Undang-Undang KPK akhirnya direvisi. Meskipun disebut-sebut hanya revisi terbatas, kenyataannya banyak aspek kewenangan yang diubah sehingga memperlemah lembaga antikorupsi tersebut.
Akhirnya, hari penentuan itu tiba. Hanya dihadiri secara fisik oleh 108 orang dari 560 anggota DPR dalam ruang rapat paripurna, undang-undang yang mengubah masa depan pemberantasan korupsi negeri ini disahkan juga. Meski penolakan terhadap revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi terus mengalir, DPR dan pemerintah terus melenggang melanjutkan proses dan pengesahannya.
KPK pun segera beroperasi dengan regulasi baru. Meskipun perubahan UU tersebut, selalu disebut-sebut revisi terbatas, kenyataannya perubahan itu boleh dibilang membongkar operasional KPK hampir secara total. Bahkan peran stimulus yang semestinya dapat dilakukan KPK sebagai pedoman bagi lembaga penegak hukum lainnya pun tak lagi punya, baik di pencegahan maupun penindakan.
Pada poin nomor satu Pasal 6 UU KPK yang baru direvisi, tugas pencegahan memang didahulukan. Namun, penjabarannya pada Pasal 7, tak ada perubahan signifikan dengan UU lamanya. Di antaranya, disebutkan, mulai dari pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN, menerima laporan dan status gratifikasi, menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi, perencanaan dan sosialisasi antikorupsi dan kampanye, hingga kerja sama bilateral atau multilateral pemberantasan korupsi.
Dengan uraian pencegahan seperti itu, sebenarnya, selama ini sudah dilakukan semuanya oleh KPK. Justru penguatan pencegahan KPK dengan pembentukan cabang KPK di daerah untuk optimalkan pencegahan korupsi justru tak diakomodasi di revisi UU KPK-nya. Padahal, adanya KPK di daerah, khusus untuk bidang pencegahan, diyakini memudahkan pemantauan program pencegahan yang direkomendasikan ke tiap daerah.
Di sisi lain, dengan revisi UU KPK, tugas penindakan berupa penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi, tak lagi jadi prioritas, tetapi hanya diletakkan di poin kelima. Hal itu dibenarkan anggota Badan Legislasi dari Fraksi Partai Golkar, Firman Subagyo, tugas pencegahan KPK memang akan lebih diprioritaskan dibandingkan penindakan, baik berupa operasi tangkap tangan (OTT) serta case building atau membangun kasus, yang selama ini jadi kekuatan KPK.
”KPK ke depan harus tingkatkan koordinasi dan supervisi dengan kepolisian dan kejaksaan untuk porsi tugas penindakan perkara korupsi. Dengan demikian, porsi penindakan perkara korupsi diharapkan lebih banyak ditangani lembaga lain,” ujar Firman.
Selama ini, DPR memang kerap menyoal kinerja penindakan KPK yang kencang. Pasalnya, beberapa politisi dan petinggi partai ikut terjerat OTT KPK. Bahkan, selama ini, kasus-kasus yang dibangun KPK pun selalu menyasar penyelenggara negara dengan jabatan tinggi sipil dan parpol.
Sebenarnya juga, keinginan agar KPK lebih memprioritaskan pencegahan sudah disuarakan DPR sejak revisi UU KPK muncul pertama sejak 2015 dan semakin kuat saat Panitia Hak Angket DPR terhadap KPK digulirkan 2017. Kali ini, niat DPR itu terkabul lewat revisi UU KPK. Namun, bagaimana implikasinya?
Ruang gelap penanganan
Taji KPK karena kerja penindakan yang optimal dibandingkan lembaga penegak hukum yang lain pun tergerus. Dikhawatirkan, KPK tak lagi dapat menangani perkara yang meresahkan masyarakat. Penyadapan yang menjadi salah satu peranti penting penyelidikan kini memerlukan izin Dewan Pengawas yang rentan konflik kepentingan. Jangka waktu penyadapan pun dibatasi hanya enam bulan dengan sekali masa perpanjangan.
Belum lagi, penggeledahan dan penyitaan untuk menguatkan barang bukti juga memerlukan izin Dewan Pengawas. Penetapan tersangka juga dikembalikan lagi ke KUHAP, yaitu penetapan tersangka dilakukan di akhir penyidikan, seperti halnya kepolisian dan kejaksaan. Dengan demikian, pengumuman tersangka seperti selama ini terancam tak lagi bisa terjadi. Publik juga tak dapat memantau perkembangan perkara. Ditambah, kewenangan penghentian perkara yang dibatasi selama dua tahun.
Sebut saja, salah satu dugaan kasus korupsi KTP elektronik (KTP-el) dengan tersangka awal Sugiharto yang memakan waktu hingga tiga tahun. Jika menggunakan aturan penghentian perkara saat ini, kasus itu berpotensi berhenti dan tak dapat membongkar pelaku besar hingga bekas Ketua DPR Setya Novanto. Saat ini, KPK memiliki tumpukan perkara seperti kasus dugaan korupsi di Pelindo II dengan tersangka RJ Lino, suap dan pencucian uang Emirsyah Satar dan Soetikno Soedarjo, juga kasus BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim.
Kasus-kasus tersebut kini terancam berhenti dengan adanya Pasal 70C, yang menyebutkan, semua tindakan penyelidikan hingga penuntutan korupsi yang proses hukumnya belum selesai, harus didasarkan pada UU revisi.
Puncaknya, pimpinan KPK juga tak lagi jadi penyidik dan penuntut umum sehingga tak bisa menandatangani surat perintah penyidikan atau penuntutan seperti selama ini. ”Ibarat bermain tinju, KPK sekarang hanya melakukan pukulan dengan satu tangan. Padahal, penegakan hukum tak bisa berjalan seperti itu, harus berimbang. Dampaknya KPK dapat tak lagi dipercaya,” ujar Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Firman Noor.
Di sisi lain, arah pemberantasan korupsi ke depan juga semakin terdistorsi. Efek jera bagi koruptor semakin sulit dicapai karena ancaman pidana bagi pelaku korupsi akan semakin ringan. Begitu pula syarat bebas bersyarat terpidana korupsi.
Semua itu merupakan buah dari tiga rancangan legislasi yang saat ini sedang dikebut pula oleh DPR dan pemerintah secara bersamaan, yaitu revisi UU KPK, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan RUU Pemasyarakatan. Dengan kondisi seperti itu, KPK sebagai lembaga buah dari reformasi, seperti disebutkan oleh peneliti ICW Kurnia Ramadhana, ”Lengkap sudah ruang gelap penanganan perkara korupsi besar di KPK.”
Sementara, Menkumham Yasonna Laoly meminta agar perubahan UU KPK tidak dilihat sebagai upaya melemahkan, tetapi menguatkan lembaga antirasuah tersebut. ”Tidak ada niatan buruk dari presiden. Betul-betul intensinya baik untuk negara. Mari kita awasi bersama, ini hanya perbaikan saja,” katanya.
(Agnes Theodora/Riana A Ibrahim)