JAKARTA, KOMPAS — Aktivitas mengonsumsi konten di lebih dari satu platform mendorong duplikasi media. Fenomena ini mengakibatkan perubahan strategi dan alokasi pemasaran.
Executive Director Media Nielsen Indonesia, Hellen Katherina, Senin (16/9/2019), di Jakarta, mengemukakan, berdasarkan hasil riset Nielsen Consumer and Media View (CMV) pada 2014-2019, kepemilikan ponsel pintar di Indonesia tumbuh 250 persen. Waktu yang digunakan untuk mengakses internet juga cenderung terus bertambah, sedangkan waktu konsumsi media massa cenderung tetap.
Pada triwulan I-2016, temuan riset CMV di 11 kota menunjukkan, rata-rata waktu menonton tayangan televisi free to air dalam sehari selama 4 jam 54 menit. Pada triwulan I-2019, rata-rata waktu menonton tayangan di platform yang sama adalah 4 jam 59 menit per hari.
Pada periode waktu pengukuran yang sama, hasil riset CMV menemukan, rata-rata waktu mengonsumsi konten di internet yaitu 2 jam 26 menit per hari pada triwulan I-2016. Adapun rata-rata waktu mengonsumsi konten internet naik menjadi 3 jam 20 menit pada triwulan I-2019.
"Seiring dengan meningkatnya waktu yang digunakan untuk mengonsumsi konten di internet, batas antara media dalam jaringan dan luar jaringan menjadi samar karena konsumen tidak lagi memisahkan kedua platform saat beraktivitas," ujar dia.
Hellen menambahkan, konsumen menikmati waktu mengonsumsi konten melalui beberapa jenis media sekaligus. Untuk konteks media massa, khususnya, fenomena ini menyebabkan persentase duplikasi antara konsumsi media konvensional dengan media massa digital semakin tinggi. Persentase duplikasi televisi dan media digital sekitar 50 persen, duplikasi radio dengan digital 62 persen, dan media cetak dengan digital 72 persen.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie, Bambang Sukma Wijaya, menggambarkan, duplikasi media seperti konten yang tayang ulang di media sosial, kemudian disebarluaskan oleh warganet. Gambaran lain adalah menonton siaran langsung di televisi dan platform pemutar konten beraliran langsung.
"Semakin tinggi persentase duplikasi, semakin tinggi copy konten dan penyebarannya," ujar dia.
Hal itu berimplikasi terhadap proses kreatif konten iklan. Pembuatannya menjadi tidak sederhana. Pengiklan harus berpikir multiplatform dan multimedia. Ditambah lagi, karakteristik platform pun divergen.
Tujuan berbeda
Praktisi pemasaran Yuswohady mengatakan, duplikasi media akhirnya mendorong pemilik merek memanfaatkan berbagai bentuk media dengan tujuan pemasaran barang atau jasa yang berbeda-beda. Ia menggambarkan, televisi dipakai pemilik merek untuk meningkatkan kesadaran calon konsumen terhadap barang. Sementara, untuk kepentingan viral, pemilik merek memanfaatkan media sosial.
Creative Director Havas, Wirastomo Hadi, menekankan, tidak semua konten pemasaran harus dikemas ke media digital. Realitas yang kerap dia temukan adalah ada pemilik merek hanya ikut-ikutan membuat kampanye digital, meskipun mereka sebenarnya tidak membutuhkannya.
"Kembali ke tujuan dasar pemasaran. Pemasaran menggunakan bentuk media apapun harus efektif dan efisien saat menjangkau konsumen," ujar dia.
Havas merupakan perusahaan periklanan dan komunikasi multinasional. Havas beroperasi di sekitar 100 negara.
Wirastomo membenarkan, alokasi anggaran ke media digital belum sebesar ke televisi, tetapi pertumbuhan nilainya tergolong tinggi. Hampir semua pemilik merek barang atau jasa merasa harus mempunyai aset dan kampanye digital," ujar dia.
Yuswohady menambahkan, duplikasi media semestinya menyebabkan televisi, radio, majalah, dan koran mengalami redefinisi, sehingga relevan dengan perubahan. Dia mencontohkan stasiun televisi yang menayangkan siaran beraliran langsung atau streaming di platform digital.
Sementara itu, Hellen menuturkan, dengan berkembangnya strategi pemasaran yang tidak memisahkan media massa konvensional dan digital, pengukuran kepemirsaan harus komprehensif dan menyeluruh. Dengan demikian, pengiklan bisa menghitung pengembalian investasi dengan mencocokkan data konsumen yang melihat konten iklan serta melakukan pembelian barang yang diiklankan.