Insentif Bangkitkan Gairah Eksportir Pertanian Sulawesi Utara
›
Insentif Bangkitkan Gairah...
Iklan
Insentif Bangkitkan Gairah Eksportir Pertanian Sulawesi Utara
Badan Karantina Pertanian memberi berbagai insentif untuk memudahkan ekspor hasil komoditas pertanian. Di Sulawesi Utara, kemudahan ini berbuah peningkatan drastis jumlah ekspor.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MINAHASA UTARA, KOMPAS - Badan Karantina Pertanian memberi berbagai insentif untuk memudahkan ekspor hasil komoditas pertanian. Di Sulawesi Utara, kemudahan ini berbuah peningkatan drastis jumlah ekspor. Namun, sejauh ini, banyak pengusaha Sulut lebih mendamba segara dibukanya jalur dagang internasional dari Pelabuhan Bitung.
Kepala Badan Karantina Pertanian Ali Jamil mengatakan, pemerintah ingin menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia pada 2045. Setiap komoditas hasil pertanian akan diupayakan menjadi komoditas ekspor. "Karena itu, pemerintah harus menyediakan jalan yang lapang tanpa hambatan bagi para eksportir," kata Ali, Jumat (20/9/2019) di Airmadidi, Minahasa Utara.
Menurut data Badan Karantina Pertanian, ekspor produk pertanian dari Sulut meningkat drastis. Pada 2018, sebanyak 30 komoditas dengan total berat 322.000 ton dikirim ke 46 negara. Namun, jumlah ekspor produk agrikultur selama Januari hingga Agustus 2019 telah jauh melampaui jumlah tahun lalu, menjadi 477.000 ton.
Menjelang akhir September, Badan Karantina Pertanian kembali menerbitkan sertifikat ekspor yang dibagikan pada sembilan perusahaan di Sulut, pada Jumat sore. Lima komoditas seberat 6.947 ton, yakni tepung kelapa, bungkil kopra, cengkeh kering, biji pala, serta bungkus biji pala (fuli), itu akan dikirim ke 13 negara. Total nilai ekspor mencapai Rp 19,43 miliar.
Menurut Ali, peningkatan itu disebabkan beberapa program Badan Karantina Pertanian untuk menopang para eksportir. Pertama, barang yang akan diekspor langsung diinspeksi di gudang perusahaan. Langkah ini diambil demi menjamin kesehatan produk secara lebih teliti serta mempercepat proses muat barang di pelabuhan atau bandara.
Di samping itu, Badan Karantina Pertanian juga memiliki program in line inspection. Para pengusaha dibimbing menerapkan praktik good manufacturing mulai dari proses penumbuhan hingga pascapanen, seperti penanganan hama hingga pemeriksaan kesehatan barang.
"Kami juga mendigitalisasi layanan untuk memperoleh sertifikat kesehatan dan fitosanitari. Para eksportir yang mau mengirim ke Belanda, Australia, Selandia Baru, dan Vietnam, tidak perlu lagi mengirim sertifikat dalam bentuk hard copy (cetak). Sistem kami yang akan mengirim sertifikat elektronik ke otoritas negara tujuan sehingga produk ekspor bisa langsung jalan tanpa hambatan," kata dia.
Ali berharap, kemudahan ini diikuti tumbuhnya ekspor komoditas lainnya. Ia memberikan penekanan pada pengolahan produk turunan kelapa yang sangat berlimpah di Sulut, dengan luas lahan produksi 217.869 hektar. Selama ini, bagian buah kelapa seperti air kelapa, sabut, tempurung, dan santan, belum diproduksi di Sulut, apalagi diekspor.
"Selama ini, beberapa perusahaan bahkan cuma mengekspor kopra dan buah kelapa. Kemudahan-kemudahan yang disediakan pemerintah hendaknya dimanfaatkan lebih banyak eksportir," kata Ali. Ia menambahkan, pengusaha akan mudah berinvestasi ataupun mengekspansi bisnisnya dengan memanfaatkan system online single submission untuk memenuhi perizinan.
Azhar, Direktur Utama PT Royal Coconut yang memproduksi dan mengekspor tepung kelapa, mengapresiasi kerja pemerintah. Pabriknya di Airmadidi bisa memenuhi permintaan tepung kelapa dari 82 negara. Namun, sebanyak 350 ton kelapa hanya menghasilkan tepung kelapa.
"Kami akan mengadakan fasilitas produksi air kelapa dan santan tahun depan. Ini respons kami terhadap bimbingan pemerintah yang sangat intensif," kata Azhar.
Asisten II Gubernur Sulut Bidang Perekonomian dan Pembangunan Rudi Mokoginta berharap, berbagai kemudahan dari pemerintah bisa terus mendongkrak ekspor produk pertanian dari Sulut. Ia juga berharap harga komoditas yang sedang anjlok, seperti kopra dan cengkeh bisa menguat sehingga petani juga sejahtera.
Bibir pasifik
Rudi menambahkan, posisi Sulut di ujung utara Indonesia menjadikannya potensial menjadi gerbang perdagangan dari dan menuju kawasan Asia Pasifik. Pemprov Sulut berkomitmen terus menopang ekspor hasil pertanian.
Potensi ini telah mengejawantah dalam penetapan Pelabuhan Peti Kemas Bitung menjadi pelabuhan hub internasional bagi Indonesia Timur menurut Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Namun, hingga sekarang, belum ada jalur perdagangan internasional langsung dari Bitung.
Debora Manueke, Manajer Pemasaran PT Gunung Intan Permata yang mengekspor biji pala dan fuli, mengatakan, komoditasnya masih harus transit di Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta sebelum dikirim ke Rotterdam (Belanda) dan Livorno (Italia). Biaya pengiriman pun tergolong mahal, mencapai 2.700 dollar AS per peti kemas 20 kaki untuk memuat 16 ton biji pala.
"Harusnya, Pelabuhan Hub Internasional di Bitung segera difungsikan. Kalau dikirim ke Jakarta dulu, kami khawatir barang hilang. Selain itu, pala berisiko cepat rusak karena waktu pengirimannya sampai dua bulan," katanya.
Sebelumnya, PT Gunung Intan Permata pernah berencana mengekspor langsung dari Pelabuhan Bitung dengan biaya 2.100 dollar AS per peti kemas 20 kaki. Namun, rencana itu batal karena kapal peti kemas batal datang.
Sementara itu, General Manager PT Royal Coconut Alexander Gala mengatakan, selama ini, tepung kelapa perusahaannya dikirim lebih dulu ke Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Sebanyak 26 ton tepung kelapa harus diangkut dengan peti kemas 40 kaki. Artinya, biaya kirim bisa mencapai sekitar 4.000 dollar AS per peti kemas.
"Padahal dalam seminggu kami bisa ekspor empat sampai lima kali ke Rotterdam. Tapi harus dikirim ke Surabaya dengan kontainer lokal sebelum dimuat ulang ke kontainer ekspor. Kalau Pelabuhan Hub Internasional Bitung sudah berfungsi, kami akan pertimbangkan untuk pindah gerbang ekspor," kata Alexander.