Habibie Bakal Tetap Abadi di Hati Kota Ini
Tujuh hari lalu, Indonesia kehilangan sosok besar Bacharuddin Jusuf Habibie. Di Kota Bandung, Jawa Barat, jejaknya tetap hangat dalam dekapan.
Tujuh hari lalu, Indonesia kehilangan sosok besar Bacharuddin Jusuf Habibie. Di Kota Bandung, Jawa Barat, jejaknya tetap hangat dalam dekapan. Banyak anak bangsa termotivasi melanjutkan perjuangan besarnya untuk negeri dengan caranya sendiri-sendiri.
Di trotoar depan Gedung Indonesia Mengugat (GIM), batang-batang dupa itu mulai dinyalakan saat matahari menyengat Bandung, Selasa (17/9/2019) siang. Asapnya membubung ke udara menyatu dengan lembab udara pada musim kemarau kali ini. Di antara bunyi klakson, macet, dan hiruk pikuk lalu lintas kota, empat seniman mencoba khusyuk menampilkan karya terbaik bagi sang motivator.
Empat seniman itu adalah Oos Koswara, Gatot Gunawan, Andy Waluya Watja, dan Wanggi Hoed. Mereka berkolaborasi menampilkan gerak tari, lantang puisi, dan geliat pantomim dalam pertunjukan bertajuk ”Street Performance 7 Hour Non-Stop”.
Sesuai dengan namanya, acara ini digelar selama tujuh jam dari pukul 13.00 hingga pukul 19.00. Kali ini, Bacharuddin Jusuf Habibie menjadi sosok utamanya. Tiga lembar foto Habibie, salah satunya dalam bingkai sederhana, menegaskan hal itu.
”Kami ingin menampilkan beberapa fase penting dalam kehidupan beliau. Selain tokoh teknologi Indonesia, beliau menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Kebetulan banyak hal besar terkait hal itu ia lakukan di Bandung,” kata Wanggi.
Oos menjadi seniman pertama yang beraksi. Dia mengenakan baju tradisional khas Bugis dengan baju hitam, sarung, dan kopiah. Dari mulutnya meluncur doa pangjajap, tradisi doa masyarakat Sunda untuk mengantar orang yang meninggal menuju surga.
Setelah doa dipanjatkan, Oos kebagian fragmen perjalanan Habibie sejak kelahirannya di Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, hingga masa mudanya sebelum merantau. Gerakannya pelan, menggambarkan kehidupan yang baru bertumbuh.
Selanjutnya Wanggi yang beraksi. Seniman pantomim ini mengenakan batik hitam lengan panjang saat menceritakan kisah Habibie muda yang menempuh SMA Kristen (SMAK) Dago, tempat dia bertemu belahan jiwanya, Hasri Ainun. Berlabur riasan putih di wajahnya, Wanggi memerankan perjalanan panjang Habibie saat menuntut ilmu hingga jatuh hati.
Selepas itu, Gatot dengan topeng panji berwarna putihnya ikut beraksi. Ada syal putih melingkar di lehernya. Gerak anggunnya ingin menceritakan tentang kesahajaan Habibie pasca-meninggalnya Ainun. Syal putih itu simbol peninggalan Ainun.
Akan tetapi, tak hanya kisah romantis yang dipaparkan di sana. Epos tentang Habibie dipaparkan juga lewat puisi yang dibacakan Andy. Saat membaca puisi, Andy menerbangkan pesawat kertas yang totalnya berjumlah 83. Angka itu sebagai simbol usia Habibie menutup mata. Setiap pesawat kertas yang diterbangkan bermakna pencapaian yang diraih dalam hidup Habibie.
Saat membaca puisi, Andy menerbangkan pesawat kertas yang totalnya berjumlah 83. Angka itu sebagai simbol usia Habibie saat menutup mata. Setiap pesawat kertas yang diterbangkan bermakna pencapaian yang diraih dalam hidup Habibie.
Pemilihan GIM juga bukan tanpa alasan. Di tempat ini, Soekarno membacakan pleidoi yang terkenal berjudul ”Indonesia Menggugat”. GIM menjadi potongan sejarah penting perjuangan Soekarno mengantar Indonesia merdeka.
Gatot menuturkan, sepak terjang Habibie mirip dengan yang dilakukan Soekarno. ”Bung Karno mengamanatkan kepada masyarakat Indonesia supaya memajukan bangsa dengan cara sendiri. Habibie juga selalu menggelorakan hal itu. Dia tak pernah berhenti untuk mengajak anak bangsa guna membangun kemandirian di segala bidang,” ujar Gatot.
Baca juga : Sebelum Menjadi Presiden Habibie Telah Berpikir Indonesia Harus Demokratis
Ketimbang Jakarta, Bandung kerap tersembunyi di balik kisah hidup Habibie. Padahal, seperti yang diungkapkan seniman-seniman bandung itu, Habibie menghabiskan masa remaja, mematangkan ide teknologi besar, hingga mewarnai hidupnya dengan kegiatan sosial di ”Kota Kembang”.
Seperti Soekarno, Bandung memberikan banyak pelajaran hidup bagi Habibie. Uniknya, keduanya tercatat sebagai orang-orang yang pernah memimpin negeri ini.
SMAK Dago menjadi tempat pertama Habibie muda menjejakkan kakinya. Menjadi siswa angkatan kedua, Habibie sepertinya belajar ilmu kehidupan baru. Meski berbeda keyakinan, ia tidak keberatan belajar di SMAK Dago.
Berdasarkan banyak cerita yang didengarnya, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMAK Dago Senglam Purba mengatakan, Habibie memandang perbedaan keyakinan bukan masalah. Dia tetap mengikuti kegiatan belajar di sekolah ini dengan baik. Bahkan, ia membanggakan sekolah dengan prestasi yang ia raih.
Kepala SMAK Dago Rosmian Simorangkir juga terinspirasi dengan jejak keberagaman Habibie. Meski berbeda keyakinan, ia tidak ragu menempuh pendidikan di SMAK Dago.
Jadi, sangat wajar jika pada saat Habibie dipanggil Yang Kuasa, tak hanya saudara seiman yang berdoa di pusaranya. Sejak lama, Habibie adalah sosok yang menghargai perbedaan.
Baca Juga : Xanana Berziarah ke Makam BJ Habibie
Tak jauh dari SMAK Dago, meski berbeda generasi, nilai-nilai besar milik Habibie terus hidup di PT Dirgantara Indonesia (DI). Saat PT DI masih bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara, Habibie pernah menjadi direktur utamanya pada periode 1976-1998.
Salah satu yang terinspirasi adalah Test Aircraft Engineer Prototipe Pesawat CN-235, N-250, dan N-219 PT Dirgantara Indonesia, Djatmiko. Pernah menjadi anak buah langsung Habibie, ia tahu benar sikap profesionalitas yang dipegang atasannya itu.
Ia mencontohkan, kenangan saat N250 bakal terbang perdana pada 1995. Saat itu, beliau menggelar rapat untuk memastikan apakah pesawat siap atau tidak untuk terbang. Jika tidak siap, dia mengatakan, penerbangan perdana sebaiknya ditunda dulu meski acara itu nanti akan dihadiri Presiden Soeharto.
”Beliau menekankan pentingnya profesionalisme, tidak terpengaruh kepentingan politik,” kata Djatmiko.
Lebih dari 24 tahun berlalu sejak terbang perdana, pesawat N-250 masih tersimpan di hanggar PT DI. Jejaknya menginspirasi banyak hal. Proyeknya berhenti, tetapi semangatnya justru membuat anak bangsa lebih percaya diri untuk berkarya.
Salah satunya saat PT DI merintis pembuatan pesawat N-219. Proyeknya masih berjalan dalam memenuhi sertifikasi jam terbang. Sertifikasi ditargetkan selesai tahun ini. Jika target itu tercapai, N-219 dapat diproduksi tahun depan.
Pesawat bermesin ganda dengan kapasitas 19 penumpang itu dirancang dapat mendarat di landasan pendek, 400-600 meter. Kualifikasi ini dinilai cocok digunakan untuk menjangkau daerah tertinggal, terdepan, dan terluar di Indonesia.
Ke depan, untuk mengabadikan kenangan pada sang pelopor, Habibie akan mendapat tempat terhormat. Pada prototipe kedua pesawat N-219 yang sedang dalam proses sertifikasi uji terbang Aircraft System, ada gambar wajah Habibie di ekor pesawat. Gambar wajah itu ditemani tulisan ”Kami Lanjutkan Perjuanganmu”.
Habibie akan mendapat tempat terhormat. Pada prototipe kedua pesawat N-219 yang sedang dalam proses sertifikasi uji terbang Aircraft System, ada gambar wajah Habibie di bagian ekor pesawat. Gambar wajah itu ditemani tulisan ”Kami Lanjutkan Perjuanganmu”.
”Beliau akan terus terbang bersama kami,” kata Djatmiko.
Tidak hanya saat aktif berkarya, pada usia senja, jiwanya tak berhenti menginspirasi. Warga Kelurahan Isola, Kecamatan Sukasari, Kota Bandung, yang tinggal di sekitar kediaman Habibie, menyimpan kenangan itu.
Sejak tahun 1982, Habibie mendirikan Dapur Jompo. Dapur ini rutin membagikan makanan untuk warga jompo pada pukul 09.00-11.00 setiap hari. Hingga kini, warga lanjut usia yang mendapatkan makanan dari Dapur Jompo berjumlah 18 orang. Aktivitas di panti jompo itu tidak pernah berhenti sampai sekarang.
Aan (61), warga RW 004 Kelurahan Isola, mengatakan, banyak warga merasakan kebaikan Habibie. Dapur Jompo, kata Aan, tidak akan hidup tanpa kemurahannya. Ke depan, ia masih berharap kegiatan ini terus berlanjut dan bermanfaat bagi banyak orang di sekitarnya.
Tepat pukul 19.00, pertunjukan seni di GIM itu pun paripurna. Bau dupa tak tercium lagi, batangnya habis dimakan api. Langit siang yang terik pun sudah berganti malam yang mulai mengundang angin dingin pegunungan.
Akan tetapi, semuanya belum selesai. Masih ada doa bersama yang bakal ditemani penyalaan lilin untuk Habibie. Semua hening. Doa dirapalkan lewat hati. Mereka seperti yakin, kisah Habibie tak hanya habis dikenang lewat kisah romantisnya, monumen N250, atau kiprah filantropinya. Dari Bandung, semangatnya akan tetap abadi menyalakan api inspirasi bagi negeri ini.