Daya saing industri tekstil dan produk tekstil bisa ditingkatkan, baik di tingkat hulu, antara, maupun hilir. Kemampuan ekspor merupakan salah satu cermin dari daya saing tersebut.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemampuan menembus pasar ekspor merupakan salah satu cermin dari daya saing industri tekstil dan produk tekstil dalam negeri. Daya saing industri tekstil dan produk tekstil akan tinggi jika Indonesia mampu memperkuat struktur industri di sektor itu.
Saat ini, sebenarnya sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) relatif lengkap, mulai dari hulu, antara, hingga hilir.
”Di produk hilir, kita jelas bersaing. Kalau di tengah, akibat banyak barang impor, mengakibatkan utilisasi kapasitas produk antara terganggu,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, di Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, kapasitas produksi per tahun di industri hulu berupa serat sebanyak 3,31 juta ton dan benang 3,97 juta ton. Sebagian produksi tersebut diekspor.
Sementara impor serat sebanyak 1,21 juta ton dan benang 275.800 ton juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Utilisasi kapasitas produksi di industri hulu TPT saat ini sekitar 45 persen.
Di industri antara TPT, ada 1.540 perusahaan industri besar sedang (IBS) dengan tingkat utilisasi kapasitas 41,95 persen. Penurunan produksi dan utilisasi produksi yang sedang terjadi di industri antara TPT ini disebabkan berbagai faktor, antara lain peningkatan impor, khususnya impor kain jadi. Faktor lain adalah mesin dan peralatan yang berusia tua, yakni lebih dari 20 tahun, sehingga tidak lagi efisien.
Lokal dan ekspor
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin Muhdori menambahkan, selain mengisi pasar lokal, beberapa industri kain dalam negeri juga mengekspor produk mereka. ”Impor kain tinggi, tetapi pengusaha kain atau industri sisi tengah (industri antara TPT) dalam negeri juga mengekspor,” katanya.
Sementara di industri hilir TPT ada 2.995 perusahaan IBS dan 407.000 industri mikro kecil. Utilisasi produksi di industri hilir TPT saat ini 56,7 persen.
Sebagian besar bahan baku garmen berorientasi ekspor yang berasal dari impor dipetakan Kemenperin sebagai salah satu tantangan di industri hilir TPT saat ini.
Impor kain yang tinggi berdampak pada keuntungan produsen garmen dalam negeri yang mengekspor produk mereka. ”Produksi garmen dalam negeri berorientasi ekspor itu marginnya kecil. Keuntungan besar ada di pemegang merek. (Beberapa perusahaan di industri hilir TPT) kita, kan, tukang jahit. Tukang jahit raksasa,” ujar Muhdori.
Stagnasi pangsa pasar global yang hanya 1,78 persen dan kalah dibandingkan dengan pesaing, semisal Vietnam, juga menjadi tantangan lain industri hilir TPT Indonesia. ”Negara pesaing itu punya FTA (perjanjian perdagangan bebas) dengan negara tujuan utama ekspor TPT adalah AS dan Eropa,” katanya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat Sintetis dan Benang Filamen Indonesia (Apsyfi) Redma Gita Wirawasta menyampaikan, industri hulu TPT masih bisa mengekspor. Kondisi ini menunjukkan bahwa industri hulu TPT masih punya daya saing di sisi harga.
”Di hulu masih ada ekspornya. Sekitar 15-20 persen kami masih bisa ekspor ke Eropa, Jepang, dan negara-negara di Amerika. Artinya, kami masih bisa bersaing. Akan tetapi, ketika ada barang-barang berharga sangat murah, misalnya karena ada praktik dumping atau subsidi negara, tentu kami tidak bisa bersaing,” kata Redma.
Menurut kalangan pelaku industri TPT, sejumlah faktor pendukung daya saing industri tekstil Vietnam di antaranya adalah tarif listrik dan biaya pelabuhan yang rendah. (CAS)