Sagu Tenggelam di Tanahnya Sendiri
Dalam Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi 2015-2019, produksi padi ditargetkan 82 juta ton, jagung 24,1 juta ton, dan kedelai 2,6 juta ton. Dari ini jelas hanya tiga jenis sumber pangan itu yang jadi prioritas utama.
Mama Fani (35) dan Mama Punusa (40) baru saja kembali ke ”rumah” mereka yang beratap daun woka tanpa dinding di pinggir Sungai Tayawi, kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Maluku Utara.
Sebulan lamanya dua keluarga suku Tobelo Dalam itu tinggal di hutan mencari getah damar, babi, rusa, dan sagu. Sebagian untuk dikonsumsi sendiri, sebagian lagi untuk dijual.
Sebelum dikonsumsi, sagu yang sudah dikeringkan dicampur dengan kelapa yang dibakar. Sagu 3-4 kilogram yang dibuat tiga hari itu dicukup-cukupkan untuk makan 6 orang selama seminggu. Jika beruntung, terkadang ada pisang, ubi, udang, ikan air tawar, bahkan daging rusa.
Namun, sagu juga tidak mudah ditemukan lagi, harus makin masuk ke hutan. ”Di hutan, kami tinggal dekat pohon sagu. Kalau sagu habis, pindah lagi,” kata Mama Punusa.
Sama seperti Mama Fani dan Punusa, Yohanes Sapulette juga mengolah sagunya sendiri di Masihulan, Seram Utara, Maluku Tengah, Maluku. Selain untuk keluarga, sagu itu dijual Rp 50.000 per tumang. Satu tumang bisa menampung 15-20 kilogram tepung sagu basah. Yohanes menebang pohon sagu setinggi 8 meter lalu membelah dan mengambil sari pati dengan cara diperas hingga menghasilkan tepung halus.
Tepung halus sagu itu lalu disimpan dalam 40 tumang. Tepung sagu bisa dibuat papeda atau sagu lempeng. Satu tumang sagu cukup memenuhi kebutuhan keluarga Yohanes untuk 10 hari. Apabila 10 hari itu mereka mengonsumsi beras, mereka harus mengeluarkan uang hingga Rp 100.000.
Pamor sagu sebagai bahan pangan lokal Maluku meredup. Sagu bukan lagi makanan utama. Kondisi itu diperparah dengan dukungan pemerintah yang lemah terhadap keberlangsungan sagu. Di Maluku, lahan sagu dibabat untuk dijadikan areal persawahan, jalan usaha tani, dan permukiman transmigrasi.
Pembuat sagu berkurang karena tingkat konsumsi menurun seiring hadirnya beras dalam program penyeragaman pangan nasional sejak Orde Baru. Pengolah sagu kini kebanyakan orang tua seperti Yohanes yang sudah berusia 58 tahun. ”Anak muda banyak yang tidak tahu kerja sagu,” katanya.
Padahal, bagi Yohanes, mengonsumsi sagu membuat daya tahan tubuh lebih kuat. Beras memiliki kandungan gula, sementara sagu yang rasanya tawar itu tanpa gula. Untuk menjaga asupan gula dalam tubuh tercukupi, sagu lempeng bisa dikonsumsi dengan tambahan teh atau kopi.
Wardis Girsang, pengajar Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Ambon, mengatakan, kandungan karbohidrat dalam sagu sama dengan beras, yakni 80-84 gram. Perbedaannya, pada beras terdapat gula dan protein, sedangkan dalam sagu semua itu tak ada.
Keberadaan sagu ini diceritakan naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace, dalam bukunya, The Malay Archipelago, yang terbit pada 1869 atau 150 tahun lalu. Dalam buku itu, ia mencatat pengalamannya saat menjelajahi Pulau Seram, Kepulauan Matabello, dan Goram (Oktober 1859-1860). ”Kue sagu makanan saya sehari-hari sebagai pengganti roti. Saya menikmatinya bersama secangkir kopi,” tulis Wallace.
Selamatkan sagu
Dukungan pemerintah terhadap sagu, kata Wardis, minim. Pemerintah masih fokus mengurus padi, jagung, dan kedelai sesuai arah kebijakan pangan nasional. Berdasarkan catatan Kompas, pada 2015, sekitar 350 hektar hutan sagu di Desa Besi, Seram Utara, dialihfungsikan menjadi persawahan. Jumlah pokok sagu Maluku diperkirakan anjlok 50 persen dalam 50 tahun terakhir. Pada 2016, sagu Maluku tersisa 40.514 hektar dengan jumlah pohon sagu 3.797.493 batang.
Menurut Wardis, sagu memiliki keunggulan. Sagu mampu menyimpan air, meregenerasi dirinya sendiri, dan bisa dipanen saat berusia di atas sembilan tahun. Sementara padi boros air. Sebanyak 1 kilogram gabah butuh 4.500 liter air. Areal untuk menanam padi di Maluku pun terbatas. Pun, dari proses cetak sawah yang dilakukan hingga 56.000 hektar, hanya 15.000 hektar yang produktif dengan hasil 70.000 ton beras. Jumlah itu hanya separuh dari kebutuhan Maluku.
”Harusnya pangan lokal diberi perhatian. Selama ini sebatas rencana. Belum ada tindak lanjut,” katanya. Nusantara mengenal beragam jenis pilihan sumber pangan dan tak hanya bergantung pada beras semata. Sorgum, sagu, ubi jalar, jagung, talas, singkong, atau jewawut adalah contoh sumber karbohidrat selain beras. Ketergantungan pada satu jenis komoditas pangan justru menciptakan kerentanan terhadap ketahanan pangan.
”Pada 1954, konsumsi beras nasional 53,5 persen dari beragam sumber karbohidrat dan sisanya pangan lokal. Pada 1981 angkanya naik jadi 81,1 persen dan pada 2017 turun jadi 75 persen. Artinya, beras masih menjadi pilihan pertama orang Indonesia sebagai sumber makanan pokok,” kata Direktur Program pada Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) Rony Megawanto, Kamis lalu.
Manajer Ekosistem Pertamina Kehati Puji S Hanggarawati menambahkan, ragam genetika berpotensi hilang jika padi menjadi pilihan utama sebagai sumber pangan. Masyarakat bisa lupa terhadap ragam pangan yang lain lantaran tidak dibudidayakan. Ini potensi erosi genetik.
”Padahal, sumber pangan lain, seperti sorgum, pembudidayaannya tidak serumit padi. Sorgum bisa tumbuh di daerah kering dan tak memerlukan perawatan seperti pemberian pestisida dan sebagainya,” ujar Puji.
Dalam Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi 2015-2019, produksi padi ditargetkan 82 juta ton, jagung 24,1 juta ton, dan kedelai 2,6 juta ton. Dari ini saja jelas terlihat hanya tiga jenis sumber pangan itu yang menjadi sasaran pembangunan pangan di Indonesia. Dan, lagi-lagi, padi masih menjadi prioritas utama. (LUKI AULIA/ARIS PRASETYO)