Dua Pihak Saling Tuding, Meskipun Semangatnya Ada yang Sama
›
Dua Pihak Saling Tuding,...
Iklan
Dua Pihak Saling Tuding, Meskipun Semangatnya Ada yang Sama
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kontroversial Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual terus berlanjut. Namun, di tengah suara yang mendukung maupun menolak pengesahan rancangan undang-undang tersebut, sebenarnya kedua pihak memiliki semangat yang sama yakni melindungi masyarakat Indonesia dari berbagai kekerasan seksual.
Hanya saja, sikap dan suara yang disampaikan atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual berbeda. Kelompok yang satu menyuarakan dukungan agar Dewan Perwakilan Rakyat segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual, demi kepentingan korban kekerasan seksual dan mencegah praktik kekerasan seksual. Sedangkan kelompok yang lain menyatakan menolak RUU tersebut karena dikhawatirkan akan mengubah paradigma masyarakat terkait dengan pandangan seksualitas.
Hal itu terlihat dari aksi yang berlangsung di depan gerbang Kompleks Parlemen Senayan, di Jalan Gatot Soebroto, Selasa (17/09/2019). Dua kelompok yang berbeda menggelar aksi menyikapi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual.
Kelompok pertama dari jaringan berbagai organisasi perlindungan perempuan, anak, disabilitas, hak asasi manusia yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil (Gemas) untuk RUU Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual yang mendukung pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kelompok kedua dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Aliansi Cerahkan Negeri, dan sejumlah organisasi yang menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Aksi pertama dilakukan Germas untuk RUU Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual sejak pukul 11.00. Mereka hadir dengan menggenakan topi dan payung yang bertulikan Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual serta membawa sejumlah poster yang berisi tuntutan pada DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Selain menyampaikan orasi, mereka menempelkan jari di kain putih dan meniupkan peluit sebagai tanda stop kekerasan seksual.
Germas mendesak Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Komisi VIII DPR untuk segera membahas RUU tersebut dengan menyepakati judul dan sistematika, mempertahankan 6 elemen kunci RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yaitu 9 tindak pidana kekerasan seksual, pencegahan, pemulihan, hukum acara, ketentuan pidana, dan pemantauan. Selain itu segera membentuk Tim Perumus, dan membuka ruang dan pelibatan masyarakat selama proses pembahasan RUU tersebut.
Tiga jam kemudian, sekitar pukul 14.00 kelompok yang menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual datang ke tempat yang sama, bahkan mereka berdiri berdampingan dengan peserta aksi kelompok pro RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Seperti kelompok pertama, kelompok kedua juga membawa mobil dengan pengeras suara yang dibungkus dengan spanduk berisi tuntutan mereka kepada DPR.
Di pagar yang menjadi gerbang pintu masuk ke kompleks Parleman, kedua kelompok memasang spanduk besar. Spanduk pro tulisannya "DPR Dimana Hatimu untuk Korban:Sahkan RUU PKS", sedangkan spanduk kontra tulisannya"Tolak RUU P-KS dan Waspadai RKUHP: Jangan Lecehkan Pancasila".
Meskipun pro dan kontra, ada beberapa poster yang dibawa peserta pro dan kontra yang menyuarakan hal yang sama yakni. Pihak pro misalnya membawa poster “Jutaan Korban Kekerasan Seksual Membutuhkan Perlindungan” sedangkan pihak kontra membawa poster dengan tulisan “Lawan Kejahatan Seksual” atau “Kami Juga Perempuan”.
Duduk bersama berdialog dengan DPR
Saat aksi berlangsung, sejumlah perwakilan kelompok aksi baik yang pro maupun kontra diundang beberapa anggota Komisi VIII DPR yakni Sara Rahayu Saraswati Dhirakanya Djojohadikusumo (Fraksi Partai Gerindra), Diah Pitaloka dan Itet Tridjajati Sumarijanto (FPDI-P) dan Endang Maria Astuti (Fraksi Partai Golkar).
Pertemuan kedua kelompok tersebut baru pertama kali terjadi. Keduanya berhadapan di dalam satu ruangan memberikan pendapat tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Pada pertemuan tersebut, Veni Siregar dan beberapa perwakilan kelompok yang mendukung pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan menagih janji DPR untuk mengesahkan RUU tersebut, dengan menyampaikan berbagai kondisi kekerasan seksual yang terjadi selama ini.
Adapun dari pihak yang menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual antara lain dari Aliansi Cerah Negeri, menyatakan alasan menolak RUU tersebut. “Persoalan terbesar kenapa kami menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berangkat dari filosofis dan ideologis yang kami nilai terancam.Apa ancaman terbesar dari disahkan RUU tersebut adalah berubahnya paradigma masyarakat terkait dengan seksualitas,” ujar salah satu juru bicara dari kelompok yang menolak RUU itu.
Kendati menolak RUU Penghapusan Kekerasan, mereka menyatakan bahwa tujuan mereka menolak RUU tersebut adalah ingin melindungi masyarakat Indonesia, yang jadi korban baik itu perempuan atau laki-laki. Namun, mereka juga menuding RUU tersebut karena tidak memasukkan Pancasila dalam asas-asas RUU itu.
Pendapat tersebut langsung dibantah Veni Siregar, yang menegaskan tidak benar jika pendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melakukan pelecehan terhadap Pancasila seperti yang dituduhkan pihak kontra. Veni sebaliknya menyatakan jika RUU tersebut dinilai seperti itu harus dipertanyakan kepada DPR selaku pengusung RUU tersebut.
Baik Sara maupun Diah Pitolaka melihat ada semangat yang sama dari kedua pihak dalam memandang RUU tersebut. "Semangatnya sama untuk masa depan Indonesia. Tapi bagaimana cara melakukannya beda," ujar Sara.
Diah mengakui masih banyak pasal-pasal kontroversi dalam RUU, tetapi sayangnya sampai saat ini pembahasan pasal-pasal itu belum dibuka oleh DPR, karena rapat pembahasan RUU tersebut belum berlanjut. “Sayangnya belum dibuka, kalau dibuka sebetulnya menarik sekali sebetulnya tentang peran keluarga dan bagaimana melindungi korban,” ujar Diah.
Sara menyatakan semangat yang sama bisa disatukan asal pembahasan RUU tersebut dilakukan. "Kuncinya kan itu. Kalau pembahasannya tidak dilakukan bagaimana kita menyisir pasal per pasal yang dikatakan multi tafsir dan lain-lain," ujar Sara.
Namun sampai saat ini pimpinan Panja Komisi VIII DPR belum menjadwalkan pembahasan lanjut dari RUU tersebut. "Kalau kami sebagai anggota hanya menurut. Tapi kapan (pimpinan) menjadwalkannya," kata Sara.