Kendati Cukai Rokok Naik Tahun Depan, Petani Sudah Mulai Dirugikan
›
Kendati Cukai Rokok Naik Tahun...
Iklan
Kendati Cukai Rokok Naik Tahun Depan, Petani Sudah Mulai Dirugikan
Petani tembakau mulai merasakan dampak dari keputusan pemerintah menaikkan cukai rokok tahun depan. Petani dirugikan karena banyak hasil panen tidak terserap oleh pedagang.
Oleh
Erika kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Petani tembakau mulai merasakan dampak dari keputusan pemerintah menaikkan cukai rokok tahun depan. Petani dirugikan karena banyak hasil panen tidak terserap oleh pedagang.
Akhir pekan lalu, pemerintah mengumumkan rencana kenaikan cukai rokok 23 persen dan harga jual eceran dengan rata-rata sekitar 35 persen. Kebijakan yang masing-masing akan dikenakan pada industri dan konsumen itu berlaku mulai 1 Januari 2020 dan akan dituangkan dalam regulasi peraturan menteri keuangan (PMK).
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno mengatakan, rencana itu membuat tembakau yang sedang masuk musim panen, pada September sampai Oktober, tidak terserap maksimal.
”Kalau di Madura, pembelian melambat. Di Jember, pembelian dihentikan sementara. Melambat artinya kalau biasanya panen tembakau bisa dibeli 2 ton sehari, beberapa hari lalu pembelian hanya 500 kilogram (kg),” tuturnya saat dihubungi Kompas, Selasa (17/9/2019).
Kondisi itu juga diikuti ketidakpastian harga dari pedagang. Saat ini, tembakau di tingkat petani seharga Rp 30.000 per kg. Namun, pedagang yang diduga spekulan kini mulai menawar tembakau dengan harga Rp 20.000 per kg atau lebih murah.
”Isu kenaikan cukai ini mulai dimanfaatkan para pedagang untuk menekan harga di tingkat petani. Alasannya beragam, ada yang bilang pabrik akan mengurangi pembelianlah, pabrik hanya akan membeli kualitas tertentulah, dan banyak spekulasi lain,” tuturnya.
Untuk itu, ia berharap pemerintah memperhatikan dampak kebijakan cukai bagi petani. Berdasarkan pengalaman empat tahun terakhir, rata-rata kenaikan cukai 10 persen lebih per tahun telah menurunkan penyerapan tembakau 3,5 persen dari produksi nasional.
Dalam lima tahun terakhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, telah disetujui empat kali kenaikan tarif cukai rokok. Pada 2015, cukai rokok naik 8,72 persen, pada 2016 naik 11,19 persen, pada 2017 naik 10,54 persen, dan pada 2018 naik 10,04 persen.
Meski pada tahun ini tidak ada kenaikan, pada 2020 kenaikan cukai akan menjadi kenaikan terbesar dalam 10 tahun terakhir. Sebab, pemerintah mengumumkan rencana kenaikan cukai rokok 23 persen dan harga jual eceran dengan rata-rata sekitar 35 persen.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, dengan kenaikan cukai yang cukup signifikan, 23 persen, tantangan petani tembakau akan semakin besar. Peningkatan cukai rokok juga akan berpengaruh terhadap penurunan daya beli petani tembakau di perdesaan.
”Berdasarkan nilai tukar petani (NTP) di sektor tanaman perkebunan rakyat, yang juga menghitung komoditas tembakau, NTP pada Agustus hanya 94. Nilai itu lebih rendah dibandingkan dengan September 2014 yang mencapai 101,” ujarnya.
Kemiskinan
Menurut Yusuf, kenaikan cukai yang diikuti harga eceran rokok yang tinggi memang tidak serta-merta akan memengaruhi daya beli konsumen. Namun, kebijakan itu akan terlebih dulu membebani perekonomian masyarakat.
”Selama ini, rokok dikenal sebagai kontributor terbesar terhadap garis kemiskinan kedua setelah beras,” katanya.
Selama ini, rokok dikenal sebagai kontributor terbesar terhadap garis kemiskinan kedua setelah beras.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2019 mencatat, rokok menyumbang 12,22 persen garis kemiskinan di perkotaan dan 11,36 persen di perdesaan.
Menurut Yusuf, rokok berkontribusi pada kemiskinan karena bersifat inelastic. Artinya, permintaan rokok cenderung akan tetap meski harganya naik.
Mengutip hasil penelitian berjudul ”Elastisitas Permintaan Produk Tembakau di Indonesia: Studi Konsumsi Rokok Lintas Rumah Tangga” karya Mochtar Rasyid, untuk kelompok rokok tertentu, khususnya rokok filter, kenaikan harga rokok 1 persen akan meningkatkan permintaan rokok mulai dari 0,11 hingga 0,13 persen.
”Dengan asumsi ini, ketika rokok naik 35 persen, permintaan relatif masih akan meningkat hingga 3,85 persen hingga 4,55 persen,” katanya.
Konsumsi rokok dari tahun ke tahun tercatat terus meningkat. Menurut data Kementerian Keuangan, konsumsi rokok pada 2016 sebanyak 320,4 miliar batang. Kemudian, pada 2018 jumlahnya meningkat menjadi 334 miliar batang. Sebagian rokok dikonsumsi anak usia 10-18 tahun, yang menurut Riset Kesehatan Dasar, naik 9,1 persen pada 2018.
Kepala Bidang Kebijakan Kepabeanan dan Cukai Kementerian Keuangan Nasruddin Djoko mengatakan, pemerintah telah menimbang tiga hal untuk menentukan kebijakan tersebut. Selain untuk mengendalikan konsumsi, kebijakan itu juga telah memperhitungkan perkembangan industri rokok dan penerimaan negara.
”Kami tidak bisa menurunkan cukai serendah-rendahnya agar bisa mengendalikan konsumsi, khususnya bagi anak-anak dan remaja. Tidak bisa juga dinaikkan secara spektakuler karena akan menekan ke pekerja, pedagang, dan lainnya, di samping potensi munculnya rokok ilegal,” ujarnya.
Bagaimanapun, kenaikan cukai rokok diharapkan meningkatkan penerimaan sampai Rp 179,2 triliun untuk pendapatan negara yang ditargetkan mencapai Rp 2.333 triliun pada 2020. Sebelumnya, penerimaan dari cukai rokok hanya Rp 154 triliun.