Hilirisasi Kakao Terkendala Pasokan Biji Kakao dan Bea Masuk
›
Hilirisasi Kakao Terkendala...
Iklan
Hilirisasi Kakao Terkendala Pasokan Biji Kakao dan Bea Masuk
Pengembangan industri pengolahan kakao di Indonesia menghadapi masalah terbatasnya pasokan biji kakao dari dalam negeri. Selain itu, pelaku industri menghadapi tingginya tarif bea masuk dan pajak atas biji kakao impor.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan industri pengolahan kakao di Indonesia menghadapi masalah terbatasnya pasokan biji kakao dari dalam negeri. Selain itu, pelaku industri menghadapi tingginya tarif bea masuk dan pajak atas biji kakao impor.
Data Kementerian Perindustrian, selain bea masuk 5 persen, biji kakao impor dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen dan Pajak Penghasilan 2,5 persen. Artinya, pelaku industri menanggung beban pajak 17,5 persen. Di sisi lain, produk kakao olahan asal negara ASEAN tidak dikenai bea masuk alias nol persen.
”Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan sedang membahas rencana merevisi PPN kakao, kayu log, dan kapas jadi nol persen,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto saat memberi sambutan pada peringatan Hari Kakao Indonesia tahun 2019, di Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Menurut Airlangga, hal lain yang dapat dilakukan adalah menjalin perjanjian perdagangan bebas dengan Ghana. Merujuk data International Cocoa Organization, Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar ke-6 di dunia pada 2018, setelah Pantai Gading, Ghana, Ekuador, Nigeria, dan Kamerun, dengan volume produksi 220.000 ton. Sebelumnya, pada 2017, Indonesia ada di posisi ke-3 dengan volume produksi 260.000 ton.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Arie Nauvel Iskandar, pihaknya sudah beberapa kali usul agar PPN biji kakao impor nol persen. ”PPN (kakao) 10 persen perlu dihilangkan untuk mendorong perkembangan lebih baik. Hal ini karena utilisasi pabrik baru 56 persen dari kapasitas terpasang,” ujarnya.
Saat ini, Indonesia merupakan negara pengolah kakao terbesar ketiga di dunia setelah Belanda dan Pantai Gading. Sebanyak 85 persen atau 328.359 ton produk olahan diekspor dan menyumbang devisa 1,13 miliar dollar AS pada 2018. Adapun 15 persen sisanya, yakni 58.341 ton, dipasarkan di dalam negeri.
”Oleh karena itu, menurut saya, penghilangan PPN (kakao) 10 persen akan membantu banyak industri. Hal ini tentu akan berdampak pada peningkatan utilisasi pabrik,” kata Arie.
Menurut Arie, biji kakao produksi dalam negeri yang diserap industri masih terbatas jumlahnya. Tantangannya antara lain karena petani kekurangan modal, pohon berusia tua, harga pupuk yang mahal, hingga degradasi tanah. Kondisi itu berdampak pada produktivitas tanaman dan kualitas biji kakao.
Kementerian Perindustrian mencatat, impor biji kakao Indonesia mencapai 239.000 ton atau senilai 528,9 juta dollar AS pada 2018. Volume impor itu terbesar selama industri kakao berdiri.
Konsumsi kakao masyarakat Indonesia saat ini, menurut Kementerian Perindustrian, rata-rata 0,5 kilogram (kg) per kapita per tahun. Sementara Singapura dan Malaysia sudah mencapai 1 kg per kapita per tahun, sementara negara-negara Eropa 8 kg per kapita per tahun. (CAS)