Kebebasan Sipil Dipertaruhkan
JAKARTA, KOMPAS – Pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dijadwalkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada rapat paripurna, 24 September ini, berpotensi mengancam kebebasan sipil. Berbagai pasal bermasalah yang tercantum dalam RKUHP dapat berimplikasi buruk bagi kehidupan sosial masyarakat.
Sejumlah delik yang dinilai memuat pasal karet, di antaranya, hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law); penghinaan terhadap presiden/wakil residen, pemerintah, dan lembaga negara; penghinaan terhadap lembaga peradilan (contempt of court); dan kesusilaan.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Yati Andriyani menilai, RKUHP dapat merusak komitmen negara untuk membangun perlindungan hak sipil politik warga negara yang telah berjalan sejak demokrasi 20 tahun lalu. Ini diduga karena DPR yang tidak memedulikan aspirasi publik terhadap sejumlah catatan yang perlu dibenahi sebelum menetapkan rumusan akhir RKUHP.
Pada Minggu (15/9/2019), pemerintah dan DPR menyepakati rumusan akhir RKUHP. Panja DPR akan membawa hasil pembahasan RKUHP ke Komisi III DPR untuk mendapat pandangan mini fraksi. Agenda itu akan dilaksanakan pada pekan ini. Selanjutnya, RKUHP diagendakan akan disahkan pada Rapat Paripurna DPR, Selasa (24/9/2019) mendatang.
Menurut dia, langkah Panja RKUHP DPR yang melakukan rapat tertutup selama pembahasan RKUHP menunjukkan adanya pengabaian terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal itu juga menunjukkan kegagalan para anggota DPR menjalankan mandat sebagai wakil rakyat.
“Kehadiran RKUHP itu berpotensi menjadikan negara sebagai pelaku pelanggar hak asasi manusia dan dapat berdampak pula pada pengekangan kebebasan sipil,” ujar Yati, Selasa (17/9/2019), di Jakarta.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, menambahkan, RKUHP justru menghadirkan pasal-pasal yang tidak relevan untuk kehidupan demokrasi, seperti delik penghinaan Presiden/Wakil Presiden yang termuat dalam Pasal 218-220 RKUHP, lalu delik penghinaan lembaga negara yang tertuang dalam Pasal 353-354 RKUHP, serta delik penghinaan pemerintah yang sah yang tercantum dalam Pasal 240-241 RKUHP,
Atur ruang privat
Selain itu, lanjutnya, sejumlah pasal di delik kesusilaan menunjukkan negara terlalu jauh menggunakan hukum pidana untuk mengatur hak konsitusional warga negara yang bersifat privat. “DPR dan pemerintah tidak pernah membuka pembahasan dengan publik tentang implikasi dari delik itu, padahal dampak delik itu dapat berimplikasi buruk bagi kehidupan sosial,” kata Maidina.
Sementara itu, menurut pengajar hukum pidana Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, kesepakatan DPR dan pemerintah untuk memasukkan delik di ranah privat terkesan emosional. “Mereka memasukkan delik itu karena alasan asas keagamaan tanpa mempertimbangkan secara baik dari segi kemanfaatan apabila delik itu telah berlaku,” ucap Agustinus.
Kemudian, terkait living law, Agustinus menilai, aturan itu berpotensi tidak memenuhi semangat awal kehadiran ketentuan itu, yakni penghormatan terhadap hukum adat. Ia menekankan, pengakuan norma adat tidak seharusnya dimasukkan ke dalam kerangka hukum pidana, sebab dari segi legalitas, hukum adat tidak bisa masuk ranah pidana karena tidak tertulis.
“Andai ketentuan living law ini dibuat secara tertulis melalui peraturan daerah (perda), maka ketentuan itu tentu bukan hukum adat lagi. Perda itu merupakan produk politik yang dibuat oleh kepala daerah dan DPRD,” kata Agustinus.
Anggota Panitia Kerja RKUHP dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, mengatakan, untuk menjamin perda itu sesuai dengan budaya adat setiap daerah, maka pemerintah harus meneliti budaya adat yang masih berlaku serta memberikan pendampingan dan pembinaan kepada pemerintah daerah.
“Pendampingan dari pemerintah pusat bertujuan agar perda yang dihasilkan itu sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah itu, sekaligus menjaga kepentingan nasional,” ujar Nasir.
Gugat
Anggota Panja RKUHP dari Partai Nasdem, Taufiqulhadi, menegaskan, RKUHP perlu segera disahkan. Kehadiran RKUHP merupakan kodifikasi mendasar dari hukum pidana di Indonesia. Meski begitu, kata dia, RKUHP ke depannya akan selalu terbuka dengan perubahan seiring perkembangan yang terjadi di Indonesia.
“Paling penting kita sahkan dulu RKUHP ini. Kalau ada pihak-pihak yang merasa terdapat poin-poin bermasalah, silakan diajukan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi. Mau berapa pun pasal diajukan judicial review, bahkan sampai 100 pasal, silakan. Dengan demikian KUHP ini akan menjadi lebih baik,” tutur Taufiqulhadi.
Apabila RKUHP sekedar dipaksakan untuk disahkan pada akhir masa bakti DPR periode 2014-2019, Agustinus khawatir aturan di dalam kitab hukum pidana itu bisa menimbulkan masalah bagi kehidupan masyarakat dan sulit diberlakukan oleh aparat penegak hukum.
Maidina menegaskan, langkah Aliansi Nasional Reformasi KUHP memberi catatan penting kepada draf akhir RKUHP dimaksudkan untuk membantu DPR dan pemerintah menghadirkan aturan hukum pidana yang bermanfaat dan sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia.
“Kalau paradigmanya setiap undang-undang bisa diajukan judicial review berarti ada yang salah dengan tugas legislasi para anggota DPR. Sebaiknya, kita sempurnakan dulu poin-poin yang masih menimbulkan kontra,” katanya.