Profesi desainer berikut produk desainnya dinilai belum diapresiasi oleh para pengguna jasa. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan standar pengadaan dan pengelolaan jasa desain di Indonesia.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Profesi desainer berikut produk desainnya dinilai belum diapresiasi oleh para pengguna jasa. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan standar pengadaan dan pengelolaan jasa desain di Indonesia.
Ketua Asosiasi Profesional Desain Komunikasi Visual Indonesia (Aidia) Hastjarjo Boedi Wibowo mengatakan, salah satu bidang desain yang telah memiliki pakem hukum ialah desain interior. Salah satu payung hukumnya tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Hal ini sekaligus menjadi dasar dalam pengadaan dan pengelolaan jasa desain interior.
”Di satu sisi, bidang desain lain, seperti desain grafis dan desain komunikasi visual (DKV), belum ada standarnya. Ini membuat DKV dan grafis jadi ’liar’ dalam konteks berprofesi,” kata Hastjarjo saat peluncuran buku Dasar Pengadaan dan Pengelolaan Jasa Desain di Indonesia, Rabu (18/9/2019), di Jakarta.
Buku tersebut disusun oleh lima asosiasi desain Indonesia bersama Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Kelima asosiasi itu adalah Aidia, Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI), Aliansi Desainer Produk Industri Indonesia (ADPII), Himpunan Desainer Interior Indonesia (HDII), dan Himpunan Desainer Mebel Indonesia (HDMI). Buku berisi sembilan bab itu disusun sejak April 2017.
Menurut Hastjarjo, ketiadaan standar membuat profesi desainer rentan akan praktik bisnis yang tidak adil. Salah satu contoh adalah praktik free pitching, yaitu pengajuan ide desain dari para desainer untuk kepentingan calon pengguna jasa. Pitching kerap dimanfaatkan penyelenggara untuk mencari ide tanpa memberikan kompensasi kepada desainer.
Lemahnya apresiasi terhadap desainer juga terjadi karena desain tidak dipahami sebagai proses berkarya. Dalam buku Dasar Pengadaan dan Pengelolaan Jasa Desain di Indonesia (2019), desain dijelaskan sebagai penciptaan nilai dari pemecahan masalah. Desain pun dimaknai sebagai karya yang memiliki tata kelola yang harus dihargai.
Lemahnya apresiasi terhadap desainer juga terjadi karena desain tidak dipahami sebagai proses berkarya.
”Buku ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang pengelolaan proyek desain. Semoga buku ini bisa membawa profesi desainer Indonesia menuju kemartabatan, terlebih dalam kontribusinya dalam ekosistem ekonomi kreatif,” kata Hastjarjo.
Direktur Riset dan Pengembangan Ekonomi Kreatif Bekraf Wawan Rusiawan mengatakan, Bekraf akan mendukung dan memfasilitasi para desainer. Ia berharap buku ini bisa menjadi diskursus publik dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan tata kelola jasa desain.
Di sisi lain, ekonomi kreatif memberikan kontribusi 7,44 persen terhadap total perekonomian nasional atau setara dengan Rp 989 triliun pada 2017. Wawan mengatakan, pertumbuhan subsektor DKV, desain produk, dan desain interior berkisar 5,8-12 persen per tahun.
”Kami mau mengemas kelebihan para desainer. Ini bisa jadi fondasi untuk berpihak dan melindungi mereka. Dengan ini, para desainer bisa berkembang,” kata Wawan.
Kepala Bekraf Triawan Munaf dalam keterangan tertulis menyarankan agar buku tersebut menjadi pedoman pengadaan dan pengelolaan jasa desain. Buku ini bisa dimanfaatkan oleh desainer, pengguna jasa, pemerintah, dan sebagainya.