Dewan Perwakilan Rakyat berupaya segera mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebelum akhir September.
Oleh
Muhammad Ikhsan Mahar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat berupaya segera mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebelum akhir September. Meskipun akhir pekan yang merupakan masa libur, panitia kerja RKUHP DPR tetap melakukan pembahasan dengan pemerintah untuk menemukan titik temu sejumlah isu krusial. RKUHP dijamin mengakomodasi nilai-nilai yang terkandung bangsa Indonesia, seperti religiositas, pluralisme, dan warisan budaya lokal.
Anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, sejak Jumat lalu hingga akhir pekan ini, pihaknya terus membahas RKUHP dengan pemerintah. Pembahasan diutamakan pada sejumlah poin yang belum ditemukan kesepakatan antara legislatif dan eksekutif. Hal itu antara lain delik kesusilaan dan delik penghinaan terhadap presiden.
”Khusus delik penghinaan terhadap presiden sudah kita setujui rumusan akhirnya,” ujar Arsul, Minggu (15/9/2019), di Jakarta.
Seperti diketahui, delik terkait penghinaan terhadap presiden tercantum dalam Pasal 218 dan 219 RKUHP. Panja RKUHP mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi No 013-022/PUUIV/2016 yang telah membatalkan delik tersebut.
Sementara itu, anggota Panja RKUHP dari Fraksi Partai Nasdem, Taufiqulhadi, menuturkan, pembahasan terhadap pemerintah juga mengenai delik tindak pidana khusus, seperti korupsi, perdagangan orang, terorisme, dan narkotika. Ia memastikan, kehadiran delik pidana khusus itu tidak akan menghilangkan ketentuan sejumlah tindak pidana khusus itu yang telah diatur di dalam undang-undang lex specialis.
”Kami hanya mengambil beberapa inti dari UU lex specialis itu untuk dimasukkan ke dalam RKUHP. Dengan demikian, UU lex specialis, misalnya tindak pidana korupsi (tipikor), tetap berjalan, tetapi semua aturan pidana harus menginduk kepada KUHP,” kata Taufiqulhadi.
Delik tipikor tertuang dalam Pasal 604-607 RKUHP. Pasal itu dianggap bermasalah karena RKUHP tidak mengadopsi pengaturan khusus yang tertuang dalam UU Tipikor, seperti meniadakan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti bagi para terpidana kasus korupsi.
Anti-kolonial
Lebih lanjut, Taufiqulhadi menekankan, misi DPR untuk segera menyelesaikan RKUHP adalah kehadiran RKUHP merupakan cara DPR untuk melakukan dekolonisasi hukum pidana Indonesia. Atas dasar itu, semangat utama dalam pengesahan RKUHP itu untuk meniadakan karakter kolonial secara mendasar terhadap kodifikasi hukum pidana warisan pemerintah kolonial.
Menurut dia, pemerintah kolonial melakukan upaya terstruktur, sistematis, dan masif untuk memaksakan KUHP itu diadopsi masyarakat Indonesia setelah Indonesia merdeka.
”Oleh karena itu, kami berharap kelompok masyarakat dan intelektual pahami dulu tujuan pengesahan RKUHP itu. Persoalan ada kekurangan di sana-sini, maka setiap saat bisa kita perbaiki, salah satunya melalui judicial review,” tutur Taufiqulhadi.
Merujuk semangat itu, menurut dia, RKUHP mewadahi ideologi bangsa Indonesia, terutama nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat. Tiga nilai utama yang menjadi pedoman penyusunan RKUHP ialah religiositas, pluralisme, dan warisan lokal.
Ketentuan hukum yang hidup di masyarakat (living law), ujar Taufiqulhadi, diterapkan karena mewarisi tiga nilai utama bangsa Indonesia itu. ”Kalau tidak bisa memahami, pihak-pihak yang menentang itu menganut paham kolonialisme,” katanya.
Arsul menambahkan, ketentuan living law akan intensif dibahas DPR bersama pemerintah mulai Senin ini. Delik living law termuat dalam Pasal 2 Ayat (1) dan (2) RKUHP.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, mengatakan, semangat anti-kolonialisme yang dicanangkan DPR justru bertolak belakang dengan delik-delik pidana yang muncul dalam RKUHP. Ia mencontohkan, pasal penghinaan terhadap presiden pada dasarnya berasal dari pasal tentang lese mejeste yang awalnya bertujuan melindungi Ratu Belanda. Pasal itu merupakan warisan kolonial.
”Karena telah dibatalkan MK, menghidupkan kembali pasal ini berarti membangkang pada konstitusi,” kata Maidina.
Maidina menambahkan, mengadopsi ketentuan yang hidup dalam masyarakat ke dalam KUHP juga rentan overkriminalisasi. Jika pengaturan living law lebih lanjut dilakukan melalui peraturan daerah, pemerintah daerah berpotensi mengeluarkan perda yang diskriminatif. Selain itu, ada potensi aparat penegak hukum menerapkan aturan living law berdasarkan penafsiran sendiri tanpa batas legalitas yang jelas.
”RKUHP berpotensi besar menghasilkan ancaman pidana yang tidak proporsional dan mengakibatkan warga negara yang dihukum pidana kemudian dipenjara meningkat. Kita minta pemerintah dan DPR tidak buru-buru mengesahkan RKUHP,” tuturnya.