Industri pembakaran arang batok kelapa tidak hanya mencemari udara sekitarnya, namun usaha itu dijalankan di lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Dengan alasan itu, pemerintah menghentikannya.
Oleh
Stefanus Ato/Aguido Adri/Nikolaus Harbowo
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Utara menghentikan kegiatan usaha pembakaran arang batok Kelapa di Jalan Cakung Drain, Clincing, Jakarta Utara. Usaha tak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga bertentangan dengan peruntukan tata ruang di wilayah itu. Lokasi usaha itu seharusnya diperuntukkan sebagai jalur hijau.
Camat Clincing M Alwi sudah memberi toleransi selama satu bulan agar para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) pembakaran arang batok membenahi aktivitas usahanya. Karena itu, pihaknya sudah menyampaikan kepada para pengusaha arang agar mulai besok membongkar cerobong asap pembakaran arang karena mencemari lingkungan.
"Jadi mereka bersedia untuk membongkar sendiri. Tetapi sesuai standar operasional kami, besok kami akan melakukan pembersihan di lingkungan itu," kata Alwi, Rabu (18/9/2019), di Jakarta.
Alwi menambahkan, pembongkaran tempat usaha terpaksa dilakukan agar dampak polusi bisa efektif diredam. Sebelumnya pembatasan kegiatan pembakaran di malam hari tidak efektif mengurangi pencemaran udara di area itu. Masih ada warga yang mengeluhkan asap pembakaran arang batok kelapa yang beroperasi di wilayah itu.
"Saya sudah pesan, usaha arang itu tidak dihentikan, cuma asapnya saja. Bisa tidak mereka melaksanakan usaha pembakaran asap tanpa arang?," katanya.
Buyung (29), pengusaha pembakaran batok kelapa di Jalan Inspeksi Cakung Drainase, Jakarta Utara mengatakan, pembakaran batok kelapa pasti menimbulkan asap. Karena itu, ia dan para pekerja lainnya menggunakan beberapa cara untuk mengurangi produksi asap.
Pertama, batok kelapa yang dibakar di dalam drum harus ditutup separuh atau menyisakan celah kecil agar udara masuk ke dalam drum. “Hanya saja jika buka tutup seperti ini, batok kelapa lama menjadi arang. Namun, mau gimana lagi, karena kalau dibuka seluruhnya asap akan banyak. Sistem penyaringan kedua dengan cerobong asap ini. Jadi asap terakhir ga terlalu banyak,” kata Buyung saat mempraktikkan proses pembakaran batok kelapa.
Ia mengatakan, sebelumnya pemerintah akan membantu memasang alat ukur kualitas udara. Namun, hingga saat ini belum ada tindak lanjut dari pemerintah.
Buyung hanya bisa pasrah ketika mendengar kabar lapak usaha mereka akan dihentikan dan mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah. Meski begitu, ia dan beberapa pekerja lainnya sangat berharap ada langkah konkrit yang diberikan oleh pemerintah.
“Sama, kami minta kejelasan nasib kami. Jika direlokasi, mau direlokasi kemana? Jangan suruh kami beralih profesi, karena harus mulai dari nol, itu akan sulit buat kami. Hanya ini yang bisa kami lakukan," katanya.
Menurut dia, mereka menjalankan usaha di tempat itu juga atas izin pemerintah. Karena itu, kegiatan penutupan dirasa tidak adil karena penyumbang asap tak hanya berasal dari arang batok kelapa. "Ada pabrik lain dan ada warga yang membakar kabel. Kenapa hanya kami yang kena ?” ucapnya.
Terkait nasib pelaku UMKM di tempat itu, pemerintah berencana membina mereka. Tujuannya, agar kegiatan usaha mereka legal, tertib tempat usaha, dan tidak berdampak pada kesehatan masyarakat. "Suku Dinas UMKM masuk dulu. Mudah-mudahan dari pembinaan nanti ada solusi dari situ. Utamanya sekarang itu, pembenahan corong asap dulu," kata Alwi.
Alwi menambahkan, tanah yang ditempati warga itu merupakan aset milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, ia mengakui selama puluhan tahun tanah itu dibiarkan tanpa pengawasan sehingga para pelaku arang itu menetap di sana. "Dulunya mereka usaha di Budi Darma, kemudian berpindah di situ. Mereka mengaku dipindahkan Camat Clincing (pada tahun 2004) tetapi tidak ada bukti," katanya.
Penghentian usaha itu juga merupakan langkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengembalikan fungsi lahan di kawasan itu yang seharusnya dimanfaatkan sebagai jalur hijau. Upaya penertiban juga sudah berulang kali dilakukan terutama kepada para pelaku usaha lain seperti usaha cafe dan pengelolaan sampah.
"Langkah awal kami menutupi usaha kafe, tetapi setelah 15 hari mereka buka lagi. Jadi, sekarang mulai dari arang ditutup, setelah itu kami kembali tertibkan lagi usaha kafe," kata Alwi.
Berdasarkan pengamatan, tempat usaha itu diapit dua aliran sungai, yaitu Kali Gendong dan Kali Cakung Drainase. Luas lahan yang dimanfaatkan warga juga hanya sekitar 50 meter. Akibatnya, sebagian perumahan warga dibangun dengan memanfaatkan sebagian jalur kali itu.
Data dari Kecamatan Clincing, jumlah penduduk yang tinggal di tempat itu sekitar 100 kepala keluarga. Kegiatan usaha mereka juga bermacam-macam, mulai dari usaha pembakaran arang, peleburan timah, usaha kafe, hingga pengelolaan sampah daur ulang.
Sementara itu, Kepala Dinas Cipta Karya, Pertanahan dan Tata Ruang DKI Jakarta Heru Hermawanto menyampaikan bahwa kawasan itu seharusnya masuk ke dalam kategori hunian. Namun, seiring berjalannya waktu, permukiman padat itu terus berkembang menjadi kawasan industri perumahan.
"Awalnya memang bukan pabrik seperti itu. Awalnya memang hunian. Dari situ, hunian difungsikan ganda, hunian dan industri. Industri rumahan," ujar Heru. Heru menyadari, pengalihfungsian hunian menjadi industri bisa bermasalah jika tidak ditata dengan baik. Itu bisa berujung pada pencemaran lingkungan.
Pemerintah pun, lanjut Heru, tak bisa serta-merta merelokasi mereka karena bergesekan langsung dengan mata pencaharian penduduk. Yang terpenting, menurut dia, adalah penataan kawasan yang menyeluruh, baik secara ekonomi masyarakat, tata ruang, dan lingkungan. Apabila pemerintah nanti tak bisa merelokasi mereka, maka akan dipikirkan masalah pembinaannya.
"Makanya harus bijak menghadapi ini. Mereka perlu dibina dahulu. Kalau itu memang hunian, ya nanti ditetapkan dengan kondisi-kondisi perbaikan lingkungan. Intervensi lingkungan apa yang bisa dilakukan sehingga penanganannya komprehensif. Jadi lingkungan tidak rusak, mata pencarian warga pun tetap hidup," kata Heru.
Tak ada pengukuran
Secara terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih mengatakan, selama ini belum ada pengukuran emisi terhadap masing-masing industri rumahan di Cilincing. Sebab, industri rumahan tak memiliki cerobong untuk dipasang alat pengukur tersebut. Alhasil, Dinas Lingkungan Hidup hanya bisa mengukur kualitas udara di wilayah tersebut.
"Kami di situ tak ada secara pengendalian pencemaran, tak ada alat yang dipasang atau bisa dipasang di situ dengan kondisi seperti itu. Yang kami ukur pun bukan satu-satu karena tak ada cerobongnya tetapi di lingkungan itu," ujar Andono.
Dari hasil pengukuran kualitas udara di Cilincing, lanjut Andono, kawasan tersebut masuk kategori kualitas udara buruk apalagi saat pabrik-pabrik di sana beroperasi secara bersamaan. Namun, dia enggan mengungkapkan perhitungan itu. "Saya tidak hapal angkanya. Hanya saja, kalau mereka bakar barengan ya jelek kualitas udaranya. Angkanya pasti sudah melewati baku mutu makanya disegel," tuturnya.