Keinginan dan optimisme publik pada energi baru terbarukan diharapkan bisa ditangkap oleh pemerintah untuk lebih mendorong penggunaan energi tersebut dalam memenuhi kebutuhan energi ke depan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Masyarakat Indonesia ingin penggunaan energi baru terbarukan lebih masif. Mereka juga optimistis energi baru terbarukan bisa terus berkembang. Keinginan dan optimisme publik ini diharapkan bisa ditangkap oleh pemerintah untuk lebih mendorong penggunaan energi tersebut dalam memenuhi kebutuhan energi ke depan.
Keinginan publik itu ditangkap dari survei yang dilakukan Koaksi Indonesia dan Change.org. Survei dilakukan terhadap 96.651 responden melalui surat elektronik, media sosial, dan aplikasi percakapan, selama 40 hari, mulai 2 Mei hingga 10 Juni 2019. Responden mencakup pengguna internet dari 34 provinsi dengan beragam latar belakang. Hasil survei dipaparkan di Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Sebanyak 44 persen responden setuju bahwa sektor energi baru terbarukan (EBT) belum berkembang optimal di Indonesia. Hal ini antara lain karena rendahnya pemahaman publik tentang energi terbarukan (19,7 persen). Kemudian, sebanyak 13,9 persen responden menilai ketergantungan terhadap energi fosil masih tinggi. Adapun 13 persen lainnya menilai pemerintah belum memprioritaskan riset terkait EBT.
Namun, responden optimistis EBT akan terus berkembang mengingat kekayaan energi di Indonesia. Energi yang dimaksud responden antara lain ialah matahari (25,5 persen), air (20,6 persen), dan bioenergi (19,5 persen).
“EBT menjadi isu bersama yang rupanya diperhatikan publik. Saya harap hasil survei bisa dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan untuk memahami keinginan masyarakat. Ini juga bisa jadi landasan bagi publik untuk bergerak bersama,” kata Manajer Kampanye Koaksi Indonesia Jurius Bramantyo.
Optimisme publik didukung pula oleh keinginan untuk beralih ke energi bersih. Menurut survei, sebanyak 36,5 persen responden rela membayar tagihan listrik yang lebih mahal bila berasal dari energi bersih. Sementara itu, 41,4 persen siap mengubah gaya hidup melalui gerakan hemat energi.
Menurut data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 85 persen dari produksi energi listrik Indonesia masih bertumpu pada energi fosil. Angka ini setara dengan 43.200 GWh listrik.
Penerapan EBT bagi masyarakat luas selama ini terganjal oleh tarif yang mahal. Mengacu pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 dan Nomor 50 Tahun 2017, tarif EBT ialah 85 persen dari biaya pokok penyediaan.
Tingginya tarif EBT dapat menghambat Indonesia mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030. Hingga kini, penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia mencapai 11 persen.
Dari target tersebut, sektor energi diproyeksikan menyumbang kontribusi terbesar, yakni 11 persen. EBT diprediksi dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 54,3 persen dari sektor energi pada 2030.
“Tarif EBT bisa dibilang bersaing. Pemerintah tetap akan melakukan upaya untuk mengakomodasi agar harga (EBT) lebih rendah. Untuk listrik dari PLTS, kami mengarah ke tarif sebesar 1 sen (0,01 dollar AS) per kWh,” kata Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Harris.
Hal ini disampaikan dengan merujuk pada laporan International Renewable Energy Agency (IRENA) berjudul Renewable Power Generation Costs in 2017. Mengutip Forbes, dalam laporan itu, tarif listrik dari angin darat dan solar photovoltaic (PV) diprediksi menjadi 0,03 dollar AS per kWh pada 2020. Sementara itu, tarif listrik dari angin lepas pantai dan tenaga surya menjadi 0,06-0,1 dollar AS per kWh pada 2020-2022.
Di sisi lain, sesuai Kebijakan Energi Nasional (KEN), pemerintah harus memenuhi target bauran energi nasional sebesar 23 persen pada 2025. Bauran energi nasional Indonesia kini ada di angka 11,4 persen (Kompas, 24/6/2019).
Terkait optimisme masyarakat akan EBT, Jurius menilai, ini saat yang tepat untuk mengajak generasi muda peduli energi. Hal ini penting mengingat 67,6 responden merupakan masyarakat berusia 17-30 tahun.
“Kami akan sebarkan informasi dan ajakan terkait EBT melalui media sosial. Anak-anak muda juga bisa terlibat dalam isu energi dengan banyak cara, misalnya, masuk start-up yang bergerak di bidang energi. Mereka juga bisa melakukan konservasi dan efisiensi energi, seperti menggunakan panel surya. Peminat panel surya ini rupanya banyak,” kata Jurius.
Direktur Eksekutif Koaksi Indonesia Nuly Nazlia mengatakan, kontribusi masyarakat usia produktif dibutuhkan untuk menginisasi perubahan positif di sektor energi. “Melibatkan anak muda dalam hal ini adalah langkah strategis. Bukan hanya karena mereka berjumlah sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia, namun juga suara kelompok masyarakat produktif bisa mendorong perubahan,” kata Nuly.