Memajukan Kebudayaan di Era Industri 4.0 (2-habis)
Penyelenggaraan kongres Kebudayaan X pada Desember 2018 lalu yang bertepatan dengan 100 tahun penyelenggaraan Kongres Kebudayaan (1918) menyajikan tak kurang dari empat pidato kebudayaan, 10 debat publik, 13 kuliah umum, dan 37 pertunjukan seni. Digelar pula musik pop, jazz, ”heavy metal”, kasidah, 30 lokakarya, 15 stan bazar kuliner maritim, pemutaran film, pameran obyek kebudayaan, serta pawai budaya.
Selama kongres, animo masyarakat mengikuti kongres kebudayaan sangat tinggi. Peserta yang hadir sangat beragam. Mulai dari budayawan, musisi, penari, muralis, perupa, aktivis, akademisi, peneliti budaya, birokrat, ekonom, politisi, hingga mahasiswa dan para pelajar.
Rangkaian kongres telah dimulai beberapa bulan sebelumnya, yaitu melalui penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD). PPKD merupakan dokumen yang berisi kondisi dan persoalan faktual kebudayaan yang terjadi di daerah-daerah dalam upaya pemajuan kebudayaan, beserta usulan penyelesaiannya. Penyusunan PPKD merupakan amanat Pasal 8 UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Dalam laporan saat penutupan kongres, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid menuturkan bahwa sudah ada 306 daerah yang menyelesaikan PPKD tingkat kabupaten/kota, dan 31 provinsi. Proses penyusunan PPKD tersebut melalui ratusan pertemuan. Jika penyusunan satu PPKD membutuhkan 3-4 pertemuan, proses pembuatan PPKD seluruhnya tersebut telah melalui 900-1.200 rapat di tingkat daerah, yang dikoordinasi oleh Ditjen Kebudayaan.
Melalui PPKD tersebut, saat ini bisa diketahui jumlah berbagai obyek pemajuan kebudayaan lengkap dengan sarana dan prasarananya di seluruh Indonesia. Catatan di PPKD menyebutkan, saat ini di seluruh Indonesia terdapat 2.886 bahasa, 2.395 manuskrip, 4.407 adat istiadat, 3.886 ritus, 4.521 tradisi lisan, 7.444 pengetahuan tradisional, 4.652 teknologi tradisional, 3.800 permainan rakyat, dan 1.378 olahraga tradisional.
PPKD juga menghimpun data tentang sarana prasarana serta lembaga kebudayaan di Indonesia. Saat ini sudah ada 2.217 sarana dan prasarana kebudayaan milik pemerintah. Bahkan dari aspek lembaga pun, tak kurang banyak jumlah lembaga yang mengurusi kebudayaan, yaitu 4.469 lembaga. Melihat angka-angka tersebut, maka untuk memajukan kebudayaan, fokus bisa diarahkan pada penyediaan forum-forum interaksi antarbudaya.
Metode menyusun PPKD juga memperlihatkan sebuah perspektif baru mengelola kebudayaan, yakni masyarakat yang mengarahkan pemerintah tentang apa saja yang harus difasilitasi dan diregulasi. Arahan diberikan melalui rangkaian dokumen PPKD yang berisi berbagai persoalan kebudayaan yang dihadapi masyarakat dan strategi apa yang harus dibuat untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Strategi kebudayaan tersebut dihasilkan dalam Kongres Kebudayaan 2018 lalu.
Strategi kebudayaan
Kongres Kebudayaan X ditutup dengan penyerahan dokumen Strategi Kebudayaan Indonesia kepada Presiden Joko Widodo. Rumusan Strategi Kebudayaan disusun berdasarkan tujuh persoalan yang diidentifikasi selama proses penyusunan PPKD. Pengerasan identitas primordial dan sektarian adalah masalah pertama yang banyak ditemukan di daerah. Oleh karena itu, kongres merumuskan langkah strategis untuk mengatasinya, yaitu menyediakan ruang keberagaman ekspresi budaya serta mendorong interaksi antarbudaya untuk menciptakan budaya inklusif melalui Pekan Kebudayaan Nasional.
Persoalan penting kedua menyangkut isu modernitas dan tradisi yang sering dihadap-hadapkan pada modernitas, seolah-olah tradisi menghambat modernitas. Untuk itu, kongres merekomendasikan strategi melindungi dan mengembangkan nilai, ekspresi, dan praktik kebudayaan tradisional guna memperkaya kebudayaan nasional.
Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah melindungi dan mengembangkan praktik budaya bahari yang menjadi watak kebudayaan bangsa Indonesia. Selain itu, memperkuat kedudukan dan memberdayakan lembaga, komunitas, dan masyarakat tradisional, serta mempromosikan nilai, ekspresi, dan praktik kebudayaan tradisional yang berkontribusi bagi pengayaan kebudayaan nasional.
Ketimpangan relasi budaya dalam konteks globalisasi merupakan persoalan ketiga yang menjadi keprihatinan bersama. Selama ini, masyarakat Indonesia hampir dominan mengonsumsi budaya dari luar. McDonalisasi, penetrasi film-film Hollywood, serta gelombang K-Pop telah merasuk ke kesadaran masyarakat. Untuk itu, strategi yang ditempuh adalah pemerintah dan masyarakat perlu mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan budaya untuk memperkuat kedudukan Indonesia di dunia internasional. Di antaranya, dengan memfasilitasi pemanfaatan obyek pemajuan kebudayaan untuk memperkuat promosi RI di mancanegara.
Persoalan berikutnya adalah kecenderungan pembangunan yang mengorbankan ekosistem alam dan budaya. Laporan di dalam PPKD menunjukkan bagaimana kebijakan pembangunan di daerah menggeser pengaruh keutuhan dan ketahanan budaya.
Merespons masalah itu, kongres merumuskan strategi memajukan kebudayaan yang melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem. Hal ini bisa diwujudkan melalui pengembangan tata ruang yang mengindahkan ketersambungan antara agenda pelestarian alam, cagar budaya, kebencanaan, dan agenda pemajuan kebudayaan.
Persoalan kelembagaan dan desain kebijakan juga menjadi sorotan para pegiat budaya di daerah-daerah. Reformasi kelembagaan dinilai belum optimal dan desain kebijakan belum memudahkan pemajuan kebudayaan.
Kongres juga merekomendasikan percepatan reformasi kelembagaan di bidang kebudayaan, dan penyelarasan kebijakan pusat dan daerah untuk pemajuan kebudayaan. Optimalisasi anggaran kebudayaan juga mendesak. Untuk itu, dibentuklah Dana Perwalian Kebudayaan, semacam Trust Fund, yang disediakan khusus bagi agenda kebudayaan.
Tak lama setelah kongres berakhir, Presiden menyetujui Dana Perwalian Kebudayaan sebesar Rp 5 triliun per tahun. Inilah pertama kalinya para budayawan memiliki topangan dana kebudayaan. Dana ini juga bisa digunakan untuk pengembangan dan riset-riset kebudayaan.
Di sisi lain, kemajuan teknologi informasi telah membuka kemungkinan-kemungkinan baru pemajuan kebudayaan. Budiman Sudjatmiko dalam pidato kebudayaannya di kongres menyebutkan, wajah utama era digital saat ini adalah konektivitas atau jejaring. ”Jejaring menjadi wadah alami bagi kemunculan paradigma baru yang berlandaskan semangat kolaborasi dan partisipasi layaknya gotong royong rakyat desa,” ujar Budiman.
Kebudayaan berbasis pada masyarakat itu tersebar hingga ke desa-desa. Sudah banyak contoh kebudayaan gotong royong atau kolaborasi masyarakat desa yang menciptakan peluang-peluang maju di era industri 4.0. Kisah sukses Desa Ponggok di Klaten, Jawa Tengah, misalnya, memperlihatkan pemanfaatan teknologi informasi bisa mengubah desa yang semula berpendapatan hanya Rp 14 juta pada 2006 menjadi makmur dengan pemasukan Rp 15 miliar pada 2017.
Meski demikian, Budiman menyerukan agar jejaring antardesa, desa-kota, maupun jejaring kampung-kampus segera dibangun. ”Desa dengan segala modal ekonomi dan sosialnya harus segera dihubungkan dengan pelaku ekonomi, penggerak sosial, dan inovator teknologi di kota maupun dunia untuk bekerja sama mengeksplorasi peluang yang terbuka oleh perkembangan teknologi,” ujarnya. (Litbang Kompas)