Pengambilan keputusan tingkat pertama terhadap RKUHP telah dilakukan oleh pemerintah dan DPR kemarin. Hal itu dilakukan di tengah kencangnya suara penolakan masyarakat dan kekhawatiran terjadi overkriminalisasi.
JAKARTA, KOMPAS - Meskipun dihadang penolakan oleh sebagian kalangan, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tetap menyetujui Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP disahkan menjadi undang-undang. Kekhawatiran akan terjadinya overkriminalisasi terhadap warga negara pun kian menguat.
Dalam rapat kerja antara Komisi III dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dipimpin Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin , Rabu (18/9/2019), kedua belah pihak sepakat mengesahkan RKUHP dalam pengambilan keputusan tingkat pertama. Hanya sebagian fraksi yang memberikan catatan atas RKUHP tersebut. RKUHP selanjutnya akan dibawa ke dalam rapat paripurna guna mendapat persetujuan untuk disahkan menjadi undang-undang pada 24 September mendatang.
M Nurdin dari Fraksi PDI-Perjuangan memberikan sejumlah catatan sebelum RKUHP itu kelak menggantikan KUHP lama yang sudah 101 tahun terakhir dipergunakan. Diantaranya, terkait dengan pentingnya kehati-hatian dalam penerapan hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law) oleh penegak hukum dan hakim.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly saat membacakan sambutan Presiden Joko Widodo menyebutkan, RKUHP merupakan undang-undang dengan citarasa Indonesia. Di dalamnya, termaktub aspek moral dan agama untuk mencapai keamanan dan ketertiban umum guna mewujudkan masyarakat demokratis yang memiliki kesamaan di depan hukum.
Seusai rapat, Yasonna setelah disahkan, RKUHP ini merupakan warisan cukup besar bagi bangsa Indonesia. “Setelah lebih seratus tahun pakai hukum Belanda,” kata Yasonna.
Ia menambahkan, selama empat tahun pembahasan, terdapat sejumlah pasal yang menjadi pertanyaan dan kekhawatiran banyak pihak. Kekhawatiran itu terkait keberadaan sejumlah lembaga seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Badan Narkotika Nasional, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lainnya khususnya terkait masuknya delik tindak pidana khusus di RKUHP.
Selain itu, ia memahami adanya kekhawatiran mengenai pasal-pasal kesusilaan dan penghinaan presiden, yang berpotensi mengkriminalkan masyarakat.
Menurut Yasonna, sejumlah kekhawatiran itu tidak akan terjadi.Yasonna menambahkan, diperlukan sosialisasi selama dua tahun untuk memasyarakatkan KUHP hasil revisi tersebut kelak.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengatakan, terdapat sejumlah pasal yang mengancam privasi warga dan overkriminalisasi terhadap warga. Ini terutama terkait dengan pasal kesusilaaan di dalam RKUHP, khususnya terkait pengaduan terhadap pihak yang hidup bersama suami istri di luar perkawinan yang bisa dilakukan kepala desa.
Menurut Anggara, ada sekitar 40-50 juta masyarakat adat dan 55 persen masyarakat miskin yang sulit mengakses pencatatan perkawinan. Kalangan ini berpotensi terkena delik kesusilaan.
"Kami tolak ketentuan itu untu menghindarkan adanya celah kesewenang-weangan oleh negara memasuki ruang-ruang privasi warga negara," ujarnya.
Pemberlakuan
Anggota Badan Legislasi DPR, Arsul Sani, menjelaskan, saat ini juga terdapat usulan untuk untuk membentuk UU Pemberlakuan KUHP setelah RKUHP kelak disahkan. Hal ini diperlukan untuk menyesuaikan seluruh ketentuan pidana dalam sekitar 200 UU sektoral yang saat ini berlaku di berbagai bidang dengan ketentuan pidana dalam RKUHP.
“Menurut Kemenkumham, ada sekitar 200 UU sektoral, (dan) hampir semua (UU) ada ketentuan pidana,” sebut Arsul merujuk pada penyesuaian itu kelak.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.