Pemicunya adalah adanya syarat anggota DPD yang pernah dijatuhi sanksi oleh Badan Kehormatan DPD tak boleh mengajukan diri menjadi pimpinan.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG dan Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Daerah kembali ribut saat membahas persoalan pimpinan DPD. Kali ini mereka ribut ketika hendak mengesahkan tata tertib pemilihan pimpinan DPD untuk periode selanjutnya, 2019-2024. Pemicunya adalah adanya syarat anggota DPD yang pernah dijatuhi sanksi oleh Badan Kehormatan DPD tak boleh mengajukan diri menjadi pimpinan.
Kericuhan terjadi tak lama setelah pimpinan Sidang Paripurna Luar Biasa DPD, Wakil Ketua DPD Akhmad Muqowam, membuka agenda pengesahan tata tertib (tatib) pemilihan pimpinan DPD, dalam sidang yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Sejumlah anggota DPD langsung mengajukan interupsi. Mereka berebut menyampaikan pendapat. ”Interupsi pimpinan, pengesahan tatib ini tidak sesuai dengan prosedur,” ucap anggota DPD dari Provinsi Riau, Intsiawati Ayus, salah seorang yang mengajukan interupsi.
Tak hanya itu, sejumlah anggota DPD tampak emosi. Mereka berdiri dari tempat duduknya kemudian bersitegang satu sama lain. Salah satu yang terlihat antara anggota DPD dari Sulawesi Utara, Benny Ramdhani, dengan anggota DPD dari Nusa Tenggara Timur, Syafrudin Atasoge. Mereka bahkan hampir beradu fisik sebelum dipisahkan anggota DPD lainnya.
Sebagian anggota DPD menilai, pembahasan tatib tidak sesuai prosedur karena pembahasan digelar tertutup dan tidak melibatkan seluruh anggota DPD. Selain itu, karena syarat untuk menjadi pimpinan DPD adalah anggota DPD belum pernah dijatuhi sanksi oleh Badan Kehormatan (BK) DPD. Sanksi dari BK DPD dijatuhkan karena anggota DPD melanggar kode etik DPD.
”Seperti ketentuan pelanggaran kode etik sehingga beberapa orang tidak bisa mencalonkan diri sebagai ketua,” kata anggota DPD dari Sulawesi Barat, Asri Anas.
Ketentuan itu disebutnya akan menyulitkan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas untuk bisa menjadi pimpinan DPD, bahkan ketua DPD.
GKR Hemas pernah dijatuhi sanksi oleh BK DPD. Dia dijatuhi sanksi pemberhentian sebagai anggota DPD karena dinilai tak pernah hadir dalam rapat-rapat di DPD. Hemas membantah tudingan tersebut. Selain itu, tak sedikit yang menilai sanksi kepada Hemas sebagai bagian dari konflik antara Hemas dan pimpinan DPD saat ini di bawah kepemimpinan Ketua DPD Oesman Sapta Odang.
Asri juga menuding lahirnya aturan itu sengaja didorong kubu Oesman untuk melapangkan jalan Nono Sampono menjadi ketua DPD periode 2019-2024.
Ketua BK DPD Mervin Sadipun Komber membantah hal itu. Tidak ada sangkut paut antara konflik kubu Oesman dan Hemas dalam penetapan tatib ini. Ia pun menegaskan, semua anggota DPD sudah diundang untuk membahas tatib tersebut.
”Semua yang kami masukkan dalam tatib sudah kami bicarakan dengan anggota lain, baik yang kembali terpilih maupun yang tidak kembali terpilih di periode berikutnya,” ucapnya.
Sementara terkait syarat kode etik, Mervin mengatakan hanya memindahkan aturan yang sudah ada di kode etik ke dalam tatib. ”Intinya, kami pindahkan saja, apa yang ada dari kode etik menjadi tatib. Salah satu syarat menjadi ketua, yaitu tidak boleh menjadi tersangka atau mendapat sanksi dari BK karena melanggar kode etik,” ucapnya.
Dalam tatib pemilihan pimpinan DPD itu, pemilihan ketua dan wakil ketua akan dilakukan dengan cara musyawarah. Jika gagal, akan ditempuh mekanisme pemungutan suara terbanyak. Sebelum itu, anggota DPD dari empat kewilayahan akan memilih satu pimpinan DPD dari setiap wilayah. Empat kewilayahan tersebut adalah subwilayah timur I, subwilayah timur II, subwilayah barat 1, dan subwilayah barat II.
Sekalipun sidang diwarnai penolakan dari sebagian anggota DPD, Muqowam tetap mengesahkan tatib pemilihan pimpinan DPD tersebut.
Dihubungi secara terpisah, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus, menyayangkan DPD yang terus-menerus ribut urusan pimpinan DPD. Sebelumnya, keributan terjadi antara Oesman dan Hemas pasca-penahanan bekas Ketua DPD Irman Gusman oleh KPK karena tersangkut kasus korupsi. Sebelum Irman tersangkut kasus korupsi, posisi Irman Gusman sebagai Ketua DPD juga pernah diributkan. Menurut dia, hal tersebut semakin mencoreng citra DPD.
Lucius melihat, saat ini DPD telah terbagi menjadi sejumlah faksi yang hanya mementingkan kepentingan kelompoknya. Dalam kaitan pemilihan pimpinan DPD, kepentingan mereka hanya agar jagoannya bisa terpilih masuk dalam jajaran pimpinan DPD 2019-2024.