan menghasilkan begitu banyak rekomendasi yang bagus, tetapi tak berbuah menjadi kebijakan apa pun. ”Begitu banyak seruan akan perlunya strategi kebudayaan, tetapi tak ada yang betul-betul dapat ditindaklanjuti,” ucap Ferdiansyah saat memberi kuliah umum pada Kongres Kebudayaan 2018.
Awal Desember 2018, selama lima hari masyarakat merayakan kebudayaan Indonesia pada Kongres Kebudayaan X yang digelar di Jakarta. Kongres itu tak hanya menyajikan format berbeda dari kongres kebudayaan yang pernah ada sebelumnya, tetapi juga menghasilkan butir-butir rekomendasi yang sudah sangat lama dinanti-nanti, yaitu strategi kebudayaan.
Penyelenggaraan kongres yang bertepatan 100 tahun kongres kebudayaan itu menyajikan tak kurang dari 4 pidato kebudayaan, 10 debat publik, 13 kuliah umum, dan 37 pertunjukan seni. Ditampilkan pula musik pop, jazz, heavy metal, kasidah, 30 lokakarya, 15 stan bazar kuliner maritim, pemutaran film, pameran obyek kebudayaan, dan pawai budaya.
Peran masyarakat
Selama kongres berlangsung, animo masyarakat mengikuti kongres kebudayaan sangat tinggi. Catatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud selama kongres mengungkapkan tidak kurang dari 3.000 orang hadir setiap hari. Kongres berlangsung selama lima hari sehingga tak kurang dari 15.000 orang mengikuti puluhan mata acara yang diadakan selama kongres.
Peserta yang hadir sangat beragam, mulai dari budayawan, musisi, penari, muralis, perupa, aktivis, akademisi, peneliti budaya, birokrat, ekonomi, politisi, anggota komunitas, hingga mahasiswa dan para pelajar. Jumlah dan ragam serta animo tinggi peserta kongres menunjukkan sudut pandang baru melihat kebudayaan.
Negara tak lagi melihat kebudayaan sebagai aspek statis, atau bahkan bisa diformalisasi. Karena, sesungguhnya kebudayaan itu hidup dan dikembangkan oleh masyarakat sehingga sangat dinamis. Kebudayaan itu milik masyarakat, bukan pemerintah, sehingga masyarakatlah yang harus merayakan dan menentukan pemajuan kebudayaannya sendiri.
Pemerintah mengambil posisi sebagai pelaksana tata kelola, seperti roh dari UU Pemajuan Kebudayaan. Kongres kebudayaan menyediakan forum bagi masyarakat sebagai pemilik kebudayaan untuk merayakan dan membicarakan pemajuannya.
Dalam subkultur musik, misalnya, di masyarakat Indonesia hidup dan berkembang berbagai genre musik. Kongres Kebudayaan X ini menyediakan panggung bagi berbagai genre musik, mulai dari pop, jazz, klasik, etnik kontemporer, tradisional, world music, dangdut, hingga kasidah.
Peserta tidak hanya menikmati, tetapi juga diajak untuk belajar sekaligus memikirkan bagaimana agar berbagai genre musik ini tetap hidup dan berkembang. (Litbang Kompas)