Pembangunan Kawasan Otorita Diminta Mengakui Hak Ulayat Masyarakat
›
Pembangunan Kawasan Otorita...
Iklan
Pembangunan Kawasan Otorita Diminta Mengakui Hak Ulayat Masyarakat
Pembangunan Kawasan Otorita Danau Toba di Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, diminta mengakui hak ulayat masyarakat adat.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Pembangunan Kawasan Otorita Danau Toba di Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, diminta mengakui hak ulayat masyarakat adat. Badan Pelaksana Otorita Danau Toba telah memiliki sertifikat hak pengelolaan atas lahan yang telah dikeluarkan dari kawasan hutan itu. Sementara masyarakat sedang mengajukan tanah ulayat itu dikeluarkan dari kawasan hutan.
”Kami tidak menolak pembangunan. Namun, kami minta agar pemerintah mengakui tanah ulayat yang telah kami kelola secara turun-temurun,” kata Mangatas Togi Butar-Butar, warga Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Toba Samosir, Selasa (17/9/2019).
Kawasan Otorita Danau Toba seluas 386,72 hektar merupakan lahan yang disiapkan untuk pengembangan pariwisata di kawasan Danau Toba. Pemerintah akan membangun infrastruktur dasar dan mengundang investor untuk membangun hotel, restoran, pusat perbelanjaan, rumah sakit, dan sebagainya.
Mangatas mengatakan, Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) memulai pembukaan jalan di kawasan itu pada Kamis pekan lalu. Masyarakat pun melakukan unjuk rasa menolak pembukaan jalan karena pembicaraan dengan masyarakat belum tuntas. Puluhan ibu-ibu berunjuk rasa dengan menghadang alat berat ekskavator sambil membuka pakaiannya.
Kami tidak menolak pembangunan. Namun, kami minta agar pemerintah mengakui tanah ulayat yang telah kami kelola secara turun-temurun.
Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Delima Silalahi, yang mendampingi masyarakat adat, mengatakan, masyarakat adat Desa Sigapiton sudah turun-temurun mengelola tanah ulayatnya. Mereka saat ini mengajukan agar tanah ulayat mereka dikeluarkan dari kawasan hutan.
”Masyarakat adat telah mengajukan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan sudah beberapa kali berkomunikasi dengan Kantor Staf Kepresidenan,” kata Delima.
Masyarakat adat Desa Sigapiton, menurut Delima, mengelola tanah adat seluas 900 hektar. Namun, hanya 81 hektar di antaranya yang kini berstatus areal penggunaan lain (APL), yakni lembah di tepi Danau Toba yang mereka gunakan sebagai permukiman.
Lahan lainnya berstatus kawasan hutan dan dikelola lembaga adat untuk fungsi konservasi. Masyarakat menetapkan hutan larangan karena merupakan sumber air dan pengairan sawah. Kawasan itu pun dimanfaatkan untuk makam, beternak lebah hutan, dan menanam kopi di bawah kanopi hutan. ”Kawasan itu yang akan dibabat untuk membangun kawasan otorita,” kata Delima.
Menyesalkan
Delima pun menyesalkan tindakan pemerintah dan BPODT yang hanya mengedepankan aspek legal formal tanpa mempertimbangkan hak ulayat masyarakat adat. ”Mereka malah mengajak masyarakat untuk beperkara karena BPODT sudah punya sertifikat atas lahan itu,” kata Delima.
Secara terpisah, Direktur Utama BPODT Arie Prasetyo, di Medan, mengatakan, mereka sudah mempunyai sertifikat hak pengelolaan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) atas lahan 279 hektar dari total 386,72 hektar lahan yang disiapkan untuk Kawasan Otorita Danau Toba.
”Faktanya di lapangan BPODT sudah memegang sertifikat hak pengelolaan dan sudah sah secara aturan untuk melakukan pembangunan. Jika ada keberatan-keberatan yang timbul, ada koridor hukum,” kata Arie.
Arie mengatakan, mereka mendapat sertifikat hak pengelolaan dari BPN pada Desember 2018. Sertifikat itu dibuat berdasarkan penetapan kawasan otorita melalui Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba.
Selanjutnya, kata Arie, KLHK menindaklanjuti Perpres No 49/2016 dengan melepaskan 386,72 hektar kawasan hutan di Toba Samosir untuk kawasan otorita.
Faktanya, di lapangan BPODT sudah memegang sertifikat hak pengelolaan dan sudah sah secara aturan untuk melakukan pembangunan. Jika ada keberatan-keberatan yang timbul, ada koridor hukum.
Arie menjelaskan, pada tahap awal mereka akan melakukan pembersihan lahan untuk pembangunan jalan utama sepanjang 1,9 kilometer dengan lebar 18 meter. ”Pekerjaan ini akan terus kami lanjutkan dan kami targetkan selesai akhir September,” katanya.
Arie mengatakan, sudah ada tujuh investor yang berkomitmen membangun hotel di kawasan otorita dengan total nilai investasi Rp 6,1 triliun. Seluruh kawasan itu pun ditargetkan bisa mendatangkan investasi lebih dari Rp 10 triliun.
Pada Oktober ini, kata Arie, akan ada acara pencanangan pembangunan hotel berbintang lima di kawasan tersebut. Arie mengatakan, mereka akan melibatkan masyarakat dalam pembangunan pariwisata sesuai dengan kompetensinya.