Konsep tingkat kandungan dalam negeri industri telepon seluler bertujuan menumbuhkan ekosistem di Tanah Air. Namun, riset dan pengembangan teknologi belum terarah.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Riset dan pengembangan teknologi menjadi inti industri telepon seluler pintar. Namun, saat ini pemerintah dinilai belum memiliki peta jalan kebijakan riset dan pengembangan yang terarah.
Manajer Proyek Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Industri PT Surveyor Indonesia (Persero) Sarjuni Adicahya menyampaikan, pangsa pasar ponsel pintar merek lokal yang merosot memberikan pelajaran bahwa riset dan pengembangan teknologi merupakan hal penting. Surveyor Indonesia ditugaskan pemerintah untuk menghitung TKDN,
”Dengan berinvestasi pada riset dan pengembangan teknologi, pelaku industri ponsel pintar lokal tidak perlu membeli lisensi desain produk dari luar negeri. Arah kebijakan seperti ini belum tampak jelas,” ujar Sarjuni di Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Sebelumnya, International Data Corporation (IDC) Indonesia memaparkan temuan riset yang menunjukkan pangsa pasar ponsel pintar gabungan merek lokal, dari sisi volume, merosot. Pangsa pasar yang sebesar 16 persen pada 2017 merosot menjadi 10 persen pada 2018, lalu menjadi 5,8 persen pada triwulan II-2019.
Ada tiga skema yang diajukan pemerintah agar produsen memenuhi kewajiban TKDN, yakni skema perangkat keras, skema perangkat lunak, dan skema berbasis nilai. Pemilik merek global memilih skema perangkat keras dalam TKDN.
Artinya, sebesar 70 persen TKDN dalam proses manufaktur, 20 persen proses pengembangan, dan 10 persen aplikasi dilakukan di Indonesia. Adapun Apple menggunakan skema berbasis nilai investasi.
”Konsep TKDN bukan semata-mata melindungi merek lokal, tetapi juga transfer teknologi dan menumbuhkan ekosistem. Dalam pelaksanaannya diperlukan pengawasan, sejauh mana riset pengembangan dan inovasi aplikasi di dalam negeri ikut tumbuh,” ujarnya.
Desain produk
Kepala Pusat Mikroelektronika Institut Teknologi Bandung (ITB) Adi Indrayanto menekankan, riset dan pengembangan yang dibutuhkan Indonesia berkaitan dengan desain produk. Dengan demikian, hal ini yang semestinya digalakkan Pemerintah Indonesia.
”Selama pemilik ponsel pintar merek lokal hanya berjualan dan tidak membangun atau membuat aliansi strategis dengan pemilik rumah desain produk, mereka tetap tidak bisa bersaing. Rumah desain produk yang membuat inovasi serta membedakan produk satu dengan lainnya,” ujarnya.
Pemilik ponsel pintar merek global telah memiliki rumah desain produk sendiri. Skala produksinya mencapai jutaan unit untuk setiap tipe.
Menurut Adi, kondisi yang terjadi di industri ponsel pintar sekarang mirip dengan sektor otomotif. Sektor industri otomotif telah mencapai kandungan TKDN yang tinggi, tetapi belum mempunyai rumah desain produk sendiri.
Rantai industri ponsel terdiri dari vendor chipset, rumah desain produk, manufaktur, pemilik merek, dan distributor. Berdasarkan temuan riset Pusat Mikroelektronika ITB, situasi industri ponsel di Tanah Air, chipset, dan desain produk masih diimpor. Di dalam negeri dilakukan proses manufaktur berupa perakitan dengan metode produksi semiknocked down (SKD) atau completely knocked down (CKD). Metode SKD adalah mengimpor komponen yang sudah dirakit sebagian di negeri asalnya. Kebanyakan proses manufaktur memakai metode SKD.
”Akibatnya, nilai tambah industri ponsel nasional rendah,” kata Adi.
Dia menambahkan, dalam 2-3 tahun mendatang, teknologi akses seluler 5G akan semakin banyak. Pemerintah mestinya sudah menyiapkan ekosistem. Adi menyarankan untuk mulai dari pengembangan rumah desain produk ponsel.
Direktur Industri Elektronika dan Telematika Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Janu Suryanto, yang dikonfirmasi, mengatakan, pemerintah memfasilitasi promosi ponsel pintar merek lokal. Caranya, dengan menyosialisasikan kepada konsumen agar menggunakan buatan lokal.
”Kami juga mendorong pelaku industri ponsel merek lokal agar terus meningkatkan kualitas produk,” ujarnya. (MED)