Kebakaran hutan-lahan tak hanya menimbulkan kerugian ekonomi. Masa depan dan kesehatan generasi muda pun terganggu. Bahkan, kematian mengintai anak-anak.
Kemarau ini mengulang masa nestapa bagi warga Sumatera dan Kalimantan. Asap kebakaran hutan dan lahan mengancam nyawa, terutama bocah-bocah tak berdosa. Rahma (30) hampir kehabisan akal. Pintu dan jendela rumah telah ditutup rapat, tetapi jerebu (abu bakaran) menerobos masuk lewat celah dinding dan lantai kayu.
Sepanjang hari, kedua anak balitanya rewel. Si bungsu Alifah (2) terus menangis akibat demam, batuk, dan pilek. ”Berat badan Alifah turun 1,5 kilogram,” katanya, Sabtu (14/9/ 2019). Sementara itu, mata Alif (4), kakak Alifah, memerah dan berair akibat asap.
Rahma pernah membawa Alifah ke RSI Arafah di Kota Jambi. Ia dirawat hampir sepekan. Demamnya mulai turun, tetapi batuknya belum mereda. Setelah menghabiskan biaya Rp 4,3 juta, Rahma memutuskan membawa Alifah pulang karena kehabisan uang. Namun, kabut tebal menyambut di Koto Kandis Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Api membara di areal perkebunan sawit berjarak 1 kilometer dari rumahnya.
Ratusan kilometer dari rumah Rahma, Qiana Raisa (3) tampak lemah digendong ibunya, Safitri. Mereka menuju Poliklinik Korem 031/Wirabima di Jalan Hang Tuah, Pekanbaru. Sudah sepekan Qiana batuk dan sesak napas. Sebulan terakhir, udara Kota Pekanbaru memburuk akibat kabut asap. Pada 12-13 September, udara Kota Pekanbaru berada dalam kategori berbahaya bagi kesehatan manusia.
Sesampai di klinik yang difungsikan sebagai Rumah Singgah Kabut Asap, Qiana langsung diberi oksigen. Ia tampak lega menikmati aliran oksigen murni melalui saluran pernapasannya. Qiana beruntung dibanding Elsa Pitaloka. Bayi berusia empat bulan anak Ngadirun (34) dan Ita Septiana (27) dari Banyuasin, Sumatera Selatan, itu meninggal, Minggu (16/9).
Direktur Utama RS Islam Ar Rasyid Palembang Toni Siguntang mengatakan, bayi itu terkena infeksi saluran pernapasan bawah (pneumonia) dan radang selaput otak (meningo-ensefalitis). Ini kali kedua Ngadirun kehilangan buah hatinya. Hampir tiga tahun lalu, anak pertamanya, Muhammad Jaru Herdiansyah, meninggal. ”Saat itu musim kemarau dan asap juga,” ujar Ngadirun.
Asap mengepung rumahnya sejak seminggu lalu. Saat malam dan pagi, asap di sekitar rumahnya pekat sekali. Elsa yang demam tinggi dengan batuk dan pilek dibawa ke bidan desa. Karena kondisinya tidak sadar, Elsa disarankan dibawa ke rumah sakit. Ia tak tertolong setelah tujuh jam dirawat intensif di RS Ar Rasyid Palembang.
Rumah singgah
Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan belum perlu rumah singgah karena kondisi udara di Sumsel belum masuk kategori berbahaya. Kepala Dinas Kesehatan Sumsel Lesty Nurainy menyatakan, kondisi udara di Sumsel masih dalam kategori baik dan sedang. Namun, ia mencatat peningkatan penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Agustus 2019, penderita ISPA di Sumsel 50.862 kasus, sedangkan pada Juli 2019 ada 40.874 kasus.
Sebaliknya, Kepala Seksi Observasi dan Informasi Stasiun Meteorologi Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang Bambang Benny Setiaji menyatakan, pada 16 September konsentrasi PM 10 yang tercatat di Stasiun Klimatologi Palembang menyentuh kategori sangat tidak sehat, 319 µgram per m3. Jauh dari ambang batas tidak sehat, 150 µgram per m3. Kondisi tidak sehat hingga sangat tidak sehat umumnya pada rentang waktu pukul 22.00-08.00 WIB. Sementara pada pukul 08.00- 22.00 WIB kondisi udara umumnya sehat hingga sedang.
Di Jambi, informasi indeks kualitas udara dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika pada aplikasi IQAir Visual menunjukkan kualitas udara tidak sehat. Sementara itu, kondisi di Pekanbaru, Bengkalis, Rokan Hilir, Dumai, Siak, Indragiri Hulu, dan Pelalawan berbahaya.
Data Dinas Kesehatan Kota Jambi, jumlah penderita ISPA 7.142 kasus pada Juni, naik menjadi 9.316 kasus pada Juli. Agustus hingga 10 September, jumlahnya 11.251 kasus. Menurut Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera Amral Fery, dalam kondisi udara sangat tidak sehat, tidak boleh ada lagi aktivitas manusia di luar ruangan. Pada saat kondisi udara berbahaya, anak balita dan ibu hamil harus dievakuasi ke tempat aman.
Aktivis LSM Beranda Perempuan, Zubaidah, mendesak pemerintah daerah, khususnya di lokasi kebakaran lahan, menyediakan rumah singgah terutama bagi ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak. Wali Kota Jambi Syarif Fasha mengeluarkan instruksi agar seluruh kantor dan pusat perbelanjaan menyediakan ruang khusus bagi korban asap.
Pemerintah Provinsi Riau, mulai 10 September, membentuk posko kesehatan dan rumah singgah terkait asap. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Riau Mimi Yuliani Nasir, pihaknya telah menyediakan 17 posko kesehatan yang sekaligus berfungsi sebagai rumah singgah bagi warga yang terpapar asap. Di rumah singgah terdapat alat penyejuk ruangan, penjernih udara, serta oksigen siap pakai. Di Kalimantan Tengah, Salvya (9) terbaring lemah di ruang oksigen RSUD Doris Sylvanus, Kota Palangkaraya.
Pusat Pengendalian dan Operasi Penanggulangan Bencana Provinsi Kalteng mencatat, nilai PM10 di Kota Palangkaraya mencapai 1.993 µgram per m3 dari batas 150 µgram per m3. Sementara PM 2,5 mencapai 2.078 µgram per m3 dari ambang batas 65 µgram per m3. Kepala Bidang Program dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng Endang Sri Lestari menyatakan, ada 22.000 penderita ISPA akibat kebakaran hutan dan lahan di Kalteng.
Adapun kualitas udara di Pontianak menyentuh nilai PM10 303,08 µgram per m3 atau sangat tidak sehat. Karena itu, Pemkot Pontianak memperpanjang libur siswa TK, SD, dan SMP. Semula sampai Senin (16/9), diperpanjang hingga Selasa (17/9). Tak hanya anak-anak, orang dewasa juga terdampak asap. Syafaruddin Usman (45), Kristianus Atok (53), Saring (79), Muhammad Tahak (56), dan Federica Garcia (36) mengalami gangguan pernapasan sejak kabut asap melanda Pontianak. (SAH/ITA/RAM/IDO/ESA)