Dua ibu menghadang jalan puluhan petugas yang akan ”menertibkan” peternakan babi warga. Para babi pun ikut memekik. Oikkk....
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
Dua ibu menghadang jalan puluhan petugas yang akan ”menertibkan” peternakan babi warga. Mereka memohon dan berteriak agar kandang di tengah lahan tandus itu tetap berdiri. Perjuangan itu berakhir sia-sia belaka. Tangan petugas sudah kadung lapar untuk beraksi pada siang itu.
Menggunakan linggis, dengan cepat para petugas mencongkel kandang ternak yang terbuat dari papan lapuk itu. Tiang bangunan roboh dengan tendangan sepatu lars mereka. Segala macam sumpah serapah diteriakkan para pemilik ternak saat kandang pertama rata dengan tanah.
Para babi juga ikut memberikan perlawanan dengan menguik berisik dan melompat tak tentu arah. Situasi sungguh ribut dan kacau balau. Seorang petugas yang sebal akhirnya menendang seekor babi yang paling gendut, mungkin maksudnya agar hewan itu diam. ”Oikkk,” pekik si babi kesakitan.
Peternakan babi di lokasi itu terbagi menjadi tiga titik yang letaknya berdekatan. Satu titik berisi 20 hingga 30 babi. Pemiliknya berjumlah sekitar 15 orang. ”Kasih kami waktu, nanti kami bongkar sendiri dan kami jual semua babi ini,” kata Natalia memohon kepada seorang petugas, Selasa (17/9/2019).
Kandang ternak, ladang pertanian, dan rumah warga di Teluk Bakau, Kecamatan Nongsa, Batam, Kepulauan Riau, masuk dalam Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) Bandara Hang Nadim. Warga yang bermukim dan menggarap lahan secara ilegal tersebut dikenal sebagai orang ruli (rumah liar).
Istilah ruli identik dengan kawasan kumuh dan rawan tindak kejahatan. Jumlahnya saat ini diperkirakan lebih dari 33.000 bangunan. Laju urbanisasi yang tinggi membuat kota ini menjadi semacam tempat pengungsian warga dari daerah lain. Gemerlap kehidupan Batam seolah cahaya lampu yang menarik datangnya laron.
Natalia mengaku tinggal di Teluk Bakau sejak 1994. Selama 25 tahun bermukim di ruli, baru kali ini ia ditindak. Peringatan dari Direktorat Pengamanan (Ditpam) Badan Pengusahaan (BP) Batam datang tiga hari sebelumnya. Waktu itu, ia minta seminggu untuk memindahkan ternaknya. Permintaan itu ditolak.
Selama 25 tahun bermukim di ruli baru kali ini ia ditindak.
”Ibu jangan ngeyel. Ini tanah bandara, enggak boleh ada aktivitas lain di sini,” ujar salah satu anggota ditpam.
Beradu cepat dengan petugas yang merobohkan kandang, para peternak menggendong babi-babi kecil untuk menyelamatkannya. Adapun babi yang besar dengan susah payah digiring menjauhi kandang. Para petugas tampak heran melihat kegigihan dan kekompakan warga mempertahankan ternaknya.
”Biar kata orang kotor dan bau, tetapi karena babi inilah anak-anak bisa makan dan sekolah,” kata Natalia gusar.
Kalimat itu tampaknya menumbuhkan iba para petugas. Mereka menyisakan beberapa kandang tetap berdiri. Warga disuruh meletakkan babi-babi itu sementara di sana. Dua hari diberikan sebagai waktu tambahan untuk memindahkan atau menjual habis semua ternak itu. Tindakan tegas menanti bagi yang membandel.
Warga yang sah
Meskipun tinggal secara ilegal di lahan milik pemerintah, warga di Teluk Bakau memiliki KTP Batam. Jaringan listrik juga menjangkau kampung yang mayoritas warganya berasal dari Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur tersebut.
”Kami tahu ini tanahnya pemerintah. Kami mau dipindahkan, asal dikasih gantinya,” ujar Emanuel.
Penertiban ruli di sana tidak diikuti dengan tawaran relokasi yang pantas.
Hal yang sama dinyatakan warga Teluk Bakau ketika ditanyai kesediaannya untuk berpindah lokasi. Malangnya, penertiban ruli di sana tidak diikuti dengan tawaran relokasi yang pantas. Hal inilah yang membuat warga berang dan kompak memberikan perlawanan.
Sebagai warga negara yang sah, seharusnya orang ruli juga punya hak untuk hidup sejahtera, bertempat tinggal yang layak, dan mendapatkan lingkungan hidup yang sehat. ”Jangan mentang-mentang kami tidak sekolah lalu Anda bisa (berbuat) semena-mena seperti ini. Kita ini sama-sama manusia,” ucapnya getir.
Emanuel, Natalia, dan warga ruli Teluk Bakau lain menuntut keadilan. Di KKOP Bandara Hang Nadim, ada juga aktivitas tambang pasir. Saat penertiban itu, petugas dianggap warga pilih kasih dengan hanya menyasar orang ruli, tetapi tutup mata terhadap pelanggaran lain.
”Aktivitas tambang itu jauh lebih merusak lahan bandara daripada peternak kecil macam kami ini. Anehnya, kok, mereka tidak dikejar-kejar seperti kami,” kata Emanuel sambil menunjukkan lubang tambang yang menganga sangat lebar.
Kepala Unit Penindakan Ditpam BP Batam Ahmad Supriyadi, Senin (16/9/2019), mengatakan, sebenarnya petambang juga sudah pernah ditindak. Namun, ia mengakui, petambang memang lebih licin karena mereka bisa cepat memindahkan peralatan dan kabur meninggalkan lokasi sebelum petugas tiba.
”Tambang pasir (sebelumnya) juga sudah (ditertibkan) tim khusus dari polda (Kepri). Jadi, enggak cuma kita saja. Bagaimana kelanjutannya, itu polda yang tahu,” kata Ahmad.