Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengaku tidak ingin berperang dengan Teheran sekalipun menduga serangan kilang pengolahan minyak Arab Saudi berasal dari Iran.
Dubai, selasa Presiden AS, Donald Trump menegaskan dirinya tidak ingin berperang dengan Iran pasca-terjadinya serangan atas kilang pengolahan minyak di Arab Saudi, pekan lalu. Namun, Trump menyatakan, Iran ada di belakang serangan yang mengakibatkan turunnya produksi minyak global hingga 5 persen itu.
Tuduhan itu kembali dibantah Pemerintah Iran. Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei bahkan menyatakan tak akan ada pembicaraan apa pun antara Iran dan Pemerintah AS di semua tingkat terkait perseteruan Teheran dengan Washington.
”Para pejabat Iran, pada tingkat apa pun, tidak akan pernah berbicara dengan para pejabat Amerika... semua ini adalah bagian dari kebijakan mereka untuk menekan Iran,” demikian dikatakan Khamenei, seperti dikutip televisi Pemerintah Iran, Selasa (17/9/2019).
Khamenei mengatakan, pembicaraan kedua pihak hanya dapat terjadi jika AS kembali ke perjanjian nuklir yang ditinggalkan Trump tahun lalu. ”Jika AS ’bertobat’ dan kembali bergabung ke dalam Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), AS dapat berbicara dengan Iran bersama dengan pihak lain dalam kesepakatan ini. Kalau tidak, takkan ada negosiasi antara pejabat Iran dan AS di tingkat mana pun, baik di New York maupun tempat lain,” kata Khamenei.
Sehari setelah menyiratkan kemungkinan aksi balasan lewat pengerahan militer AS pasca-serangan atas Aramco, Trump, keesokan harinya, mengatakan, pihaknya tidak terburu-terburu mengambil tindakan.
”Kami memiliki banyak opsi, tetapi saya tak melihat opsi itu saat ini. Kami ingin menemukan secara pasti siapa yang melakukan ini,” katanya.
Arab Saudi, yang telah mendukung sanksi AS yang lebih keras terhadap Iran, mengatakan pada Senin, penyelidikan awal menunjukkan serangan dilakukan dengan senjata Iran, tetapi tidak dapat menunjukkan bukti atas hal itu. Riyadh mengatakan, mereka mampu jika memang diharuskan, tetapi tidak secara langsung menuduh Teheran.
Serangan itu sendiri telah mengurangi separuh produksi minyak Arab Saudi dan merusak pabrik pemrosesan minyak mentah terbesar di dunia. Serangan itu pun memicu lonjakan harga minyak terbesar dalam beberapa dekade. Itu adalah serangan terburuk terhadap fasilitas minyak regional sejak Saddam Hussein membakar sumur minyak Kuwait selama Perang Teluk 1990-1991.
Pengiriman tertunda
Lembaga penyedia informasi energi dan komoditas, S&P Platts, memperkirakan 3 juta barel minyak Saudi per hari akan tetap tidak dapat diproduksi selama sebulan akibat dari serangan itu. Laporan itu muncul pada saat harga minyak turun pada Selasa. Harga minyak sempat melesat awal pekan ini di tengah ketidakpastian yang berlaku di pasar global atas kapan Arab Saudi dapat memulihkan produksi minyaknya.
Perusahaan minyak Kerajaan Arab Saudi, Saudi Aramco, memberi tahu pihak PetroChina bahwa beberapa muatan minyak mentah untuk Oktober akan ditunda hingga 10 hari akibat serangan itu. Merujuk sebuah sumber, Aramco tetap berkomitmen memasok sebanyak volume yang sama dengan yang diminta sebelum serangan, terutama untuk pesanan Oktober.
Manajemen Aramco juga mencoba berkejaran dengan target persiapan penawaran saham perdana perseroan. Investor dan kalangan analis pesimistis hal itu bisa tepat waktu sesuai target.