Pencari suaka yang menduduki trotoar di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, kembali menimbulkan dilema dalam penanganan. Kendati mulai menimbulkan gangguan ketertiban, Pemerintah DKI Jakarta belum menindak tegas mereka.
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pencari suaka yang menduduki trotoar di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, kembali menimbulkan dilema dalam penanganan. Kendati mulai menimbulkan gangguan ketertiban, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum menindak tegas karena alasan kemanusiaan.
Sekitar 81 pencari suaka dan pengungsi asing, termasuk anak-anak, dibiarkan menggelar tikar dan tinggal di trotoar di Jalan Kebon Sirih. Mereka juga masih mendirikan tenda untuk tidur malam hari di halaman kantor-kantor sekitar Menara Ravindo, tempat kantor Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR).
Mereka diminta merapikan tenda setiap pukul 06.00. Petugas Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta berjaga di lokasi. Pemprov DKI berupaya agar jumlah ini tak lagi bertambah.
”Kami mau tinggal di sini sampai diberi tempat tinggal yang layak oleh UNHCR. Uang yang diberikan sekitar Rp 2 juta tidak cukup untuk mencari tempat tinggal dan hidup sehari-hari,” kata Shuria Rahumi (17), pencari suaka asal Afganistan, Selasa (17/9/2019).
Shuria tinggal di trotoar sepekan terakhir setelah meninggalkan penampungan sementara di lahan eks Kodim Jakarta Barat di Daan Mogot. Ia dan keluarganya diminta ke Bogor dan mencari tempat tinggal dengan uang bantuan itu. Karena uang tak memadai, mereka kembali ke Jakarta.
Kepala Badan Persatuan Bangsa dan Politik Provinsi DKI Jakarta Taufan Bakri mengatakan, sampai sekarang pihaknya masih meminta kepastian dari Kementerian Luar Negeri terkait kebijakan yang bisa dilakukan terhadap para pencari suaka dan pengungsi asing. Salah satunya adalah kemungkinan menegakkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
”Ini masalah hak asasi manusia dan soal pengungsi yang merupakan masalah internasional yang juga menjadi sorotan di luar negeri,” katanya.
Sementara di penampungan sementara di kompleks kantor lahan eks Kodim Jakarta Barat, jumlah pencari suaka juga bertambah, dari sekitar 200 orang menjadi sekitar 350 orang. Penampungan sementara sebenarnya ditutup sejak 31 Agustus. Akan tetapi, 200 pencari suaka asal Afganistan dan Afrika bertahan di halaman.
Pencari suaka yang meninggalkan lahan itu merupakan penerima uang bantuan UNHCR dan diminta menandatangani surat pernyataan untuk tak kembali ke sana.
Dengan bantuan tersebut, awalnya masalah sudah selesai karena sekitar 800 pencari suaka meninggalkan penampungan sementara dan mencari tempat tinggal sendiri.
Akan tetapi, menurut Taufan, Wakil Presiden Jusuf Kalla dikabarkan akan menempatkan pencari suaka di Cipayung. Pencari suaka pun kembali lagi, mengharapkan penempatan agar kehidupan sehari-hari ditanggung pemerintah. Adapun di Cipayung tersisa tempat untuk 200 orang, padahal pencari suaka yang mencari tempat tinggal sekitar 600 orang.
Negosiasi bantuan tambahan
Dari 1.000 lebih pencari suaka yang tinggal di lahan eks Kodim Jakarta Barat, sebanyak 800 orang sudah menerima bantuan uang dari UNHCR tersebut. Tersisa 200 orang yang masih bertahan di penampungan sementara yang sudah ditutup.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, kata Taufik, menegosiasikan agar ada tambahan bantuan keuangan untuk 100 orang lagi. Akan tetapi, sementara negoisasi berjalan, kabar soal penyediaan tempat itu terdengar sehingga sebagian kembali ke tempat penampungan sementara yang sudah tutup itu.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum menemukan kebijakan yang dinilai pas di tengah dilema kemanusiaan dan potensi gangguan sosial dari para pencari suaka dan pengungsi asing tersebut. Perumusan kebijakan masih terus dilakukan.