Sang bunda tak kuasa menahan tangis melihat darah menetes dari kedua bola mata anaknya. ”Perih sekali, Bunda,” kenang Sari Apriani menirukan suara Fikri (7). Mata Fikri akhirnya ditutup perban basah dan diobati dokter.
Oleh
Irma Tambunan/ I Gusti Agung Angga
·5 menit baca
Bagi mereka yang jauh dari lokasi asap kebakaran hutan dan lahan gambut, dampaknya mungkin hanya gambar pucat di layar kaca atau foto. Jauh beda dengan yang mengalami langsung. Getir, pilu.
Sang bunda tak kuasa menahan tangis melihat darah menetes dari kedua bola mata anaknya. ”Perih sekali, Bunda,” kenang Sari Apriani menirukan suara Fikri (7). Mata Fikri akhirnya ditutup perban basah dan diobati dokter salah satu rumah sakit di Kota Jambi.
Sejak kebakaran areal perkebunan sawit dan akasia mengepung sekitar desanya di Muara Sabak Barat, Tanjung Jabung Timur, Jambi, asap berbau sangit dikeluhkan masyarakat. Sejak itu pula Fikri mulai mengeluh mata perih. Namun, sekolah belum diliburkan. Siswa tetap belajar di dalam ruangan berkabut tebal.
Tiga hari kemudian, rasa perih tak tertahankan. Sari akhirnya membawa Fikri berobat ke klinik. Dokter menyatakan Fikri mengalami konjungtivitis alias iritasi akibat peradangan pada selaput yang melapisi permukaan bola mata dan kelopak bagian dalam. ”Kata dokter, iritasinya dapat dipicu paparan asap,” jelasnya.
Iritasi itu rupanya bertambah parah. Fikri dilarikan ke Kota Jambi untuk perawatan intensif di rumah sakit. Di sana, ia sering menangis tak kuat menahan perih. Pelupuk matanya terus berair, lalu meneteskan darah. Fikri sempat pula tak dapat melihat.
Menganalisis kondisinya, dokter menutup kedua mata Fikri dengan perban basah dan memberi obat-obatan. Seminggu dirawat, kondisinya membaik. ”Tetapi, oleh dokter, Fikri belum boleh kembali ke desa selama asap masih tebal,” ujar Sari yang kini mengungsi ke rumah kerabat di Jambi.
Kabut asap akibat kebakaran lahan tahun ini mengakibatkan banyak korban. Selain Fikri, ribuan orang lainnya mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Jambi, Riau, Palangkaraya, Pontianak, dan Palembang.
Menurut Dinas Kesehatan Kota Jambi, penderita ISPA meningkat dari 7.142 kasus pada Juni 2019 menjadi 9.316 kasus pada Juli. Angka tertinggi terjadi sepanjang Agustus hingga 10 September, yakni 11.251 kasus.
Kebakaran juga menelan dua korban tewas di Kabupaten Batanghari. Keduanya tewas saat berjuang memadamkan api. Warga Kota Kandis Dendang, Tanjung Jabung Timur, Astuti, mengatakan, 10 tahun terakhir, ia mengalami tujuh kali kebakaran lahan di perkebunan sawit swasta sekitar desanya dan warga terabaikan.
”Tak pernah ada layanan kesehatan gratis ataupun tempat aman bagi warga untuk berlindung,” kata Astuti. Berdasarkan aplikasi IQ Air Visual, kualitas udara terpantau buruk di sejumlah daerah. Pukul 18.30, indikator kesehatan udara di Jambi pada level 305 dan di Palembang level 312, yang berarti sangat berbahaya untuk kesehatan paru-paru. Di Palangkaraya mencapai 672.
Dalam laporan berjudul ”Di Balik Tragedi Asap” yang merupakan catatan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2015 yang dikeluarkan Asia Foundation dan Perkumpulan Skala disebutkan besarnya dampak kesehatan bagi masyarakat karena terpapar langsung partikel debu yang sangat tinggi.
Sementara data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2015, karhutla dan kabut asap menelan 24 nyawa. Jumlah penderita ISPA bahkan mencapai lebih dari 600.000 orang dan yang terpapar asap berjumlah sekitar 60 juta orang.
Kementerian Kesehatan jelang akhir 2015 juga mendata penyakit terkait karhutla dan kabut asap. Selain ISPA sebanyak 10.133 kasus, ada pneumonia 311 kasus, asma 415 kasus, iritasi mata 689 kasus, dan iritasi kulit 1.850 kasus. Dana yang harus digelontorkan untuk membiayai pelayanan kesehatan selama karhutla dan kabut asap, menurut Bank Dunia, mencapai Rp 2,1 triliun.
Dari laporan itu terungkap bahwa masyarakat tak ingin tinggal di daerah terdampak kabut asap. Namun, mereka terpaksa menetap. Hanya warga mampu yang sanggup mengevakuasi diri dari Sumatera atau Kalimantan. Tahun ini, kegawatan asap karhutla dinilai setara 2015. Padahal, perang melawan titik api sudah dilakukan di darat dan udara sejak sebulan lalu.
Memburu awan hujan
Selasa kemarin, para penyemai awan hujan menghabiskan waktu berjam-jam di langit Riau mencari awan yang tepat untuk modifikasi cuaca. Rekayasa cuaca menjadi salah satu upaya pemerintah menangani karhutla.
Presiden Joko Widodo menyebut karhutla sudah meluas sehingga sulit dipadamkan. Di Riau, BNPB mendata luas lahan terbakar 49.256 hektar pada Senin (16/9/2019). Riau menjadi provinsi dengan luas lahan terbakar terbesar di Sumatera.
”Segala upaya dan usaha sudah dilakukan. Di darat sudah semuanya disemprot air. Tambahan pasukan sehingga total ada 5.600 orang. Doa (memohon hujan) juga sudah kami panjatkan,” kata Presiden Jokowi di apron Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin, Riau, kemarin.
Para pemburu awan hujan memegang peran sentral. Mereka pilot TNI AU, ilmuwan di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta prakirawan cuaca di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.
Mereka berbagi tugas. Ilmuwan di BPPT menyediakan garam (NaCl) dicampur cabosil agar garam tak mudah menggumpal. Prakirawan cuaca memprediksi pergerakan awan dan memetakan lokasi di mana awan banyak berkumpul, sedangkan pilot TNI AU menyiapkan pesawat untuk menyemai garam di atas awan.
Modifikasi cuaca dilakukan pemerintah sejak 19 Februari 2019. Belum lama, Hercules C-130 dari Skuadron Udara 31 Halim Perdanakusuma diterbangkan Mayor (Pnb) Candra Danangjaya membawa 8 ton garam menuju Riau. Ketika pesawat melewati langit Kota Palembang, kesibukan terasa. Kepada Kompas, Candra menjelaskan, tak mudah mengendalikan pesawat penyemai garam di atas awan.
Saat ada di atas awan, kecepatan mesti diatur tak melebihi 180 knot. ”Koordinasi dengan kru kargo ketika mereka mengalirkan garam juga harus tepat. Meleset sedikit, penyemaian garam sia-sia,” katanya. Penerbangan Hercules itu hanya salah satu contoh perjuangan menghadapi asap.
Kerja keras harus terus dilakukan demi udara bersih dari polutan. Dengan begitu, tak perlu lagi ada getir dan pilu, seperti dialami Fikri.