MANGGARAI, KOMPAS - Women in Maritime atau Wima Indonesia berharap azas cabotage tetap dipertahankan. Selain mendorong pertumbuhan kapal berbendera Indonesia, penerapan azas itu dinilai perlu untuk menjaga kedaulatan negara.
"Kita harus mencegah dan menolak segala upaya yang bertujuan untuk menghapuskan azas ini," kata Ketua Wima, Chandra Motik di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Rabu (18/9/2019) malam.
Azas cabotage merupakan aturan yang menyatakan hanya kapal-kapal berbendera Indonesia yang boleh beroperasi di wilayah perairan Indonesia. "Apabila kapal-kapal asing boleh beroperasi ke Indonesia, semua sumber daya laut kita bisa dihabiskan oleh kapal asing. Semua kegiatan ekonomi juga diambil oleh mereka," kata Chandra.
Sementara Ketua Umum Indonesia National Shipowners\' Association (INSA) Carmelita Hartoto mengatakan, azas cabotage telah mendorong pertumbuhan kapal berbendera Indonesia. "Jika sebelum azas cabotage jumlah kapal Indonesia hanya 6.000 kapal, sekarang jumlahnya menjadi 25.000 kapal," kata Carmelita.
Menurut Carmelita, upaya menghilangkan penerapan azas cabotage itu muncul dari upaya merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Salah satu pasal yang ingin direvisi adalah masalah kapal yang boleh beroperasi di Indonesia.
"Para pengusaha pelayaran nasional menilai belum ada poin yang mendesak untuk merevisi peraturan perundangan tersebut. Undang-undang itu baru berusia 10 tahun. Ada banyak undang-undang yang jauh lebih lama dan perlu direvisi," kata Carmelita.
Dia menambahkan, masih ada amanat dari Undang-Undang Pelayaran yang belum dijalankan, seperti soal siapa yang bertanggung jawab menjaga dan mengamankan pantai.
"Undang-undang itu mengamanatkan untuk membentuk penjaga laut dan pantai sebagai badan tunggal. Namun, hingga sekarang badan tunggal belum terbentuk," ujar Carmelita.
Dengan belum seluruh amanat undang-undang tersebut dijalankan, dampak positif atau negatif dari aturan itu belum benar-benar terasa seluruh pihak terkait pelayaran. "Kita belum dapat merasakan dengan total, apakah undang-undang yang ada ini masih cocok atau sudah tidak cocok dengan keadaan di lapangan saat ini," ujarnya.
Soal masih adanya amanat yang belum dijalankan, menurut Chandra, undang-undang tidak perlu direvisi, tetapi lebih baik dibuatkan petunjuk teknisnya. "Salah satu penyebab belum diterapkan penuh adalah belum ada petunjuk teknisnya," kata Chandra.
Wima telah dibentuk empat tahun lalu untuk mempromosikan kesetaraan gender dalam dunia maritim. Apalagi saat ini sudah banyak perempuan yang terjun dan bekerja di dunia maritim. Kemajuan teknologi yang diterapkan di pelabuhan membuat perempuan bisa menjadi operator alat berat di terminal pelabuhan.