Wastra atau kain tradisional menghadapi tantangan berat di tengah perkembangan zaman terutama berhadapan dengan kain massal buatan pabrik. Perlu upaya kolektif untuk menggelorakan kecintaan terhadap wastra.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Wastra atau kain tradisional menghadapi tantangan berat di tengah perkembangan zaman terutama saat berhadapan dengan kain massal buatan pabrik. Perlu upaya kolektif dari para pemangku kepentingan untuk menggelorakan kecintaan dan apresiasi terhadap wastra utamanya di kalangan generasi milenial.
Tantangan itu berusaha dijawab melalui Asean Traditional Textile Symposium ke-7, yang akan digelar di Yogyakarta, November mendatang. Presiden Traditional Textile Arts Society of South East Asia (TTASSEA), Gusti Kanjeng Bendara Raden Ayu (GKBRAy) Adipati Paku Alam X, mengatakan, tantangan bagi kain-kain tradisional makin berat. Terlebih, kain-kain itu dibuat dengan tangan atau handmade.
Adapun lawannya adalah kain buatan pabrik yang harganya lebih murah. Untuk itu, dia berharap kain-kain tradisional buatan tangan itu lebih banyak dicintai masyarakat.
“Yang paling penting kita kenal dulu. Kalau tidak kenal, maka tidak sayang. Tapi, tantangannya berat, karena digempur semua oleh pabrikan. Maka, saya ingin, kita kenal dulu agar mencintai produk-produk wastra,” kata GKBRAy Adipati Paku Alam X.
Tantangan itu pula yang mendasari digelarnya Asean Traditional Textile Symposium. Harapannya, pelestarian kain-kain tradisional bisa dilakukan di seluruh kawasan Asia Tenggara. Kecintaan terhadap kain tradisional, khususnya buatan tangan, diusahakan terus tumbuh di tengah masyarakat. Simposium tersebut bakal berlangsung mulai 4-8 November 2019, di Hotel Royal Ambarukmo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinator Simposium Sumartoyo mengatakan, simposium nantinya tidak sepenuhnya bernuansa akademis. Terdapat agenda lain berupa pameran, lomba kreasi kain tradisional, serta lomba fotografi yang ditujukan untuk meningkatkan ketertarikan masyarakat umum terhadap kain tersebut. Adapun dalam lomba kreasi kain tradisional, barang yang nantinya dibuat berupa dompet dan tas. Generasi milenial menjadi kelompok yang disasar dalam agenda tersebut.
“Kali ini kami ingin menyasar milenial. Kami ingin koleksi terdahulu dihargai, tetapi dengan perkembangan yang akan datang bisa diterima semuanya. Ini esensi dari lomba kreasi tersebut,” kata Sumartoyo.
Sekretaris TTASSEA Ani Bambang mengungkapkan, keterlibatan generasi muda sangat penting. Sebab, mereka adalah pihak yang nantinya mesti menjaga kelestarian kain tradisional tersebut. Kreativitas dan inovasi dari mereka menjadi hal yang ditunggu.
“Wastra itu memiliki nilai ekonomis. Kita tidak bisa meninggalkan itu. Harapannya, wastra-wastra ini bisa menjadi sesuatu yang baru. Itu pula yang menjadi alasan mengapa ajang ini digelar di Yogyakarta. Kota ini dikenal akan kreativitasnya,” kata Ani.
Dia menambahkan, motif dari wastra itu juga menjadi penanda terhadap satu generasi. Ia tidak menginginkan ada motif yang hilang dari masyarakatnya. Oleh karena itu, pengembangan produk berbahan wastra dengan barang-barang yang lekat dengan anak muda.
“Jangan sampai motif yang sudah ada hilang. Hilang satu motif artinya kita kehilangan satu generasi. Ini kenapa kami peduli dengan pelestarian. Pengembangan agar wastra bisa menjadi lebih aplikatif itu sangat penting,” kata Ani.
Pemimpin Wilayah BRI Yogyakarta Dedi Juhaeni mengatakan, sebagai sponsor utama dalam simposium tersebut, pihaknya siap terlibat di bidang pembinaan UMKM. Terlebih, dengan pelibatan UMKM untuk turut memamerkan hasil karya mereka di ajang tersebut.
“Kami melihat ini forum luar biasa. Ini bisa mengangkat nama Indonesia dan Yogyakarta melalui kain tradisional. Terlebih ada UMKM yang dilibatkan. Itu mendasari dukungan kami terhadap acara ini,” kata Dedi.