Peserta Aksi Tidak Mengerti dengan Tingkah Anggota Dewan
›
Peserta Aksi Tidak Mengerti...
Iklan
Peserta Aksi Tidak Mengerti dengan Tingkah Anggota Dewan
Gemas RUU PKS meminta DPR segera membahas RUU PKS dengan tetap mempertahan enam elemen kunci dalam RUU itu.
Oleh
Insan Alfajri
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peserta aksi unjuk rasa yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil atau Gemas untuk Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tidak mengerti dengan tingkah anggota dewan. RUU PKS yang masuk RUU prioritas pada tiga tahun lalu tak kunjung disahkan DPR. Akan tetapi, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru dibahas beberapa hari terakhir langsung disahkan DPR.
”Saya tidak tahu lagi. Apa lagi yang mesti saya ajarkan sama mahasiswa saya terkait tingkah laku DPR,” kata pengajar Sekolah Tinggi Jentera, Bivitri Susanti, dalam orasinya di depan gerbang Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Susanti bergabung bersama sedikitnya 100 peserta aksi Gemas RUU PKS. Ia menyatakan, RUU PKS sudah masuk Proglam Legislasi Nasional Prioritas tahun 2016. Hingga kini, RUU tersebut tidak kunjung disahkan. Di sisi lain, DPR malah mengesahkan revisi UU KPK yang kontroversial dan ditolak masyarakat.
DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi undang-undang dalam rapat paripurna, Selasa (17/09/2019). Meski banyak penolakan dari sejumlah elemen masyaralat, RUU ini tetap disahkan dengan sejumlah catatan dari berbagai fraksi (Kompas, 17/9/2019).
”KPK dilemahkan, tetapi korban kekerasan seksual justru tidak dilihat,” katanya.
Peserta Gemas RUU PKS sudah berunjuk rasa sejak pukul 11.00 WIB. Mereka mengenakan baju putih dan berpayung hitam. Poster mereka, antara lain, berpesan, RUU yang melindungi korban kekerasan seksual dihambat, RUU yang melemahkan KPK dipercepat. DPR untuk siapa?
Pertahankan enam elemen
Dalam tuntutannya, Gemas RUU PKS meminta DPR segera membahas RUU PKS dengan tetap mempertahan enam elemen kunci dalam RUU itu. Enam elemen kunci itu antara lain mempertahankan sembilan tindak pidana kekerasan seksual, pencegahan, pemulihan, hukum acara, ketentuan pidana, dan pemantauan.
Gemas RUU PKS juga meminta DPR membentuk tim perumus RUU PKS. Dalam pembahasan RUU PKS, ruang pelibatan masyarakat juga diminta seluas-luasnya.
Pasa pukul 14.00, datang kumpulan massa yang menyuarakan penolakan terhadap RUU PKS. mereka juga berkumpul di gerbang DPR. Dua kelompok aksi itu dibatasi oleh personel Polri.
Dihubungi terpisah, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Penghapusan Kekerasan Seksual DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Marwan Dasopang menyatakan, pembahasan RUU PKS tingkat panja sangat alot. Sebagian anggota panja menyuarakan penolakan terhadap RUU PKS.
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak dengan alasan ada potensi pertentangan antara materi RUU dan nilai-nilai Pancasila dan agama, yang dinilainya akan memunculkan polemik di masyarakat. Definisi kekerasan seksual hingga cakupan jenis kekerasan seksual di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berperspektif liberal. Tidak hanya dari Fraksi PKS yang sudah menyatakan tidak setuju secara terbuka, beberapa elemen masyarakat juga ikut menolak pengesahan RUU tersebut (Kompas, 31/8/2019).
Selain pembahasan yang alot di Panja, lanjut Marwan, RUU PKS juga mengandung pasal pidana dan pemidanaan. Oleh sebab itu, panja harus berkoordinasi dengan Komisi III yang sedang membahas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Dia menyatakan, RKUHP sebagai induk harus disahkan terlebih dahulu. ”Tidak mungkin cabangnya (RUU PKS) disahkan, sementara induknya sendiri belum disahkan,” katanya. Hingga kini, lanjutnya, kebuntuan ini belum menemukan titik temu.
Komisioner Komisi Nasional Perempuan Mariana Amiruddin, yang juga ikut aksi menyatakan, RUU PKS harus segera disahkan. Korban kekerasan seksual tidak bisa menunggu RKUHP yang entah kapan masanya akan disahkan DPR.