Lika-liku Kecelakaan di Tol Cipali
”Saya dijebak”. Kalimat itu beberapa kali keluar dari mulut Hadi Gunawan (49) saat terjaring operasi penertiban kendaraan yang kecepatannya tidak sesuai dengan aturan Jalan Tol Cikopo-Palimanan di Kilometer 164, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, Rabu (28/8/2019).
Dia tidak terima karena tidak melihat satu pun marka larangan batas kecepatan. Siang itu, Unit Patroli Jalan Raya Tol Cipali Polda Jawa Barat menilangnya. Berdasarkan speed gun atau alat pengukur kecepatan, polisi merekam kecepatan kendaraannya melebihi batas kecepatan.
Merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Darat, untuk jalan bebas hambatan, batas minimal kecepatan kendaraan adalah 60 kilometer per jam dan maksimal 100 km per jam.
Hadi yang kerap pergi pulang Jakarta-Cirebon menggunakan jalan tol mengaku tidak tahu soal regulasi itu. Katanya, di sepanjang 116,7 km Tol Cipali tidak ada peringatan tentang batas kecepatan.
Apa yang dialami Hadi bisa jadi juga dialami pengendara lain. Toh, setiap kali polisi melakukan operasi speed gun, bisa sebulan sekali sekitar 50 pengendara melanggar dan kena tilang.
Tol Cipali memang tidak sepadat tol dalam kota di Jakarta. Lengangnya Tol Cipali memacu pengendara menginjak pedal gas terus-menerus. Apalagi, hamparan sawah kering bekas panen seperti saat ini dan rerumputan di median jalan tidak begitu menyegarkan mata.
Balas dendam
Berdasarkan survei PT Lintas Marga Sedaya, pengelola Tol Cipali, pada 2016, kecepatan rata-rata kendaraan kecil di Tol Cipali 110 km per jam. Setelah waktu pengendara habis tiga sampai empat jam di Tol Jakarta-Cikampek, kata Direktur Operasional PT LMS Agung Prasetyo, Tol Cipali menjadi ajang balas dendam untuk balap.
Apalagi, Tol Cipali mampu memotong jarak tempuh Cikampek-Cirebon hingga lebih dari 40 km dibandingkan dengan jalur pantai utara. Ironisnya, survei itu juga menggambarkan bagaimana truk kerap melanggar batas minimum kecepatan.
Kendaraan ”raksasa” itu melaju pelan karena muatan yang dibawa. Kondisi ini memicu kasus tabrak belakang oleh kendaraan kecil dengan kecepatan tinggi. Kriteria kecelakaan ini paling sering menelan korban jiwa di Tol Cipali.
Periode Januari-Juli 2019, dari 61 korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di Tol Cipali, 34 korban kehilangan nyawa akibat kasus tabrak belakang. Kasus serupa mendominasi pada 71 korban meninggal pada tahun 2018 dan 92 korban tewas tahun sebelumnya.
Jatuhnya korban jiwa di tol sebagian besar disebabkan kelalaian manusia. Salah satu yang kerap diberitakan adalah pengemudi mengantuk.
General Manager Operasi PT LMS Suyitno mengatakan, waktu kecelakaan paling banyak berlangsung pada pukul 05.00- 06.00. Waktu itu memang jam yang paling rawan menghadapi rasa kantuk.
Titik lelah pengemudi teridentifikasi di ruas Subang-Cikedung dan Cikedung-Kertajati. Padahal, empat tempat istirahat (rest area) dengan jarak kurang dari 40 kilometer di setiap jalur bisa dimanfaatkan.
Sayangnya, menurut Suyitno, dari sekitar 42.000 kendaraan yang melintasi Tol Cipali setiap hari, hanya sekitar 2.000 unit yang mampir ke tempat istirahat. ”Artinya, semua orang ingin cepat sampai,” ucapnya.
Dengan kondisi badan tidak prima dan kecepatan tinggi, petaka menanti. Jika kendaraan melaju dengan kecepatan 100 km per jam, artinya setiap detik pergerakannya mencapai 27 meter. Padahal, lebar satu jalur Tol Cipali sekitar 12 meter.
Oleh sebab itu, hingga Juli 2019, sebanyak 25 nyawa melayang dalam kecelakaan yang bermula dari kendaraan menyeberang median jalan selebar 9 meter, kemudian menabrak kendaraan dari arah berlawanan. Jumlah ini naik dibandingkan dengan tahun 2018, sebanyak 11 korban tewas.
Sesuai standar
Rentetan kecelakaan tersebut memancing pertanyaan tentang standar keselamatan di Tol Cipali. Namun, Suyitno menampik anggapan itu. Menurut dia, jika jalan itu tidak standar, tidak mungkin beroperasi sejak pertengahan tahun 2015.
Median, misalnya, tidak mesti memiliki batas jalan. Sebab, lebarnya sudah lebih dari 5 meter dan termasuk kategori median terbuka.
Akan tetapi, tahun ini PT LMS tetap memasang wire rope atau pembatas di median jalan sepanjang 18 km di 16 titik rawan kecelakaan, seperti ruas Km 137 hingga Km 154. Hal ini untuk melengkapi wire rope sebelumnya sepanjang 16 km.
Alat itu diklaim mampu membendung laju kendaraan dengan kecepatan 100 km per jam dengan sudut 20 derajat. Empat wire rope juga diklaim dapat menahan beban hingga 80 ton. Agung mengatakan, pihaknya mengeluarkan sekitar Rp 15 miliar untuk pembelian dan pemasangan alat itu.
Kerugiannya, tambah Agus, juga datang dari kerusakan jalan yang dipicu kendaraan kelebihan muatan. Hal itu terlihat dari jalan yang bergelombang di beberapa titik. Perbaikan jalan saat ini nyaris dilakukan oleh pihaknya setiap hari.
Selama ini pihaknya berupaya mengarahkan kendaraan dengan muatan berlebih untuk keluar di pintu tol terdekat. Kalau tidak, denda dengan biaya dua kali jarak terjauh bakal dijatuhkan. Pihaknya juga tengah menyiapkan dua weight in motion (WIM) atau alat pengukur beban kendaraan di Km 74 dan Km 178.
Selain itu, pihaknya juga terus menyosialisasikan pentingnya keselamatan berkendara kepada pengguna Tol Cipali melalui spanduk, video elektronik, hingga mendatangi pangkalan bus atau truk. Sebab, kecelakaan dapat menambah beban pikirannya yang saat ini sudah diisi tantangan meningkatkan volume kendaraan.
Saat ini, sekitar 42.000 kendaraan melintasi Tol Cipali setiap hari. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan saat pertama beroperasi, yakni di bawah 20.000 kendaraan. Saat puncak musim mudik, jumlahnya melonjak hingga lebih dari 90.000 kendaraan.
Meski demikian, menurut Agung, jumlah itu masih di bawah target, yakni 60.000 kendaraan per hari. ”Kami masih lebih baik. Ada pengelola jalan tol lain terus rugi karena kendaraan yang melintas sedikit. Ini bisa berdampak pada bisnis jalan tol,” katanya.
Ujung tombak
Oleh sebab itu, keselamatan berkendara tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pengelola jalan tol atau operasi polisi. Pengemudi sebagai ujung tombak keselamatan di jalan juga memiliki peran vital.
Sayangnya, menurut Ketua Himpunan Profesi Pengemudi Indonesia DPD Jawa Barat Eddy Suzendi, pengemudi masih minim mendapatkan edukasi. Sopir truk yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kecelakaan di Km 91 Tol Purbaleunyi pada Senin (2/9/2019), misalnya, tidak mengetahui beban muatan kendaraannya. Padahal, muatan berlebih di truknya mengakibatkan delapan orang tewas.
Namun, menjadikan sopir sebagai ”kambing hitam”, menurut Eddy, tidak fair. Banyak pengemudi tidak tahu daya angkut kendaraan yang dibawa.
”Mereka cuma nyetir saja. Mereka sebenarnya berhak menolak jika muatannya melebihi ketentuan. Tetapi, nanti enggak kerja,” katanya.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong dinas perhubungan tidak hanya fokus pada kelaikan kendaraan seperti uji kir, tetapi juga memberikan pengetahuan kepada sopir.
”Bahkan, seharusnya ada pendidikan khusus bagi sopir untuk mendapatkan sertifikat. Perusahaan angkutan membiayai pendidikan pengemudinya. Jika nanti sopir lalai, kompetensinya bisa dicabut,” ujarnya.
Lika-liku kecelakaan lalu lintas di Tol Cipali dan tol lainnya menunjukkan kompleksnya kecelakaan. Artinya, ini urusan berbagai pihak. Apalagi, pemerintah yang kerap menitikberatkan pembangunan infrastruktur, termasuk jalan tol.
Jangan sampai dana pembangunan jalan tol sekitar Rp 496 triliun, termasuk dari utang, tidak hanya memotong ongkos logistik, tetapi juga mengurangi angka harapan hidup warga Indonesia karena meregang nyawa di tol. Semoga tidak. (Abdullah Fikri Ashri)