Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan gejolak politik sejumlah negara, para pemangku kepentingan jangan mengabaikan persoalan esensial. Persoalan esensial itu menyangkut lingkungan hidup dan manusia.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
Sejumlah daerah di Indonesia tengah terpapar asap. Tidak hanya pada lingkungan, kesehatan manusia juga ”rusak” terpapar asap. Demikian juga ekonomi Indonesia terpapar ”asap” dari dalam dan luar negeri.
Asap yang tengah menyelimuti daerah-daerah potensial investasi itu menutupi pandangan investor. Akankah mereka mau berinvestasi di negeri asap? Atau tetap saja ada investor, baik dalam dan luar negeri, yang mau menambah paparan asap? Entah itu dengan cara menyingkirkan hutan untuk kepentingan lain maupun membuka lahan untuk meningkatkan bisnis komoditas penghasil uang.
Dunia sebenarnya sudah mengingatkan. Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan gejolak politik di setiap negara, para pemangku kepentingan jangan mengabaikan persoalan esensial. Persoalan itu, meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya Bumi Manusia, adalah bumi dan manusia.
Pada Januari 2019, Forum Ekonomi Dunia (WEF) dalam Laporan Risiko Global 2019 menyebutkan, dunia sedang di luar kendali. ”Apakah dunia sedang tidur sambil berjalan di tengah krisis?” Begitu pertanyaan satire WEF mengawali laporan tersebut.
Salah satu poin laporan itu adalah tantangan perubahan iklim global yang masih berlangsung. Lingkungan terancam berbagai limbah industri dan ulah manusia. Bencana terjadi di sejumlah negara sehingga melumpuhkan ekonomi dan infrastruktur daerah-daerah terdampak. Butuh biaya besar untuk memulihkan diri dari dampak bencana tersebut.
Pada saat bersamaan, perekonomian global terus menghadapi tekanan. Sejumlah negara mengalami gejolak politik di dalam negeri dan bersitegang dengan negara lain, salah satunya menyangkut perang dagang AS-China. WEF menilai, ketegangan geopolitik dan geoekonomi itu menghambat upaya-upaya menangani masalah-masalah esensial dunia, yaitu kemiskinan dan perubahan iklim.
Pada 4 September 2019, Dana Moneter Internasional (IMF) juga mengingatkan agar pemerintah dan pebisnis tidak hanya follow the money atau mengikuti ke mana arah uang bergerak. Mereka juga perlu memperhatikan pembangunan ekonomi berbasis lingkungan untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
Juli 2019 adalah bulan terpanas yang pernah tercatat di bumi. Rata-rata suhu global pada bulan itu 16,5 derajat celsius atau 0,95 derajat celsius lebih tinggi dibanding rata-rata temperatur abad ke-20 yang tercatat 15,8 derajat celsius.
Hal itu juga menyebabkan kekeringan berkepanjangan memengaruhi jutaan orang di Afrika Timur. Pada Agustus 2019, Greenland kehilangan 12,5 miliar ton es dalam satu hari.
Ekonom IMF Bidang Kebijakan Moneter dan Pasar Modal IMF, William Oman, menyatakan, perlunya sebuah negara membuat kebijakan moneter dan fiskal untuk memitigasi dampak perubahan iklim. Kebijakan fiskal memang yang utama untuk memitigasi dan memulihkan kembali dampak perubahan iklim itu.
Meski demikian, kebijakan itu perlu ditopang dengan perangkat kebijakan keuangan dan moneter. Perangkat kebijakan keuangan itu meliputi regulasi, tata kelola keuangan, peningkatan infrastruktur dan pasar keuangan, dan dengan kebijakan moneter.
Konkretnya, pemerintah bisa menerbitkan instrumen-instrumen keuangan untuk membiayai mitigasi dan memulihkan dampak itu. Obligasi, sukuk hijau, dan asuransi bencana sangat diperlukan sebagai alternatif pembiayaan baru.
Pemerintah bisa menerbitkan instrumen-instrumen keuangan untuk membiayai mitigasi dan memulihkan dampak itu. Obligasi, sukuk hijau, dan asuransi bencana sangat diperlukan sebagai alternatif pembiayaan baru.
Tentu saja hal itu perlu sejalan dengan upaya-upaya nonfiskal dan nonmoneter lainnya. Misalnya, penegakan dan sanksi hukum bagi para pelaku pembakaran hutan dan lahan, serta tanggung jawab perusahaan terkait.
Bagi Indonesia yang tengah membangun infrastruktur dan sumber daya manusia, alternatif pembiayaan itu sangat diperlukan. Apalagi, di tengah-tengah ketidakpastian ekonomi dan perdagangan global yang membawa kabut ”asap” ke Indonesia.
Pembangunan membuat utang luar negeri Indonesia semakin membengkak. Ketidakpastian perdagangan global menyebabkan kinerja ekspor turun sehingga berdampak pada defisit neraca dagang dan melebarnya defisit transaksi berjalan. Di sisi lain, sektor utama penerimaan negara, yaitu pajak, masih jauh dari target.
Dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar. Pada 2015, kebakaran itu telah menghancurkan 2,7 juta hektar (lebih dari 800.000 hektar merupakan lahan gambut dalam). Kehancuran lingkungan ini mengakibatkan kerugian lebih dari 16 miliar dollar AS (Rp 225 triliun).
Pada Januari-pertengahan September 2019, lahan dan hutan yang terbakar seluas 328.724 hektar. Kerugian lingkungan diperkirakan Rp 130 triliun. Itu semua baru kerugian lingkungan, belum lagi menyangkut kesehatan dan penundaan atau pembatalan sejumlah penerbangan.
Akankah setiap tahun akan terjadi seperti itu terus? Akankah bumi dan manusia akan selalu menjadi korban?
Agar hal itu tidak terus berulang, perlu arah dan komitmen pelaksanaan pembangunan ekonomi berkelanjutan agar negeri ini tidak terpapar asap. Agar ekonomi ini juga tidak terpapar asap sekaligus memicu asap. As soon as possible?