Pesan dari Masa Depan
Di tengah situasi dunia yang belum optimal mengimplementasikan Kesepakatan Paris, Thunberg seolah hadir dari masa depan, mengabarkan ancaman kehancuran dunia jika tidak ada tindakan nyata.
Setelah 14 hari berlayar melintasi Samudra Atlantik, Greta Thunberg berlabuh di New York, Rabu (28/8/2019). Kehadiran remaja Swedia di Amerika Serikat itu adalah untuk berunjuk rasa pada 20-27 September 2019 di beberapa tempat di New York, termasuk di luar gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa saat pertemuan puncak perubahan iklim PBB digelar dan di luar Gedung Putih.
”Kami telah berlabuh di Pulau Coney—kini sedang mengurus imigrasi. Kami akan tiba di North Cove Marina paling cepat pukul 14.45,” cuit Thunberg di akun Twitter-nya, 28 Agustus 2019.
Para pendukung Thunberg, termasuk aktivis lingkungan, telah menantinya di New York. Melihat kapal Malitzia II yang ditumpanginya melintasi Patung Liberty dan buang jangkar di pelabuhan yacht Manhattan, mereka bersorak dan bernyanyi gembira menyambut.
Thunberg, remaja berusia 16 tahun itu, berlayar dari Plymouth, Inggris, 14 Agustus 2019, menggunakan Malizia, yacht sepanjang 18,3 meter yang dilengkapi panel surya dan turbin bawah air untuk menghasilkan listrik. Sebuah layar hitam bertuliskan ”Unite Behind the Science” mengembang di atasnya.
Kapal itu tak memiliki toilet atau kamar mandi. Sepanjang perjalanan, Thunberg yang berlayar ditemani ayahnya dan beberapa awak kapal makan makanan kaleng dingin.
”Semua ini sangat luar biasa dan tanah masih berguncang buat saya,” kata Thunberg yang memakai jaket biru tua dan terlihat masih malu-malu kepada wartawan dan aktivis yang menyambutnya di pelabuhan.
”Sungguh gila ada remaja berusia 16 tahun melintasi Samudra Atlantik untuk menyampaikan sikap soal krisis iklim. Ini tentu bukan sesuatu yang setiap orang mau kerjakan,” ujarnya kepada Reuters.
Sebelum menjadi sorotan dunia, Thunberg bukanlah siapa-siapa. Ia hanyalah remaja Swedia dengan sindrom asperger atau gangguan saraf yang masuk dalam spektrum autisme.
Sebelum menjadi sorotan dunia, Thunberg bukanlah siapa-siapa. Ia hanyalah remaja Swedia dengan sindrom asperger atau gangguan saraf yang masuk dalam spektrum autisme. Ia remaja introvet yang menjalani rutinitas harian, bangun pukul 06.00 untuk siap-siap bersekolah dan pulang pukul 15.00.
”Tidak ada yang benar-benar terjadi dalam hidup saya,” ujar Thunberg, seperti dikutip The Guardian, 11 Maret 2019. ”Saya gadis yang selalu duduk di belakang dan tidak mengatakan apa-apa. Saya pikir saya tidak bisa membuat perbedaan karena saya masih terlalu kecil.”
Padahal, sebenarnya bisa dibilang Thunberg tidak seperti remaja pada umumnya. Ia lahir dari seorang ibu penyanyi opera paling terkenal di Swedia, Malena Ernman. Ayahnya, Svante Thunberg, adalah seorang aktor dan penulis—dijuluki Svante Arrhenius, nama ilmuwan pemenang Nobel yang pada 1896 untuk pertama kali menghitung bagaimana emisi karbon dioksida dapat menyebabkan efek rumah kaca. Empat tahun lalu, Thunberg didiagnosis asperger.
Energi positif
Dengan kondisi kesehatan seperti itu, Thunberg cenderung lebih khawatir akan sesuatu daripada orang lain. ”Saya terlalu memikirkan sesuatu. Ada orang yang membiarkan sesuatu terjadi, tetapi saya tidak bisa, terutama jika ada sesuatu yang mengkhawatirkan atau membuat saya sedih,” ujarnya.
”Saya ingat dulu saat di sekolah, guru memutarkan film tentang limbah plastik di lautan, beruang kutub yang kelaparan, dan lain-lain. Saya menangis sepanjang film itu. Teman satu kelas pun sama. Namun, mereka lupa dan mulai memikirkan hal lain saat film selesai. Saya tidak bisa. Gambar di film itu terus membayangi pikiran saya.”
Saat pertama kali mengetahui soal perubahan iklim pada usia delapan tahun, Thunberg begitu terkejut mengapa orang-orang dewasa tidak bertindak lebih serius mengatasi masalah itu.
Thunberg menerima kondisi itu sebagai bagian dirinya dan menjadikannya sebuah energi positif yang justru mendorong dirinya membuat perubahan. Saat pertama kali mengetahui soal perubahan iklim pada usia delapan tahun, Thunberg begitu terkejut mengapa orang-orang dewasa tidak bertindak lebih serius mengatasi masalah itu.
Hal tersebut membuat Thunberg frustrasi. Selama bertahun-tahun, ia berpikir hingga pada titik ia memilih membolos sekolah untuk berunjuk rasa sendirian guna menyadarkan para pengambil kebijakan.
Pada Agustus 2018, untuk pertama kalinya Thunberg berunjuk rasa di depan gedung parlemen Swedia. Ia membawa spanduk putih bertuliskan ”Skolstrejk for Klimatet” (Membolos sekolah untuk demo perubahan iklim) yang ia tulis dengan tangan sendiri. Ia memprotes lemahnya komitmen pemerintah dalam mengatasi dampak perubahan iklim.
Unjuk rasa itu kemudian ia lakukan setiap Jumat selama berbulan-bulan di bawah cuaca panas, dingin, atau bersalju. Pilihannya membolos sekolah untuk berdemonstrasi soal perubahan iklim itu terinspirasi oleh pelajar di Parkland, Florida, AS, yang meninggalkan jam sekolah untuk berunjuk rasa menentang undang-undang kepemilikan senjata api yang dinilai menyuburkan praktik penembakan massal di AS.
Unjuk rasa itu kemudian ia lakukan setiap Jumat selama berbulan-bulan di bawah cuaca panas, dingin, atau bersalju.
Orangtua Thunberg sempat melarangnya, tetapi Thunberg bertekad baja. Teman-teman sekolahnya pun tak ada yang bergabung dengannya. Bahkan, orang-orang yang lewat melihat Thunberg duduk di lantai bawah di depan gedung parlemen dengan tatapan kasihan.
Menginspirasi
Waktu pun terus berjalan. Ternyata aksi Thunberg menginspirasi banyak orang. Remaja penyendiri itu kini tak lagi sendiri. Banyak remaja seusianya di berbagai belahan dunia terinspirasi oleh Thunberg dan berbaris bersama dalam perjuangan untuk perubahan dalam gerakan bertagar #FridaysforFuture. Di Inggris, misalnya, muncul UK Student Climate Network yang getol mengampanyekan #FridaysforFuture.
Pada Maret 2019, majalah New York (Nymag.com) memberitakan ada sekitar 1,4 juta pelajar di seluruh dunia yang membolos sekolah untuk turun ke jalan dan berdemonstrasi soal perubahan iklim, seperti dilakukan Thunberg. Mereka tersebar di sejumlah kota, seperti New Delhi, Seoul, Cape Town, London, Melbourne, Brussels, Washington DC, San Francisco, Edinburgh, Praha, Paris, dan Tokyo. Thunberg sendiri memimpin unjuk rasa di Stockholm, kampung halamannya.
Selain aktif berkampanye melalui media sosial, Thunberg juga menghadiri banyak acara internasional untuk menggugah para pemimpin dunia, termasuk para miliarder dunia, bahwa apa yang dilakukan saat ini belum cukup untuk menahan laju kerusakan perubahan iklim.
”Saya tak ingin Anda berharap. Saya ingin, Anda panik. Saya ingin, Anda merasakan ketakutan yang saya rasakan setiap hari. Lalu saya ingin Anda bertindak,” ujarnya di hadapan para miliarder dalam pertemuan World Economic Forum di Davos, beberapa waktu lalu.
Setelah New York, Thunberg akan menghadiri Konferensi Perubahan Iklim di Santiago, Chile, Desember 2019. Ia pun berencana menggunakan moda transportasi yang tidak menghasilkan emisi.
Di tengah situasi dunia yang belum optimal mengimplementasikan Kesepakatan Paris, Thunberg seolah hadir dari masa depan, mengabarkan ancaman kehancuran dunia jika para pengambil kebijakan, pemilik korporasi, dan penduduk dunia tidak berbuat nyata untuk menahan laju perubahan iklim sejak detik ini juga.