Revisi UU Pemasyarakatan dapat membuka celah bagi narapidana korupsi untuk menyuap lembaga pemasyarakatan untuk mendapat asimilasi dan pembebasan bersyarat. Potensi obral asimilasi dan pembebasan bersyarat bisa terjadi.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah telah menyepakati pengesahan revisi Undang-undang Pemasyarakatan pada rapat paripurna berikutnya. Dengan disahkannya revisi UU tersebut, celah obral pemberian pembebasan bersyarat semakin terbuka, khususnya bagi para narapidana koruptor.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, revisi Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dapat membuka celah bagi narapidana korupsi untuk menyuap lembaga pemasyarakatan agar bisa mendapat asimilasi dan pembebasan bersyarat. Potensi obral asimilasi dan pembebasan bersyarat pun bisa terjadi.
"Dugaan tersebut sangat beralasan, apalagi untuk para narapidana koruptor. Bisa jadi, mereka melakukan langkah-langkah yang tidak diketahui publik agar bisa mendapat pembebasan bersyarat," katanya.
Revisi UU Permasyarakatan dapat membuka celah bagi narapidana korupsi untuk menyuap lembaga pemasyarakatan agar bisa mendapat asimilasi dan pembebasan bersyarat.
Pasal 12 Ayat (2) UU Pemasyarakatan menyebutkan, ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Salah satunya tentang ketentuan yang menyebutkan para narapidana korupsi harus mendapat rekomendasi dari institusi penegak hukum agar bisa mendapat asimilasi dan remisi pembebasan bersyarat.
Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Masyarakat.
Pasal 43B Ayat (3) PP itu menyatakan, Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam mempertimbangkan remisi pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus korupsi wajib meminta rekomendasi Polri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Agar mendapatkan rekomendasi itu, narapidana kasus korupsi itu juga harus memenuhi persyaratan. Salah satunya adalah para narapidana korupsi juga harus menjadi justice collaborator--saksi pelaku yang bekerjasama dengan penyidik atau jaksa penuntut umum--dalam mengungkap kasus tertentu. Hal itu diatur dalam Pasal 43A Ayat (1) Huruf (a) PP Nomor 9/2012.
Namun, kata Feri, ketentuan peralihan di draf revisi UU Pemasyarakatan Pasal 94, PP Nomor 9/2012 sudah tidak berlaku. PP itu diganti menjadi PP Nomor 32/2019.
"PP pengganti itu tidak mencantumkan syarat agar narapidana korupsi harus mendapat rekomendasi untuk mendapatkan pembebasan bersyarat," ujar Feri.
Feri pun mengatakan, dalam beberapa kasus, para narapidana koruptor bisa bebas keluar masuk penjara, seperti Setya Novanto. Mantan Ketua DPR itu yang terjerat kasus korupsi KTP-el bisa bebas keluar masuk lembaga pemasyarakatan.
Oleh sebab itu, pasal yang bermasalah dalam RUU Pemasyarakatan seharusnya bisa diuji materi di Mahkamah Konstitusi. "Nantinya, jika ada narapidana atau pihak yang merasa dirugikan karena napi korupsi bisa lebih mendapat kemudahan pembebasan bersyarat, hal tersebut dapat menjadi salah satu legal standing untuk (kedudukan hukum) uji materi," ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Kemenkum HAM Sri Puguh Budi Utami menampik akan adanya potensi obral pembebasan bersyarat tersebut. Sebab, masih ada sejumlah syarat yang harus dijalani oleh narapidana agar bisa mendapatkan pembebasan bersyarat atau asimilasi seperti yang tertuang dalam Pasal 10 draf revisi UU Pemasyarakatan.
"Beberapa ketentuannya yaitu seperti berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, dan telah menunjukan penurunan tingkat risiko," katanya.
Masih ada sejumlah syarat yang harus dijalani oleh narapidana agar bisa mendapatkan pembebasan bersyarat atau asimilasi.
Sri menyampaikan, revisi UU Pemasyarakatan ini kemungkinan akan segera disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (24/09/2019). Setelah disahkan, pemerintah akan segera menyosialisasikannya.
Sementara itu, Direktur Program Center for Detention Studies (CDS) Gatot Goei mengemukakan, pemerintah harus membuat indikator yang jelas terkait tiga syarat yang harus dilakukan narapidana agar bisa mendapat pembebasan bersyarat.
Publik pun juga perlu mengawal, agar nantinya pelaksanaan revisi UU Pemasyarakatan jangan sampai melemahkan pemberantasan korupsi. "Harus ada indikator yang jelas agar para narapidana korupsi memang benar-benar tidak akan mengulangi tindak pidana yang ia lakukan," ujarnya.