Mengejar pelanggan baru bukan lagi solusi bisnis yang tepat bagi industri telekomunikasi seluler. Sebab, saat ini jumlah pelanggan layanan seluler sudah melampaui jumlah penduduk.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mengejar pelanggan baru bukan lagi solusi bisnis yang tepat bagi industri telekomunikasi seluler. Sebab, saat ini jumlah pelanggan layanan seluler sudah melampaui jumlah penduduk.
Data yang dihimpun dari lima perusahaan telekomunikasi seluler di Indonesia menunjukkan, total pelanggan sekitar 339,1 juta. Adapun jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 260 juta orang.
Per akhir Juni 2019, Telekomunikasi Selular atau Telkomsel memiliki 167,8 juta pelanggan. Adapun Indosat Ooredoo memiliki 56,7 juta pelanggan, XL Axiata mempunyai 56,6 juta pelanggan, Hutchison Tri Indonesia 38 juta pelanggan, dan Smartfren sebanyak 20 juta pelanggan.
Pelanggan yang termasuk dalam data ini dari segmen ritel. Industri telekomunikasi biasanya membagi pelanggan ke dalam kelompok berdasarkan sejumlah kriteria, antara lain umur dan pekerjaan.
Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono yang dihubungi pada Minggu (15/9/2019), di Jakarta, berpendapat, dengan jumlah sebanyak itu, bisnis layanan seluler untuk segmen ritel relatif jenuh. Kenaikan jumlah pelanggan baru sulit terjadi.
Meski demikian, ia melihat, masih ada operator telekomunikasi seluler yang mengejar pelanggan individu baru.
”Operator telekomunikasi seluler bukan lagi fokus menambah jumlah pelanggan, tetapi meningkatkan pemakaian. Konsumsi bandwidth per kapita di Indonesia hanya seperlimapuluh dari China,” ujarnya.
Bandwidth merupakan nilai konsumsi transfer data yang dihitung dalam bit per detik.
Lektor Kepala Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung Ian Josef Matheus Edward menyebutkan, saat ini aplikasi yang berkembang pesat antara lain media sosial, percakapan instan, teknologi finansial, dan perantara. Contoh aplikasi perantara adalah Tokopedia, Bukalapak, Go-Jek, dan Grab.
Sejauh ini belum ada terobosan aplikasi baru sehingga pelanggan layanan telekomunikasi seluler segmen ritel menggunakan yang sudah ada.
Dari sisi kinerja pendapatan, Ian memperkirakan, segmen ritel hanya akan tumbuh 3-5 persen. Padahal, idealnya pendapatan tumbuh 10 persen.
”Pertumbuhan pendapatan segmen ritel didorong konsumsi data dan masih berpusat di Jawa serta kota-kota besar Indonesia. Konsumsi data juga berkutat pada aplikasi-aplikasi yang sudah ada,” kata Ian.
Kristiono menambahkan, dengan realitas ini, pilihan bagi industri telekomunikasi untuk terjun ke bisnis yang melayani segmen perusahaan atau bisnis ke bisnis (B2B) adalah keniscayaan.
Tidak mudah
Pendiri Great Telco Debate, Chris Lewis, dalam wawancara dengan ITU (Organisasi Telekomunikasi Dunia) News pada Mei 2019 menyampaikan, di era revolusi industri 4.0, muncul pemikiran di perusahaan telekomunikasi bahwa segmen perusahaan menawarkan peluang lebih besar dibandingkan dengan segmen konsumen ritel.
”Tantangan utamanya, menemukan model bisnis yang tepat agar pelanggan segmen apa pun bisa memperoleh akses layanan sesuai gaya hidup digital,” katanya.
Senior Vice President Enterprise Account Management Telkomsel Dharma Simorangkir mengatakan, operator dituntut memiliki sumber daya besar, terutama talenta. Operator memerlukan pekerja yang andal di bidang kecerdasan buatan, keamanan siber, dan komputasi awan untuk mengembangkan layanan bagi segmen perusahaan.
Sementara itu, Chief Business Officer Indosat Ooredoo Intan Abdams Katoppo menuturkan, regulasi merupakan salah satu tantangan yang dihadapi perusahaan telekomunikasi untuk terjun ke segmen perusahaan. Ia mencontohkan, hingga kini pemerintah belum mengatur secara teknis perihal hal terhubung internet. (MED)