Kecelakaan di jalan Tol Cipularang Kilometer 91 pada awal September mengundang keprihatinan, sedih, bahkan marah. Kecelakaan yang seharusnya bisa dicegah ternyata terus berulang.
Oleh
M CLARA WRESTI
·3 menit baca
Kecelakaan di jalan Tol Cipularang Kilometer 91 pada awal September mengundang keprihatinan, kesedihan, bahkan amarah. Kecelakaan yang seharusnya bisa dicegah ternyata terus berulang.
Wajah sebagian pengguna jalan ternyata tidak memikirkan kepentingan orang lain. Bahkan, mengabaikan nyawa dan keselataman orang lain.
Pada saat PT JasaMarga (Persero) Tbk Cabang Purbaleunyi menggelar operasi penertiban kendaraan yang kelebihan ukuran dan muatan di Jalan Tol Cipularang, pada Senin (9/9/2019) hingga Rabu (11/9), pelanggaran masih ditemukan.
Selama tiga hari, tercatat 130 kendaraan melanggar larangan kelebihan ukuran dan kelebihan muatan. Rinciannya, 36 kelebihan muatan, 39 kendaraan kelebihan ukuran, dan 6 kendaraan kelebihan ukuran dan muatan.
Ada juga kendaraan yang dokumennya melanggar aturan (31 kendaraan) dan 18 kendaraan melanggar aturan tata cara penarikan.
Selama operasi, ditemukan juga pengendara yang membahayakan dirinya sendiri dan pengguna jalan lainnya dengan mengemudikan kendaraan bermuatan berlebih, yakni hampir 300 persen. Batas maksimal muatan kendaraan itu 12 ton, tetapi saat itu kendaraan mengangkut muatan hingga 35 ton.
Ada pula kendaraan yang tingginya mencapai 1,6 meter, padahal batas maksimal yang diperbolehkan bagi kendaraan jenis itu 1 meter.
Kendaraan yang terlibat kecelakaan di Jalan Tol Cipularang pada awal September lalu ternyata kelebihan ukurannya hingga 70 sentimeter dan kelebihan bebannya hingga 300 persen. Selain kelebihan ukuran dan kelebihan muatan, dump truck yang terlibat kecelakaan itu juga tidak memiliki Sertifikasi Registrasi Uji Tipe (SRUT). Ditambah lagi, pengemudinya diduga memiliki surat izin mengemudi (SIM) yang tidak sesuai.
Syarat untuk memperoleh SRUT adalah membuat rancang bangun kendaraan ke Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan. Tanpa SRUT, pemilik kendaraan tidakbisa memiliki surat tanda nomor kendaraan, buku pemilik kendaraan bermotor, dan buku Kir. Keberadaan SRUT sangat strategis sehingga banyak pengemudi yang memalsukannya.
Sebenarnya, aturan mengenai larangan kelebihan ukuran dan kelebihan muatan ini sudah sejak tahun lalu digalakkan pemerintah. Kementerian Perhubungan bersama Korps Lalu Lintas Kepolisian Indonesia, operator jalan tol, dan dinas perhubungan setempat telah berulang kali menggelar operasi. Pelanggar yang ditemukan dalam operasi itu ditindak.
Bahkan, sudah ada pemilik truk yang disidang di pengadilan dan dijatuhi hukuman karena mengoperasikan truk yang kelebihan ukuran dan kelebihan muatan. Akan tetapi, kasus ini tak juga membuat pemilik truk, pengemudi truk, dan pemilik barang semakin tertib. Di jalanan, truk-truk yang kelebihan ukuran dan muatan masih juga beroperasi.
Aturan yang melarang truk kelebihan ukuran dan kelebihan muatan beroperasi di jalan raya sudah diberlakukan. Namun, penerapannya masih menghadapi sejumlah persoalan, misalnya petugas jaga yang tidak bisa mengawasi 24 jam di lapangan. Apalagi, tidak semua lokasi memiliki jembatan timbang.
Selain itu, hukuman yang dijatuhkan bagi pelanggar juga masih ringan. Dari sekian banyak truk yang ditilang, yang diproses hingga pengadilan hanya satu kasus. Selebihnya, pelanggar membayar tilang yang jumlahnya juga terhitung kecil, tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat pemilik barang dan truk dari pengangkutan barang berlebih.
Sudah waktunya keterbatasan ini dicarikan jalan keluar yang lebih efektif dan efisien. Bahkan, menimbulkan efek jera bagi pelanggar aturan. Dan, yang tidak kalah penting, terapkan aturan secara konsisten. Manfaatkan perkembangan industri digital untuk menggantikan peran petugas berjaga 24 jam dalam sehari.
Sudah waktunya kita mewujudkan keselamatan di jalan raya agar tidak ada lagi kerugian materi dan nonmateri. Jangan ditunda lagi! (M CLARA WRESTI)